Pengumuman

Bila tulisan yang Anda cari tidak ada di blog ini, silakan kunjungi hurahura.wordpress.com

Selasa, 17 Maret 2009

Menhir-"Simbuang" Pesan Leluhur kepada Orang Gunung

Views


Oleh: Retno Handini

Batu-batu tegak atau menhir sangat mudah ditemukan di berbagai tempat di Tana Toraja, Sulawesi Selatan. Dalam istilah lokal, menhir-menhir itu disebut simbuang.

Menhir-menhir itu didirikan dalam rangkaian upacara penguburan sebagai lambang bagi si mati. Ini sekaligus merupakan monumen untuk mengingatkan generasi penerus bahwa nenek moyang mereka telah melakukan upacara yang megah; mereka hendaknya tetap menghormati dan melanjutkan tradisi mengagungkan para leluhur.

Tradisi ini terasa eksotis karena berlangsung di tengah masyarakat modern, tetapi dibalut pekat dalam tatanan budaya megalitik; budaya batu besar yang berasal dari akhir masa prasejarah. Benang merah di antara dua masa yang berbeda itu sangat kontras dalam keseharian orang Toraja.

Masyarakat di daerah ini percaya bahwa nenek moyang mereka berasal dari Indo-China, yang datang dengan perahu dan membawa kebudayaan batu besar. Beberapa tinggalan khas budaya megalitik bisa ditemukan di Toraja saat ini, seperti menhir (batu tegak), kubur batu, lumpang batu, umpak batu, dan tempayan batu, baik yang dibuat pada masa lalu maupun pada masa sekarang. Ciri khas megalitik ini juga makin terasa lewat upacara persembahan kepada arwah leluhur yang tercermin dari upacara-upacara ritual.

Di tengah hiruk-pikuk modernisasi itulah orang Toraja tetap setia menjalin hubungan baik dengan arwah nenek moyangnya demi menjaga keharmonisan hidup, di dunia dan akhirat. Kepercayaan asli mereka dikenal dengan nama Aluk Todolo, berarti percaya kepada para lelulur, di mana Tuhan (Puang Matua) menjalankan segalanya.

Nama Toraja sendiri berasal dari kata to yang berarti orang dan riaja yang berarti pegunungan, sehingga Toraja berarti orang yang berasal dari gunung. Gunung dianggap sebagai tempat suci, tempat bersemayam para leluhur.


Wakil arwah di dunia

Orang Toraja percaya bahwa sebelum resmi dimakamkan, orang yang telah meninggal dianggap sakit dan dibaringkan di atas tempat tidur. Jenazah kemudian disuntik formalin agar tidak membusuk, dimasukkan dalam peti mati lalu disimpan di kamar.

Setelah beberapa waktu, bisa satu bulan bahkan bisa bertahun-tahun jenazah baru "dikuburkan". Upacara penguburan, yang disebut rambu solo’, merupakan peristiwa yang sangat penting dalam siklus kehidupan warga Toraja. Pelaksanaannya bisa berlangsung lama dan memakan biaya yang sangat besar sehingga terkesan mewah dan eksotis.

Solo’ memiliki arti harfiah matahari yang condong ke barat. Ini berarti bahwa upacara rambu solo’ hanya boleh dilaksanakan setelah pukul dua belas siang, saat matahari mulai condong ke barat, sebagai lambang dari kematian. Orang Toraja menganggap, seseorang telah benar-benar meninggal apabila telah dilaksanakan upacara rambu solo’ untuk menyempurnakan perjalanan arwah si mati ke alam baka yang kekal.

Maka, simbuang pun menjadi lebih bermakna dalam konteks rambu solo’. Di masyarakat yang mengagungkan para leluhur seperti Toraja, upacara kematian akan menempati takhta istimewa dan terhormat. Tak segan mereka mendedikasikan harta bendanya demi dharma untuk arwah leluhur. Memotong hewan kurban, seperti kerbau dan babi hutan, telah menjadi sesuatu yang esensi, yang diyakini akan memperlancar perjalanan arwah ke alam baka.

Salah satu rangkaian upacara rambu solo’ adalah mendirikan menhir-simbuang yang diberi nama sesuai nama pemiliknya sehingga menhir-simbuang diyakini merupakan refleksi dari almarhum. Pihak keluarga pun tidak "kehilangan" kerabatnya karena menhir-simbuang adalah wakil si mati di dunia. Dia tetap berada di tengah-tengah kerabat meski arwahnya telah abadi di alam baka.


Simbol status

Dari fungsi praktis untuk mengikat hewan kurban, akhirnya menhir-simbuang menjelma menjadi simbol status sosial bagi pendirinya.

Menhir-menhir simbuang di Toraja selalu terdapat dalam sebuah rante, yaitu sebidang tanah lapang tempat upacara kematian berlangsung. Setiap keluarga besar memiliki rante masing-masing sehingga rante sering dianggap sebagai perkampungan kecil.

Rante menjadi bagian integral dari tiga komponen penting dalam permukiman tradisional Toraja, yaitu rante (tempat upacara), liang (kuburan), dan tongkonan (rumah adat). Setiap upacara kematian harus dilakukan di rante agar arwah si mati dapat mencapai kesempurnaan.

Menhir di Toraja dapat diklasifikasikan menjadi tiga ukuran, yaitu menhir besar (tinggi lebih dari 200 cm), sedang (tinggi antara 100-200 cm), dan kecil (kurang dari 100 cm). Perbedaan ukuran batu umumnya disebabkan faktor ekonomi. Pasalnya, semakin besar dan berat menhir, semakin besar biaya yang harus dikeluarkan untuk membuat, menarik, maupun mendirikannya.

Oleh karena itu, ukuran dan teknik pembuatan menhir akan mencerminkan status sosial pendirinya. Ketentuan adat menyatakan bahwa tidak semua orang berhak mendirikan simbuang, kecuali kaum bangsawan. Pembuatannya dilakukan pada saat upacara kematian tingkat rapasan sapurandanan, yaitu upacara kematian tingkat tertinggi.

Upacara ini mensyaratkan memotong sekurang-kurangnya 24 kerbau, satu ekor di antaranya harus dipotong menjelang acara tarik batu. Pemilihan batu untuk dijadikan menhir bisa dilakukan sesaat sebelum acara tarik batu dimulai, tetapi bisa juga dilakukan jauh sebelumnya, bahkan di saat almarhum masih hidup.


Menarik batu

Batu yang tinggi dan panjang dari pegunungan adalah batu yang cocok dibuat menhir. Sekali batu dipilih, keramat pun segera merasuk ke dalamnya. Ada batu yang secara alami langsung dijadikan menhir tanpa proses lanjut, tetapi ada juga yang harus dipahat dan dihaluskan di lokasi asal sebelum ditarik ke rante.

Hampir seluruh kerabat dan warga desa terlibat dalam acara tarik batu (meriuk batu) yang dipimpin oleh seorang pemangku adat. Kerbau pun segera disembelih, darahnya ditampung pada bambu dan dipercikkan pada batu yang akan ditarik. Ini adalah simbol meminta izin pada roh sang penguasa batu sekaligus memberi "jiwa" pada batu agar batu dapat ditarik dengan lancar.

Diletakkan di atas landasan kayu yang bergulir, prosesi pendirian menhir pun segera dimulai. Batu kemudian ditarik para lelaki secara bergantian dalam formasi barisan. Jumlah penarik batu bergantung pada ukuran batu; semakin besar dan berat batu yang ditarik, semakin banyak pula jumlah tenaga yang dibutuhkan.

Sepanjang perjalanan, iring- iringan penarik batu meneriakkan yel-yel pembangkit semangat yang biasanya berupa nyanyian atau syair-syair. Para wanita mengiringi rombongan penarik batu sambil membagikan minuman dan makanan kecil.

Sesampai menhir di rante, batu kemudian ditanam secara berdiri. Pemimpin upacara melayangkan doa dan meresmikan batu tersebut sebagai menhir (simbuang) almarhum orang yang diupacarakan. Sang pendiri akan kekal menyatu dengan sang menhir.

Keberadaan menhir-simbuang sangat penting dalam suatu proses daur hidup manusia Toraja dan merupakan simbol status sosial orang yang mendirikan dan memiliki menhir tersebut. Dalam suatu kepercayaan Toraja, tidak jarang orang yang masih hidup sudah memilih batu untuk dijadikan menhir pada saat upacara penguburannya karena dia menginginkan menhir terbaik yang dapat merefleksikan dirinya.

Batu tegak itu adalah pesan leluhur kepada para keturunannya di Tana Toraja, bumi sang orang-orang gunung, yang akan tetap hidup subur di setiap sanubari. Semuanya seolah menggambarkan betapa tradisi megalitik telah dan akan tetap berlangsung di Tana Toraja, sampai kapan pun....

Retno Handini Peneliti pada Puslitbang Arkeologi Nasional, Jakarta

(Sumber: Kompas, Rabu, 16 Mei 2007)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BUKU-BUKU JURNALISTIK


Kontak Saya

NAMA ANDA :
EMAIL ANDA :
PERIHAL :
PESAN :
MASUKKAN KODE BERIKUT :