Views
Berkaca pada Sriwijaya
Boleh jadi inilah pameran paling ”menarik”. Bukan saja karena acara pembukaannya ditandai kehadiran para ibu rumah tangga dari kalangan masyarakat kebanyakan yang duduk di kursi undangan, arena pameran pun berada di daerah pinggiran kota.
Saat bersamaan, pada Jumat (18/7) sore itu, sebuah pameran dalam semangat dan atmosfer kekinian juga dibuka di atrium satu pusat perbelanjaan terkemuka di kota yang sama, Palembang!
Selain dihadiri petinggi pemerintah provinsi setempat serta sejumlah pejabat Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, acara yang didatangi para undangan ”terhormat” itu juga dimeriahkan berbagai pertunjukan kesenian. Tak ketinggalan penampilan penyanyi yang lahir dari mekanisme ”SMS” lewat acara sebuah televisi swasta.
Bisa dimaklumi bila dua pameran yang sama-sama dipayungi oleh Departemen Kebudayaan dan Pariwisata itu mendapat perlakuan berbeda. Yang satu mengusung tema kelampauan terkait keberadaan benda-benda purbakala (baca: kebudayaan), yang satu lagi berorientasi ke masa kini dengan semangat untuk menggerakkan pertumbuhan ekonomi (baca: pariwisata) lewat pameran berjudul ”Kemilau Sumatera”.
Di tengah kehidupan yang lebih mengedepankan sisi gemerlap dan pragmatisme, memang tak banyak yang tertarik untuk berhadapan dengan kelampauan. Belum lagi lokasi pameran yang digelar di lingkungan Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya (TPKS) di kawasan Karanganyar, Palembang, itu jauh dari pusat keramaian kota. Sementara akses kendaraan umum yang langsung menuju TPKS pun tak ada.
Alhasil, lengkap sudah pemarjinalan itu. Meski dibalut subtema ”Sriwijaya: Bumi Bahari, Solusi untuk Negeri”, hal itu ternyata tak cukup menjadi semacam magnet untuk menjaring pengunjung mendatangi arena pameran kepurbakalaan di TPKS itu.
”Lokasi ini dipilih sebetulnya dengan maksud untuk menghidupkan keberadaan TPKS sebagai obyek wisata sejarah,” kata Direktur Peninggalan Purbakala Soeroso MP. Seusai membuka pameran, Soeroso pun berbaur dengan para ibu rumah tangga serta siswa SLTP di sekitar lokasi TPKS yang sengaja didatangkan bersama guru mereka untuk ”memeriahkan” acara pembukaan.
Penguasa laut
Menurut catatan Bambang Budi Utomo, arkeolog dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional, Sriwijaya adalah kerajaan yang lahir dan dibesarkan oleh dan berkat kekuatan menguasai laut. Dalam prasasti Kedukan Bukit bertarikh 16 Juni 682, misalnya, kekuatan sebagai penguasa laut itu bahkan sudah tercermin ketika Raja Dapunta Hyang Sri Jayanasa mendirikan wanua (perkampungan) awal di Palembang sebagai cikal bakal pusat Sriwijaya.
Ketika melakukan perjalanan suci (mangalap siddhayatra) untuk mencari tempat dan mendirikan sebuah wanua, pada 23 April 682, Dapunta Hyang berangkat dari satu tempat bersama ”dua laksa tentara dan 200 peti perbekalan yang naik perahu, serta 1.312 orang yang berjalan kaki”.
Setelah meninggalkan Minanga pada 19 Mei 682, pada 16 Juni 682 mereka tiba di daerah Karanganyar—Palembang sekarang, yang dari potret citra satelit memperlihatkan adanya sisa ”bangunan-bangunan air” dan diduga bagian dari bekas keraton. Bagian lain prasasti Kedukan Bukit pun mencatat, ”... dengan demikian, Kerajaan Sriwijaya menang dan menjadi makmur senantiasa.”
Catatan-catatan musafir dari Negeri Tiongkok serta Arab dan Parsi juga mendukung keberadaan Kerajaan Sriwijaya sebagai penguasa laut. Meski pada abad VIII-IX penguasa Sriwijaya berasal dari dinasti Syailendra, penguasaan laut tetap menjadi ciri utama kekuatan Sriwijaya.
Di tengah minimnya data historis yang dimiliki Bernard HM Vlekke tentang Sriwijaya, dalam Nusantara: Sejarah Indonesia (edisi bahasa Indonesia, 2008) ia masih sempat menorehkan catatan, ”Kerajaan di selatan yang lebih penting adalah Sriwijaya, dengan Palembang sebagai ibu kotanya.”
Bertolak dari laporan-laporan yang ditulis oleh para musafir China, Vlekke menyebutkan, ”Sriwijaya menguasai Malayu dan sejumlah pelabuhan lain serta wilayah di Sumatera dan Semenanjung Malayu. Kemudian ia menjadi kekuatan kelautan yang besar di Indonesia bagian barat.”
Tentang raja-raja Sriwijaya, Vlekke melukiskan, ”Syailendra di Sumatera adalah raja-raja pelaut dan mereka berhasil menaklukkan pantai-pantai Semenanjung Malaya ke bawah kekuasaan mereka....” Akan tetapi, kata Vlekke, jarangnya informasi yang dapat diandalkan tentang kegiatan ekonomi dan militer mereka membuat fitrah dan cakupan ”kerajaan kelautan” dari masa awal Indonesia ini kabur.
Apa yang disuarakan Vlekke lebih dari 60 tahun lampau (edisi pertama bukunya ini terbit pada 1943) itu ternyata hampir sama sebangun dengan kenyataan hari ini. Kendati berbagai data baru terkait keberadaan Sriwijaya sebagai ”penguasa laut” terus ”bermunculan” dari waktu ke waktu, citranya sebagai negeri maritim tak lagi bisa bergema. Keinginan untuk mengembalikan Indonesia sebagai ”penguasa laut” ibarat masih jauh panggang dari api.
Negeri bahari
Pameran kepurbakalaan yang berlangsung selama sepekan di TPKS, 18-23 Juli 2008, adalah bagian dari upaya untuk menampilkan kejayaan kerajaan penguasa laut pada masa awal Nusantara itu menjadi suatu keniscayaan. Semangat yang ingin diusung, seperti dikatakan Soeroso, adalah bagaimana mengembalikan semangat Sriwijaya sebagai bangsa ”penguasa laut” sejati dalam kehidupan kebangsaan kita hari ini.
Karena itu, selain dipamerkan bermacam-macam replika prasasti yang umumnya berisi kutukan dari penguasa Sriwijaya atas daerah taklukannya, materi yang mengisi sudut-sudut ruang pamer memang beratmosferkan Sriwijaya sebagai negeri bahari. Sebuah replika ”perahu Sriwijaya” yang cuma ditampakkan bagian buritannya—lengkap dengan kemudi ”raksasa” tinggi menjulang hampir menyentuh langit-langit—menjadi semacam ikon pameran kepurbakalaan di Museum Sriwijaya yang sepi pengunjung itu.
”Pada masa kini, makna dari kebesaran Sriwijaya sebagai bangsa maritim hendaknya dapat menjadi inspirator dan motivator bagi bangsa Indonesia untuk bangkit dan maju sebagai bangsa bahari yang besar. Tentu saja termasuk di semua bidang kehidupan bangsa Indonesia, seperti kebudayaan dan pariwisata,” kata Hari Untoro Drajat, Dirjen Sejarah dan Purbakala.
Akan tetapi, keinginan untuk menata kembali ingatan kolektif bangsa ini terkait peran Sriwijaya (juga Majapahit dan Demak pada periode awal) sebagai ”penguasa laut” Nusantara, tak cukup berbalut semangat semata. Harus ada gerakan dan langkah nyata bahwa sesungguhnya sejak awal bangsa ini berkiblat ke laut. Bukan ke darat, sebagai negara agraris, sebagaimana hasil indokrinasi pemerintah kolonial lewat sistem ”tanam paksa”-nya.
Meminjam ungkapan Zuhdi Susanto, sejarawan dari Universitas Indonesia, sejatinya bukan laut yang berada di antara pulau-pulau di Nusantara, tetapi pulau-pulau itulah yang berada di laut.... (wad/boy/ken)
(Sumber: Kompas, Jumat, 1 Agustus 2008)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar