Pengumuman

Bila tulisan yang Anda cari tidak ada di blog ini, silakan kunjungi hurahura.wordpress.com

Minggu, 15 Maret 2009

Peninggalan Purbakala: Masyarakat "Terputus" dengan Candi-candi Itu…

Views


Oleh: Antony Lee dan Andreas Maryoto


Trimaryani meminta agar batu itu didiamkan. Ia tidak memperbolehkan suaminya menggali batu yang berbentuk kotak dengan berbagai ornamen di sampingnya itu.

"Kowe ora sah melu-melu. Nek wong liyo ben wae (Kamu tidak usah ikut-ikutan. Kalau orang lain biar sa- ja)," katanya, menceritakan ketika memperingatkan suaminya untuk tak bertindak macam-macam dengan batu yang ada di samping rumahnya di Desa Sidomulyo, Kecamatan Ungaran Timur, Kabupaten Semarang, Jateng.

Tri menceritakan, sejak kecil ia sudah mengetahui batu yang bentuknya mirip yoni itu. Sudah banyak orang berusaha menggali batu itu tetapi diceritakan tidak ada yang mampu mengangkatnya.

Menurut Trimaryani, berbagai kejadian yang menjadikan batu itu sepertinya bertuah. Ada kisah orang yang dicekik karena hendak menggali batu itu. Ada pula kemungkinan di bawah batu itu ada mata air besar yang bisa menyemburkan air besar hingga banyak orang tidak berani menggali. "Jangan sampai ada Lapindo kedua di sini," kata Tri sambil sedikit tersenyum menyebutkan kekhawatirannya bila air itu menyembur maka kawasan itu bisa menjadi rawa. "Lha saget tobat tho (Bisa berabe kan)," katanya.

Bagian candi yang ada di rumah Trimaryani ini hanyalah satu di antara ratusan batu yang diduga candi yang berserakan di kampung itu.

Tidak sedikit dari batuan itu sudah beralih fungsi menjadi pondasi rumah. Ada juga yang digunakan untuk pagar.

Sebuah kolam kecil milik Nur (28), warga Kampung Paren lainnya, juga dihiasi dengan patung yang sudah dicat berwarna biru. "Dulu banyak mas, tetapi sekarang sudah digunakan untuk pondasi rumah," kata Nur. Di rumah Nur terdapat sejumlah potongan batuan yang diperkirakan bagian dari candi. Di tempat lain ada warga yang menyimpan yoni.

"Beberapa batu di sini di-larung (dihanyutkan ke laut) karena dianggap berhala," kata Mbah Dargo (79), mengisahkan beberapa orang yang membuang sejumlah bagian candi ke laut karena batu-batuan itu dianggap tidak layak berada di tempat itu

Di tengah problem apresiasi masyarakat yang kurang, tidak sedikit orang yang ingin memanfaatkan batuan-batuan yang berserakan itu demi keuntungan ekonomi. "Sudah ada lima orang ke sini menawar batu itu, namun tidak saya berikan," kata Mbah Dargo.

Fenomena mitos, ketidaktahuan, keyakinan tertentu, dan juga kepentingan ekonomi muncul di permukiman tempat peninggalan bersejarah yang diperkirakan termasuk dalam masa Mataram Hindu sekitar Abad IX. Abad klasik di Indonesia.

Masalah bertambah dengan tidak adanya niat pemerintah untuk mengelola "situs" seperti itu. Disebut situs purbakala karena nyatanya sejumlah artefak ditemukan di situ. Namun, lokasi seperti itu sering juga "kabur" sebagai situs karena faktanya tak dibebaskan/dibersihkan dari permukiman penduduk, atau tata guna yang lain.

Di lokasi itu, penduduk juga tidak pernah diberi tahu keterkaitan benda itu dengan kebudayaan atau peradaban tertentu sehingga menyepelekan saja benda-benda itu. Akibatnya, masyarakat menjadi "terputus" dengan benda-benda yang kadang malah disebut berhala.

Sampai sekarang, penduduk Sidomulyo tidak mengetahui makna benda-benda itu dalam konteks riwayat atau masa tertentu. Sebagian besar warga hanya mendengar cerita dari para pendahulu mereka kalau tempat itu merupakan kompleks candi yang tidak jadi dibangun.

Tidak sedikit yang bercerita kalau candi itu batal dibangun karena saat pembangunan candi ada orang lain yang mengetahui hingga tidak dilanjutkan. Ada juga yang menceritakan candi itu tidak selesai dibangun karena pada saat harus selesai, keburu ayam berkokok sebagaimana legenda Roro Jonggrang. Kabut mitos, dan di sisi lain sikap malas lembaga berkompeten untuk memberi penjelasan dan pemaknaan, adalah sumbernya.

Arkeolog dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Niken Wirasanti mengatakan, masalah seperti itu merupakan masalah yang pelik. Banyak persepsi yang salah sehingga peninggalan itu kadang tidak memberi makna apa pun. "Apresiasi masyarakat masih kurang. Kalau dipelajari secara betul, benda-benda itu bukan berhala. Jangan menilai benda-benda itu berdasarkan nilai-nilai yang sekarang. Kalau dikaitkan dengan nilai-nilai sekarang kadang tidak akan nyambung. Kita harus menilai dengan kaca mata masa lalu sehingga muncul penilaian yang merepresentasikan fenomena saat itu."

Dampak penilaian yang salah itu akan mengakibatkan hubungan antara masyarakat dan benda purbakala itu jadi "terputus". Benda-benda itu jadi tidak terkait dengan masa lalu nenek moyang mereka, dan nyaris tanpa arti. "Berbagai peninggalan itu terkait dengan masa kini. Sepertinya terputus, namun ada rangkaian dari Kerajaan Mataram Hindu, lalu berpindah ke timur. Kemudian pindah lagi ke barat di Demak," kata Niken.

(Sumber: Kompas, Jumat, 23 November 2007)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BUKU-BUKU JURNALISTIK


Kontak Saya

NAMA ANDA :
EMAIL ANDA :
PERIHAL :
PESAN :
MASUKKAN KODE BERIKUT :