Pengumuman

Bila tulisan yang Anda cari tidak ada di blog ini, silakan kunjungi hurahura.wordpress.com

Selasa, 12 Januari 2010

Konservasi Fosil Gading Gajah Purba Sembarangan

Views


KUDUS, KOMPAS — Musthofa alias Rakijan, juru pelihara benda cagar budaya, khususnya fosil Situs Patiayam Desa Terban, Kecamatan Jekulo, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, dalam hati kecilnya menangis melihat proses konservasi fosil gading gajah purba (Stegodon trigono chepalus) yang dilaksanakan Museum Jawa Tengah Ronggowarsito di Kota Semarang.

Selain melibatkan banyak orang yang ditengarai bukan ahlinya, hal tersebut juga menyangkut perlakuan ”kasar” terhadap fosil itu hingga penggunaan bahan-bahan konservasi yang tidak tepat.

”Namun, karena ’pangkat’ saya hanya juru pelihara, ya tidak bisa berbuat apa-apa. Saya sangat khawatir proses konservasi tersebut justru merusak fosil yang diperkirakan berumur 700.000-1,5 juta tahun lalu,” tuturnya kepada Kompas di sela-sela menerima kunjungan sejumlah siswa dan guru Mountain View International Christian School (MVICS), Sabtu (26/9) di Kudus, Jawa Tengah.

Para siswa MVICS yang dipimpin salah seorang guru mereka, David Jameson, selain meninjau Situs Patiayam, juga melihat langsung proses produksi jenang kudus (salah satu makanan khas Kudus) serta PT Pura Barutama.

Sejak beberapa bulan terakhir Museum Ronggowarsito menawarkan diri untuk melakukan konservasi terhadap tiga fosil gading gajah purba yang ditemukan di Situs Patiayam.

Satu fosil di antaranya, yaitu fosil gading gajah purba, setelah selesai dikonservasi sempat dipamerkan di Festival Internasional Borobudur di Magelang dan juga dalam pameran produk usaha kecil menengah yang digelar di Alun-alun Simpang Tujuh Kudus.

Sekarang, untuk sementara, fosil tersebut disimpan di salah satu ruangan di Kantor Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kudus.

Menurut Musthofa, konservasi yang dilaksanakan Museum Ronggowarsito sangat berbeda dengan penanganan serupa di Museum Sangiran di Sragen, Jawa Tengah. ”Saya sempat mengikuti pelatihan dan praktik lapangan di sana sehingga tahu persis. Di Sangiran, jumlah petugas ahli maksimal hanya tiga orang. Cara menangani sangat hati-hati karena fosil sangat rawan gempil (lepas sebagian), patah, remuk, hingga terkontaminasi dengan lingkungan. Sebaliknya di Ronggowarsito, jumlah yang menangani 10-18 orang. Hal itu malah mengakibatkan terjadi kerusakan di sana-sini. Lem perekatnya juga berbeda, bersifat lebih keras. Padahal, sebaiknya malah menggunakan lem kayu. Saya memilih menghindar ketika mengetahui cara kerja petugas,” tuturnya.

Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kudus Abdul Hamid, melalui Kepala Seksi Museum Sejarah Purbakala Sancaka Dwi Supani dan Wakil Ketua Forum Pelestari Situs Patiayam Supardi, mengatakan akan segera mengecek ke Museum Ronggowarsito serta melakukan studi banding lanjutan ke Museum Sangiran.

”Jika pernyataan Musthofa itu benar, kami akan mengkaji ulang dan personel konservasi memang harus ahli di bidangnya,” kata Supani. (SUP)

(Kompas, Selasa, 29 September 2009)

3 komentar:

BUKU-BUKU JURNALISTIK


Kontak Saya

NAMA ANDA :
EMAIL ANDA :
PERIHAL :
PESAN :
MASUKKAN KODE BERIKUT :