Views
Tabir Peradaban Sungai Lematang
Tampilan fragmen arca itu tampak menakutkan. Gigi taringnya runcing dan panjang menjulur. Matanya besar melotot. Dengan mulut terbuka lebar, arca raksasa itu memang terkesan bengis.
Iiihh, ngeri juga ya,” kata Wily (19), pemuda dari sebuah desa di Kecamatan Gelumbang, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan.
Minggu sore pada awal Mei 2008 Willy terlihat agak kaget sekaligus takjub ketika bersama puluhan remaja dari desanya mengunjungi Kompleks Percandian Bumiayu di Kecamatan Tanahabang, juga masih di wilayah Kabupaten Muara Enim. Ia mengaku tak menyangka ada gugusan bangunan candi di areal seluas hampir 100 hektar persegi tersebut, padahal keberadaannya justru masih terbilang di daerahnya sendiri, hanya beberapa belas meter dari tepi Sungai Lematang.
”Tadinya cuma dengar dari cerita orang,” ujarnya pendek.

KOMPAS/AHMAD ARIF / Kompas Images
Arca Singa menarik roda kereta di Candi 1, di Kompleks Percandian Bumiayu, Sumatera Selatan.
Tentu saja Wily tidak paham bahwa arca berhidung pesek yang sempat membuatnya kaget itu tak lain adalah fragmen arca Dwarapala. Paling tidak itulah sebutan kalangan arkeolog untuk sang raksasa. Ia pun tidak tahu posisi arca yang kini tinggal berupa potongan kepala tersebut mestinya berada di depan pintu masuk candi, bukan dibiarkan ”nangkring” di atas meja kayu berdebu, hanya ”menjaga” pecahan-pecahan keramik yang teronggok di sudut-sudut bangunan reyot yang berdiri tak jauh dari bangunan salah satu candi.
Sang Dwarapala kini tampak seperti sekadar ada. Tak berbeda jauh dengan nasib fragmen badan arca Camundi yang kini tinggal sebatas ujung leher hingga pertengahan perut. Tubuhnya montok, tetapi tak kalah mengerikan melihat untaian tengkorak yang menggantung pada selempang dada dan gelang manik-manik di lengan kirinya.
Apa mau dikata, arca Dwarapala yang terlihat bengis itu praktis telah kehilangan peran dan ”kekuasaan”-nya sebagai sang penjaga candi. Bahkan, sejak ditemukan dalam suatu kegiatan ekskavasi di kawasan Candi 3 (sekadar penamaan berdasarkan nomor urut penandaan saat temuan awal) beberapa tahun lampau, dia sudah kehilangan tubuhnya. Apalagi pintu masuk menuju Candi 3 pun hingga kini belum dapat ditemukan oleh para arkeolog yang melakukan ekskavasi dan pemugaran.
Tak jelas mengapa dan bagaimana hal itu bisa terjadi, tetapi begitulah ”nasib” yang menimpa Dwarapala. Padahal, keberadaannya cukup unik karena Dwarapala dari Bumiayu ini tidak ditemukan di daerah lain. Bahan dasarnya juga bukan batu andesit, tetapi terbuat dari terakota alias tanah liat yang dibakar.
Pada sejumlah candi di Jawa Tengah raksasa penjaga gerbang semacam itu tidak digambarkan berwajah bengis. Meski juga bertaring panjang, bahkan digambarkan menggenggam gada dan bermahkotakan ular kobra, keangkeran sang penjaga gerbang candi ini sesungguhnya bukan simbol keperkasaan. Keberadaannya lebih dimaksudkan sebagai simbol spiritual guna menjaga keselamatan candi dari masuknya roh-roh jahat.
”Berbeda dengan sosok Dwarapala pada bangunan candi di Jawa Timur dan Sumatera, termasuk candi-candi di Kompleks Percandian Bumiayu. Di sini candi-candi yang ditemukan bersifat tantris sehingga tak usah heran bila wajah sang raksasa penjaga gerbangnya memang terlihat bengis,” kata Bambang Budi Utomo, arkeolog dari Puslitbang Arkeologi Nasional.
Mulai dipugar
Keberadaan reruntuhan bangunan candi—yang kini berada di wilayah Desa Bumiayu, Kecamatan Tanahabang, Kabupaten Muara Enim—ini pertama kali dilaporkan oleh Tobrink pada tahun 1864. Knapp (1902), Westenenk, Bosch, dan Schnitger juga sempat mencatat keberadaan situs percandian ini dalam perjalanan masing-masing ketika memudiki Sungai Lematang pada 1930-an.
Hanya saja, laporan adanya temuan candi itu tidak dalam pengertian sebuah bangunan utuh, tetapi tak lebih sekadar indikasi yang dikaitkan dengan cerita turun-temurun dari masyarakat setempat. Dalam catatan Knapp, misalnya, hanya dituturkan bahwa dalam perjalanannya melalui Sungai Lematang ia sampai pada sebuah gundukan tanah (tumulus) mengandung bata setinggi sekitar 1,75 meter. Cuma itu!
Setelah merdeka, pada awal 1960-an, sekelompok arkeolog muda Indonesia yang mengadakan perjalanan pendahuluan untuk kegiatan penelitian di Sumatera Selatan juga sempat mencatat keberadaan situs ini. Tahun 1973 dan 1976 kawasan ini kembali disinggung-singgung, terutama dalam kaitannya dengan perbincangan tentang Kerajaan Sriwijaya.
Perhatian yang agak lebih serius terhadap situs ini baru pada tahun 1990. Dalam perjalanan ”tapak tilas” ke sejumlah situs arkeologis yang tersebar di wilayah Sumatera Selatan akhir Juli 1990, ketika itu rombongan Kepala Puslitbang Arkeologi Nasional Hasan Muarif Ambary mampir di sini. Perjalanan itu sendiri dimaksudkan sebagai survei pendahuluan untuk penelitian yang lebih intensif tahun berikutnya.
Sejak itulah keberadaan gugusan percandian di Bumiayu mulai terkuak. Setelah melalui tahapan-tahapan penelitian dan dilakukan pengupasan secara sangat hati-hati, kalangan arkeolog dibuat tercengang. Anggapan selama ini bahwa keindahan bangunan candi di Indonesia hanya bisa ditemukan pada candi-candi yang ada di Jawa terbantahkan.
Di antara reruntuhan bangunan bata di Bumiayu, tim dari Puslitbang Arkeologi Nasional dan Suaka Peninggalan Sejarah Purbakala (SPSP) Sumsel-Jambi-Bengkulu menemukan bagian-bagian candi yang memperlihatkan cita rasa seni yang tak kalah menakjubkan dibandingkan dengan candi-candi di Jawa.
Dalam catatan awal yang dideskripsikan Bambang Budi Utomo, misalnya, terlihat betapa beragam seni arca dan pola hias yang ditemukan di gugusan percandian Bumiayu. Belum lagi keunikan temuan lain, yang hingga sejauh ini bisa dikatakan khas karena tidak ditemukan pada candi-candi di Jawa. Sangat boleh jadi, toponimi Bumiayu itu sendiri muncul karena terkait dengan keelokan rupa kompleks percandian ini.
Pada sisi kanan dan kiri tangga naik di bagian timur Candi 1 ditemukan hiasan kereta yang ditarik seekor singa. Pahatan tiga dimensi di sisi kiri tangga yang terlihat agak utuh itu menggambarkan singa dalam sikap mendekam, dengan keempat kakinya ditekuk. Di belakangnya, dalam ukuran lebih kecil, juga terlihat semacam panil yang juga menggambarkan sosok singa dalam tampilan serupa.
Meski masih dalam perdebatan, arkeolog Sri Soejatmi Satari mencoba menyejajarkan pahatan singa dan ”roda kereta” dari Bumiayu ini dengan tinggalan yang ada di Kuil Surya di Orissa, India Utara. Menurut mitologi Hindu, kereta yang ditarik singa adalah kendaraan Dewa Indra sehingga bisa dikatakan bahwa keberadaan Candi 1 terkait erat keberadaan agama Hindu di kawasan ini pada abad ke-9.
Namun, yang jelas, hingga sejauh ini penggambaran arca singa yang menarik roda kereta belum pernah ditemukan di daerah lain di Indonesia. Oleh karena itu, tidaklah berlebihan tokoh arkeologi Indonesia seperti (alm) Soekmono mengingat para koleganya untuk tak selalu menjadikan Jawa sebagai kiblat studi percandian di Tanah Air.
”Selama ini acuan kita selalu ke Jawa. Padahal kenyataannya kadang-kadang berbeda jauh,” kata Soekmono dalam percakapan dengan wartawan harian ini terkait dengan temuan candi di Bumiayu, 15 tahun lampau (Kompas, 10 Desember 1993).
Ornamen singa di Candi 1 ternyata bukan satu-satunya penanda keunikan. Arca singa di Candi 3 lebih unik lagi. Binatang ”impor” dari Afrika itu digambarkan dalam posisi berdiri dengan kaki depan kanannya diangkat sambil ”memegang” kepala ular, sementara di bawah badannya terdapat kura-kura. Sepintas sang singa seolah-olah sedang berburu dengan ”menunggangi” kura-kura. Arkeolog Endang Sri Hardianti, yang juga adalah mantan Kepala Museum Nasional, menduga keberadaan arca ini semacam perlambang yang menggambarkan episode dari suatu cerita tertentu.
Keunikan lain juga ditemukannya arca stambha, yakni arca yang dipasang di atas tugu untuk memperingati suatu kejadian. Pada stambha di Bumiayu, bentuknya (lagi-lagi) berupa singa dalam sikap tegak tengah duduk di tengkuk makhluk yang disebut gana. Makhluk gana yang, dalam mitologi Hindu, bersosok setengah dewa dan digambarkan bertubuh gemuk tetapi kerdil itu sendiri duduk di atas gajah sambil memegang kaki belakang singa.
Bambang Budi Utomo menafsirkannya sebagai candrasengkala yang menunjukkan angka tahun 818 Saka atau 896 Masehi. Singa merujuk angka 8, gana pada angka 1, dan gajah juga 8, sebagai penanda pendirian bangunan candi.
Sejauh ini sudah empat bangunan candi yang ”selesai” dipugar, masing-masing diberi label Candi 1, Candi 2, Candi 3, dan Candi 8. Terlepas dari berbagai tafsir menyangkut keberadaan gugusan percandian Bumiayu, juga kehadiran arca Dwarapala dan Dewi Bhairawi yang menakutkan, beragam gaya seni, baik berupa relief dan komponen bangunan maupun pola hias pada panil-panil-yang ada, menunjukkan semangat kreativitas lokal ikut mewarnai sebuah peradaban.
Peradaban ”antara”
Dari serangkaian kegiatan pengupasan terhadap setiap candi, beragam temuan yang sudah diangkat tersebut juga menunjukkan sisi lain dari peradaban yang berkembang di daerah ini. Sungai Lematang yang kini hanya berjarak belasan meter dari bangunan candi, puluhan abad lampau diyakini memegang peran kunci dalam struktur kebudayaan aliran sungai sejak masa prasejarah dengan tradisi megalitiknya yang tumbuh di bagian hulu (daerah Pasemah) hingga terbentuknya imperium Sriwijaya (abad VII-XIII) dan Kesultanan Palembang (mulai abad XVI) di hilir pada masa jauh sesudahnya.
Tengoklah peta Sumatera Selatan hari ini. Sungai Lematang adalah penghubung antara dua pusat kebudayaan yang selama ini seperti terputus. Dan, di antara kedua pusat peradaban dari masa yang berbeda itu, kawasan situs percandian Bumiayu hampir persis berada di tengahnya.
Di sanalah peradaban ”antara” yang merupakan perpaduan penganut ajaran Hindu dan Buddha itu berkembang selama sekitar empat abad. Sebuah bentuk peradaban aliran sungai, semacam perbatasan di ”antara” peradaban perdalaman yang bercorak megalitik dan peradaban pesisir yang lebih bersifat kekuasaan perdagangan maritim.
Di tengah ingar-bingar berbagai persoalan bangsa hari ini, saksi sejarah peradaban di Bumiayu itu justru tampak kesepian. Dipuja, tapi tak ditoleh!(aik/ken)
(Sumber: Kompas, 24 Mei 2008)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar