Views
Salah satu tempat yang wajib dikunjungi wisatawan, menurut brosur tentang Nakhon Ratchasima, Thailand, adalah Museum Nasional Maha Viravong yang berada di pusat kota, dekat dengan Patung Thao Suranaree, pahlawan perempuan kebanggaan dan pujaan penduduk kota. Museum itu menyimpan jejak sejarah kota Nakhon Ratchasima sejak masa prasejarah hingga masa Kerajaan Bangkok. Letaknya tepat di belakang Perpustakaan Raja Rama IX dan masih satu kompleks dengan Wat Suthajinda di Distrik Muang.
Maka, betapa kagetnya kami ketika mendatangi museum. Dari luar, kami mengira museum adalah pusat kompleks Wat Suthajinda. Ternyata, selain hanya berlantai satu, ruangan museum pun hanya sebesar ruang tamu di rumah biasa. Mungil... dan begitu melangkah masuk, seluruh isi ruangan terlihat jelas. Koleksi museum berupa arca, prasasti, dan keramik terekam di benak dalam sekali sapuan pandangan mata.
Di samping pintu masuk, ada loket penjualan tiket yang harganya 10 baht per orang. Loket itu merangkap toko buku tentang sejarah Nakhon Ratchasima, Thailand, Khmer, dan Asia Tenggara dalam bahasa Inggris dan Thai. Lurus menghadap pintu adalah prasasti batu dan di belakangnya ada beberapa arca batu dewa Hindu dan Buddha.
Berjalan ke sisi kiri, juga ada arca Buddha dan prasasti batu serta tambur perunggu. Di sisi kanan, tepat di depan toko buku, dipajang sepasang kursi berjok merah. Itu adalah takhta yang pernah diduduki Raja Chulalongkorn, Raja Vajiravudh, serta Raja Rama IX atau yang lebih terkenal dengan nama Raja Bhumibol Aduljadej serta permaisurinya Ratu Sirikit saat mengunjungi Nakhon Ratchasima.
Di belakang takhta ada lemari untuk memajang mata uang, alat serpih, dan manik-manik dari masa prasejarah yang usianya antara 3.000-2.000 tahun lalu. Satu lemari lainnya untuk menyimpan benda-benda keramik hasil, antara lain, penggalian arkeologi di Ban Prasat, Distrik Nonsoong serta keramik China.
Museum itu secara resmi dibuka pada 24 Juni 1954. Sebagian besar koleksinya semula adalah benda koleksi milik Somdej Phra Maha Viravong (Uan Tisso), mantan biksu kepala di Wat Suthajinda. Dia senang mengumpulkan benda-benda bersejarah yang ditemukan di Nakhon Ratchasima dan provinsi sekitarnya. Benda-benda itu dia simpan di rumahnya.
Koleksinya kemudian diserahkan kepada Departemen Seni Budaya pada tahun 1927 sebagai bagian dari benda budaya Thailand. Koleksi lainnya merupakan hasil penggalian arkeologi di wilayah Nakhon Ratchasima dan beberapa juga sumbangan perorangan.
Semua koleksi sang biksu kemudian dijadikan koleksi museum. Untuk menghormati dia, maka museum yang dibangun itu pun dinamai sesuai namanya, Maha Viravong.
Di antara koleksi itu terdapat prasasti batu Ban Phan Doong yang berasal dari Distrik Kham Thalesah. Prasasti itu bertarikh abad IX Masehi dalam bahasa Sanskrit dan huruf Pallava. Namun, prasasti itu tidak utuh dan hanya bagian atasnya saja yang ada. Mayoritas patung yang ada adalah arca Buddha bergaya Dvarawati (IX-X Masehi), Lopburi (X-XIII Masehi), atau Ayutthaya (XIV-XVIII Masehi) yang terbuat dari batu, kayu, tanah liat, serta perunggu.
Arca Hindu
Ada pula arca dari agama Hindu seperti patung Ganesha dari abad X dengan gaya Lopburi terbuat dari batu setinggi 69 sentimeter. Selain Ganesha, terpajang pula deretan arca kecil dari sebuah lintel yang menggambarkan sembilan dewa sedang menaiki wahana masing-masing. Misalnya, Dewa Indra mengendarai gajah dan Dewa Shiva menunggangi lembu.
Benda koleksi museum lainnya berupa arca Phra Phaisachayakhru Vaitoonprapha atau dewa obat-obatan yang bergaya Lopburi dan tingginya 46 sentimeter serta Vajra atau petir terbuat dari perunggu sepanjang 14 sentimeter yang bergaya Lopburi.
Semula kami mengira, setelah apa yang tersaji di ruang depan, masih ada lorong di kiri kanan untuk ke bagian belakang koleksi museum. Ternyata seluruh benda museum hanya itu yang ada. Kami tidak perlu mencari ke mana-mana lagi. Semua ada di ruang pamer yang mungil dan tenang tersebut.
Kalau dibandingkan dengan koleksi Museum Radya Pustaka di Solo, sangat sedikit benda yang ada. Namun, pengelolaan dan penyebaran informasinya meluas meski isinya singkat, seperti sosok museumnya sendiri. Meski kecil, museum ini lumayan ngetop. Biar mungil, namanya besar. (Ida Setyorini, dari Nakohn Ratchasima)
(Sumber: Kompas, Selasa, 11 Desember 2007)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar