Pengumuman

Bila tulisan yang Anda cari tidak ada di blog ini, silakan kunjungi hurahura.wordpress.com

Minggu, 04 April 2010

SEJARAH BATAVIA-TAIWAN: Dan VOC Pun Menyerah di Tainan...


Serikat Dagang Kompeni Hindia Timur atau VOC yang pernah menjajah Nusantara pada masa jayanya pernah menguasai separuh lingkaran dunia.

VOC memiliki pos perdagangan dari pantai barat Afrika di sekitar Ghana, Tanjung Harapan (Kapstad), Galle di Sri Lanka, Surat dan Nagapatnam di India, Ayuthaya di Thailand, Kepulauan Nusantara hingga Pulau Formosa (Taiwan), dan Pulau Deshima di dekat Nagasaki, Jepang.

Setelah Batavia didirikan, VOC mengatur perdagangan antara Pulau Jawa, Nusantara, dan Tiongkok. Kepala Penerangan Kantor Dagang Taiwan di Jakarta Tommy Lee menjelaskan, Pemerintah VOC menjadikan Kota Pelabuhan Tainan di Taiwan sebagai gerbang ekspor-impor dari Tiongkok menuju Kepulauan Nusantara.

”Ada hubungan dagang yang erat pada awal abad ke-17 antara Batavia dan Tainan,” katanya.

Hubungan itu semakin kokoh semasa Kapiten Tjina pertama Batavia, Souw Beng Kong, memimpin komunitas Tionghoa di Batavia (1580-1644).

Sejarawan dari Arsip Nasional Republik Indonesia, Mona Lohanda, dalam buku Sejarah Para Pembesar Mengatur Batavia menulis, pelayaran terbentang dari Amoy di Provinsi Fujian dengan Batavia sejak 1620 hingga awal abad ke-19.

Provinsi Fujian atau Hokkian adalah kampung halaman Souw Beng Kong. Ketika itu dibutuhkan waktu berlayar 28 hingga 30 hari untuk menempuh pelayaran Jawa-Tiongkok. Pelabuhan transit yang ditetapkan VOC mulai mengukuhkan monopoli perdagangan.

Semula VOC membangun pusat kekuatan di Taoyuan (Anping) lalu pindah ke Tainan di sebelah selatan Formosa di utara Kota Kaohsiung. Berulang kali terjadi bentrokan antara VOC dan para panglima Dinasti Ming yang menentang monopoli dagang.

Monopoli dagang di bawah dukungan senjata dan tekanan politik itu mengingatkan kita akan globalisasi dan perdagangan bebas ala World Trade Organization yang sangat merugikan negara berkembang seperti dialami Indonesia saat ini.


Perlawanan Tionghoa


Monopoli dagang VOC akhirnya menimbulkan perlawanan umum masyarakat Tionghoa. VOC membangun benteng Zeelandia di Tainan tahun 1624 yang menjadi pusat perdagangan dan militer.

Sejarawan Taiwan, Chao Cing Fu, mencatat, batu bata yang dipakai membangun Fort Zeelandia didatangkan dari Pulau Jawa. Batu bata digunakan untuk penyeimbang kapal (balast) yang berlayar dari Jawa ke Formosa.

Sebagai bahan semen digunakan campuran ketan, gula, pasir, dan cangkang kerang laut yang dihaluskan. Fort Zeelandia pun selesai dibangun tahun 1634.

Seorang panglima bernama Cheng Cen Kung (Koxinga) tampil memimpin perlawanan rakyat terhadap VOC. Dengan tekad baja dan tidak mempan disuap oleh pedagang Barat (VOC). Sebagai loyalis Dinasti Ming yang di ambang kemunduran, Cheng Cen Kung tetap membuka wawasan untuk mengerti pemikiran dan teknologi baru yang diserap dari Barat dan Jepang kala itu.

”Dia berhasil mengalahkan VOC. Pemimpin VOC dipaksa menyerah dan mengikuti perjanjian damai dengan mengikuti syarat dari Cheng Cen Kung,” ujar Donivan Hsiao, mahasiswa Ursulin Language College di Kaohsiung.

Sejarah mencatat, Cheng Cen Kung berhasil menguasai Fort Zeelandia dan menghapus monopoli VOC pada tahun 1662. Walhasil, nama Cheng Cen Kung pun masyhur sebagai simbol perlawanan atas hegemoni Barat di masyarakat Tionghoa hingga kini.

Pemimpin VOC di Tainan, Frederik Coyett, dipaksa bertekuk lutut dan akhirnya kembali ke Batavia di Jawa. Itulah satu babak kemenangan perlawanan bangsa Asia terhadap hegemoni perdagangan, senjata, dan politik negara maju pada abad ke-17.

Mart Grijsel, seorang Indisch (Indo) asal Belanda, terkagum-kagum melihat Zeelandia dan ikatan sejarah Taiwan-Indonesia dan Belanda di Tainan.

Di Indonesia, kisah perlawanan Koxinga pernah direkam dalam komik strip yang muncul akhir tahun 1970-an hingga awal 1980-an di harian sore Sinar Harapan.

Fort Zeelandia di bawah Cheng Cen Kung disulap menjadi pusat kekuasaan dengan bangunan berlanggam arsitektur Dinasti Ming. Fort Zeelandia berganti nama menjadi Wang Cheng atau Kota Raja. Itulah sepenggal kisah ikatan sejarah antara Jakarta dan Tainan lewat sebuah benteng. (Iwan Santosa dari Tainan, Taiwan)

(Kompas, Minggu, 17 Januari 2010)

Fosil Gading Gajah Purba Ditemukan


SRAGEN, KOMPAS — Enam fragmen gading Stegodon trigonocephalus atau gajah purba ditemukan di lereng tebing di Desa Manyarejo, Kecamatan Plupuh, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah, Jumat (15/1/2010). Panjang gading itu 2,5 meter dan diperkirakan berumur 700.000 tahun.

Gading itu diperkirakan dari gajah yang panjang tubuhnya sekitar 11 meter dan tingginya 6 meter. Gading ini ditemukan di lapisan Kabuh pukul 06.00 oleh seorang warga bernama Asmorejo yang langsung melaporkan temuannya kepada kepala dusun setempat. ”Pak Asmorejo tengah berjalan-jalan menyusuri lereng bukit. Saat itu habis hujan. Ia melihat bagian kecil dari potongan gading yang menyembul ke permukaan tanah,” kata Gunawan, konservator yang juga anggota staf Seksi Pemanfaatan Balai Pelestari Situs Manusia Purba Sangiran (BPSMPS).

Petugas dari BPSMPS langsung menggali lokasi penemuan gading karena khawatir gading tersebut dicuri. Meskipun sebelumnya pernah ditemukan gading gajah purba sepanjang empat meter, gading temuan baru ini cukup istimewa karena tergolong utuh walaupun terbagi dalam enam potongan.

Sejak awal Januari 2010, ditemukan lima fosil lainnya atas laporan warga, yakni fosil rahang atas babi, rahang atas kuda nil, tanduk banteng, tulang rusuk gajah, dan kepala banteng. Penemu gading yang melapor kepada BPSMPS dijanjikan mendapat imbal jasa.


Kurang sepadan

Seorang warga Sangiran, Tono, mengeluhkan imbalan jasa yang dinilainya kurang sepadan dan waktu pemberiannya yang lama. Hal itu, katanya, yang menyebabkan banyak warga diam-diam menjual fosil temuan mereka kepada penadah.

”Kalau kita menemukan gading gajah 3meter, pedagang menawarkan Rp 50 juta, sementara Balai hanya memberikan Rp 1 juta. Padahal, kalau dinaikkan sedikit, Rp 4 juta-Rp 5 juta, pasti warga memilih menyerahkan ke Balai. Hal lain, pemberiannya lama, enam bulan baru uang diberikan. Padahal, perut menunggu untuk diisi. Tanah pertanian di sini tidak bagus. Hanya fosil yang ada di tanah kami,” katanya.

Tono mengatakan, tiga bulan sekali satu kontainer pecahan kecil fosil-fosil dari Sangiran serta dari sepanjang aliran Sungai Bengawan Solo dikirimkan ke pembeli di luar negeri. ”Fosil kecil biasanya tidak diterima Balai,” katanya.

Kepala BPSMPS Harry Widianto mengatakan, mulai 2010 pihaknya menerapkan imbalan jasa diberikan dalam waktu satu minggu. Sejak awal Januari, pihaknya telah mengeluarkan Rp 8 juta-Rp 9 juta untuk imbal jasa penemuan lima fosil. ”Memang nilai imbal jasa sudah ada kriterianya. Fosil manusia tentu lebih berharga daripada fosil hewan,” ujarnya. (EKI)

(Kompas, Senin, 18 Januari 2010)

Kamis, 25 Maret 2010

Bangunan Bersejarah Akan Tetap Dibongkar


SALATIGA, - Bangunan bekas Markas Kodim 0714 Salatiga, Jawa Tengah, yang berusia lebih dari 100 tahun tetap akan dibongkar walaupun menuai kecaman dari masyarakat. Sejumlah pekerja mulai memasang seng di sekeliling bangunan bergaya arsitektur Belanda yang terletak di Jalan Diponegoro 40 Salatiga itu, Senin (11/1).

Sembilan pekerja juga membongkar kayu-kayu yang tergeletak di sebagian gedung tua itu. Gedung bersejarah itu luasnya sekitar 1.300 meter persegi dan berdiri pada areal tanah seluas kira-kira 6.000 meter persegi.

Semua pintu, jendela, dan kusen di bangunan itu sudah lenyap hanya beberapa saat setelah Markas Kodim pindah sekitar tiga bulan lalu. Sebagian sisi tembok juga terlihat sempal. Rencananya bangunan yang masuk dalam inventarisasi cagar budaya Kota Salatiga itu akan dijadikan pusat perbelanjaan.

Bangunan bekas Markas Kodim itu dahulu merupakan Hotel Blommestein. Meskipun sebagian bangunan itu sudah tidak persis dengan aslinya, beberapa ciri arsitektur Belanda masih tampak, seperti lengkung tembok di pintu utama bagian belakang. Jajaran Kodim 0714 Salatiga berkali-kali menegaskan, bangunan itu bukan milik TNI dan merupakan hak pemiliknya untuk memanfaatkan lahan itu.

Wali Kota Salatiga John Manoppo, saat ditemui terpisah, mengatakan, tidak mempersoalkan pembongkaran itu. Menurut dia, izin pembongkaran itu tidak terlalu penting. Baginya yang lebih penting adalah akan dibangun apa di lokasi itu.

Pemerhati sejarah dan penulis buku Salatiga: Sketsa Kota Lama, Eddy Supangkat, mengatakan, kecewa melihat kondisi tersebut.

”Saya promosi keindahan Salatiga, tetapi bangunan bersejarahnya tidak dihargai. Pemerintah bermain kata-kata dengan menganggap bangunan itu baru masuk inventarisasi, belum berkekuatan hukum,” ujarnya.

Ketua DPRD Kota Salatiga Teddy Sulistio menyayangkan proses pemagaran dan rencana pembongkaran dalam waktu dekat itu. Menurut dia, pihaknya baru menerima surat dari Pemerintah Kota Salatiga yang isinya meminta restu pembongkaran. Surat itu rencananya akan dibahas oleh Komisi I dan II DPRD.

(Kompas, Selasa, 12 Januari 2010)


Candi di UII Kombinasi Batu dan Kayu

Pengelolaan Candi Akan Dibahas

SLEMAN, KOMPAS - Struktur candi kuno yang ditemukan di kampus Universitas Islam Indonesia Yogyakarta makin jelas terungkap. Candi peninggalan Mataram Kuno abad IX-X itu memiliki struktur unik yang tidak ditemukan di candi-candi lain karena berupa kombinasi dari batu dan kayu.

Dari penggalian sejak pertengahan Desember 2009, Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Yogyakarta telah mengungkap 30-40 persen dari keseluruhan kompleks candi. Bangunan utama candi berukuran 6 x 6 meter dan satu candi perwara (pendamping) berukuran 4 x 6 meter telah terungkap.

Arca Ganesha dan lingga-yoni juga telah ditemukan di dalam candi utama dan sebuah lapik (tempat sesaji dari batu) di candi perwara. Beberapa relief di dinding candi serta 12 alas tiang dari batu berbentuk bulatan juga telah terlihat.

Direktur Peninggalan Purbakala Junus Satrio Atmodjo yang meninjau lokasi penggalian, Minggu (3/1), mengatakan, alas-alas batu yang ditemukan itu menunjukkan bangunan candi utama memiliki atap, yang kemungkinan besar ditopang tiang kayu.

”Jadi, candi ini dibangun dari kombinasi batu dan kayu. Belum ada candi yang ditemukan memiliki struktur seperti ini,” kata Junus.

Meskipun demikian, ia belum berani menyatakan bahwa hal itu membuktikan candi Hindu ini berasal dari masa yang lebih tua daripada candi-candi lain yang telah ditemukan. ”Bisa saja memang gaya arsitekturnya seperti itu atau karena alasan lain. Itu masih harus dibuktikan melalui penelitian,” katanya.

Direktur Jenderal Sejarah dan Purbakala Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Hari Untoro Drajad mengatakan, pemerintah siap membiayai pengungkapan total candi itu.

Mengenai pengelolaan candi itu di kemudian hari, Hari mengatakan akan mendiskusikan dengan UII sebagai pemilik lahan, termasuk kompensasi atas dibatalkannya rencana pembangunan perpustakaan yang tadinya akan dibangun di lokasi penemuan candi itu.

Wakil Bupati Sleman Sri Purnomo mengatakan, Kabupaten Sleman akan memberikan penghargaan kepada penemu candi itu. Penghargaan itu akan berbentuk piagam dan uang tali kasih. (ENG)

(Kompas, Senin, 4 Januari 2010)


SITUS KOTA KAPUR: Kejayaan Sriwijaya Terkubur Semak Belukar


Arkeolog dari Balai Arkeologi Palembang, Tri Marhaeni, dibantu Sabil (27), warga Desa Kota Kapur, Kabupaten Bangka, menyibak semak belukar yang berada di tengah kebun karet. Setelah mengorek tanah dan daun kering, mereka menemukan batu berwarna putih yang dibungkus plastik hitam.

Batu berwarna putih itu adalah bagian dari tiga struktur candi Hindu yang ditemukan di Kota Kapur. Struktur candi Hindu tersebut diperkirakan dibangun sebelum masa Sriwijaya (abad VII-XII Masehi). Tiga struktur candi diberi nama Candi I, Candi II, dan Candi III. Ketiga struktur candi terpisah 20 meter sampai 50 meter.

Jangan membayangkan candi di Kota Kapur seperti candi di Jawa yang megah. Lokasi struktur candi terkubur di antara tanaman karet, durian, dan kelapa sawit. Plastik hitam itu berfungsi melindungi batu dari pelapukan, sekaligus untuk mempermudah pencarian kalau suatu saat dilakukan penggalian.

”Struktur candi berbentuk segi empat seperti panggung yang disusun dari batu. Ukurannya bervariasi, ada yang 5,6 x 5,6 meter, 4,6 x 4,6 meter, dan 3,1 x 3,1 meter,” papar Tri.

Menurut Sabil, kondisi situs Kota Kapur yang tidak ada bedanya dengan kondisi hutan itu membuat pengunjung kecewa. Banyak pelajar yang melakukan karya wisata ke Kota Kapur kecele. Para pelajar umumnya membayangkan ada sesuatu yang menarik yang bisa dilihat di Kota Kapur.

”Rombongan pelajar dari Pangkal Pinang atau Sungai Liat sering datang ke sini untuk melihat situs. Setelah sampai di sini mereka menggerutu karena hanya melihat semak belukar dan pepohonan,” ujar Sabil.

Peninggalan masa Sriwijaya yang terserak di bawah tanah Kota Kapur bukan hanya struktur candi. Pada penelitian tahun 2007, tim gabungan dari Balai Arkeologi Palembang, Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jambi, serta Dinas Pariwisata Seni dan Budaya Kabupaten Bangka menemukan kepingan kapal dari abad VII di rawa tepi Sungai Kupang yang disebut Air Pancur.

Berdasarkan penemuan kepingan perahu tersebut, diduga Kota Kapur adalah pelabuhan yang ramai pada masa Sriwijaya. Letak pelabuhan itu ada di sekitar Sungai Kupang yang sekarang berubah menjadi rawa.

Peninggalan berupa benteng tanah sepanjang 1,2 kilometer dengan ketinggian 3 meter dan lebar 4 meter di sekitar Kota Kapur masih bisa disaksikan. Akan tetapi, benteng tanah yang dahulu berfungsi menahan serangan dari selatan dan timur itu sekarang hanya berupa gundukan tanah yang ditumbuhi semak belukar.


Serba terbatas


Desa Kota Kapur terletak di Kecamatan Mendo Barat, Kabupaten Bangka. Desa ini bisa ditempuh dengan mobil dari Pangkal Pinang, ibu kota Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, selama 1,5 jam. Sebetulnya jarak Pangkal Pinang-Kota Kapur hanya 50 kilometer, tetapi kondisi jalan yang tidak mulus dan sempit memperlambat perjalanan.

Rumah warga Desa Kota Kapur dibangun di sebelah kiri dan kanan jalan utama desa. Rumah warga bukan rumah panggung, tetapi rumah tembok karena daerah yang dipakai sebagai permukiman bukan rawa. Desa Kota Kapur dihuni 400 keluarga, tetapi dalam satu keluarga bisa terdiri lebih dari lima orang sehingga jumlah penduduk Kota Kapur mencapai ribuan.

Mahadil (62), mantan Kepala Desa Kota Kapur, mengungkapkan, 80 persen warga Desa Kota Kapur bekerja sebagai petani karet, lada, dan kelapa sawit. Sisanya bekerja sebagai nelayan dan buruh di kolong timah.

Menurut Mahadil, tanaman lada yang merupakan komoditas khas Bangka semakin lama semakin tidak bisa diandalkan untuk menopang hidup. Harga lada putih yang saat ini mencapai Rp 40.000 per kilogram dinilai tidak sebanding dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk menanam dan merawatnya. Apalagi tanaman lada hanya panen setahun sekali. Warga pun akhirnya menanam tiga jenis tanaman, yaitu karet, sawit, dan lada supaya mendapat pemasukan lebih besar.

Mahadil mengatakan, tambang timah yang semakin mendekati situs Kota Kapur mengancam kelestarian situs. Mahadil mengakui, sebagian kecil warga Kota Kapur telah beralih profesi sebagai penambang timah karena hasilnya menggiurkan. Tidak sedikit warga yang menyewakan tanahnya untuk dijadikan tambang timah.

Selama bertahun-tahun, warga Kota Kapur menggantungkan hidupnya pada aliran listrik dari genset. Setelah matahari tenggelam sampai tengah malam, bunyi genset terdengar dari seluruh penjuru desa.

Sekarang, di sepanjang jalan utama Desa Kota Kapur sudah berdiri tiang-tiang listrik yang siap mengalirkan listrik. Menurut Ali (26), salah satu warga Kota Kapur, tiang-tiang listrik itu didirikan sejak Agustus 2009. Ali berharap listrik segera mengalir ke desa kelahirannya.

”Kalau listrik masuk ke Kota Kapur, insya Allah Kota Kapur akan maju seperti daerah lain,” kata Ali penuh harap.

Meskipun pasokan listrik masih terbatas, budaya konsumerisme telah melanda warga Kota Kapur. Telepon genggam gampang ditemui di mana-mana meski sinyal di Kota Kapur ”byarpet”. Pulsa telepon genggam dijual di warung yang menjual beras, minyak goreng, dan sayuran.

Menyaksikan kondisi peninggalan Sriwijaya dan kondisi masyarakat Kota Kapur memang terasa menyesakkan dada. Warga Kota Kapur masih hidup dalam keterbatasan, padahal Kota Kapur pada masa Sriwijaya adalah pelabuhan penting. Bahkan, penguasa Sriwijaya menempatkan prasasti persumpahan di Kota Kapur supaya wilayah itu tidak lepas dari hegemoni Sriwijaya.

Sriwijaya adalah kerajaan maritim yang wilayahnya meliputi kawasan Asia Tenggara, bahkan sampai ke Madagaskar. Armada kapal angkatan laut Sriwijaya menguasai jalur perdagangan Asia Tenggara. Sriwijaya juga menjadi pusat agama Buddha.

Kondisi sekarang ironis. Nyaris tak ada peninggalan Sriwijaya yang dapat disaksikan di Kota Kapur. Peninggalan yang ada masih terkubur di antara rimbunnya semak belukar dan di dalam rawa. Mereka menunggu untuk digali dan ditunjukkan kepada generasi selanjutnya.

(Wisnu Aji Dewabrata)

(Kompas, Jumat, 20 November 2009)

BUKU-BUKU JURNALISTIK


Kontak Saya

NAMA ANDA :
EMAIL ANDA :
PERIHAL :
PESAN :
MASUKKAN KODE BERIKUT :