Views
Mereka Tak Ingin Tertimpa Azab
Sekalipun telah hampir dua abad berlalu, kedahsyatan letusan Gunung Tambora pada 11 April 1815 terekam dalam ingatan masyarakatnya. Bermuara dalam cerita seputar asal muasal letusan gunung tersebut, tentunya dengan beragam versi dan penokohannya.
Akan tetapi, ada benang merah atau pesan yang sama dari berbagai cerita tersebut. Letusan Tambora dalam alam pikir masyarakat saat itu adalah sebuah azab dari yang Maha Kuasa.
Salah satu versi mengisahkan, pada suatu ketika datang seorang bernama Said Idrus asal Bengkulu. Dia tiba di negeri Tambora untuk berniaga. Suatu saat naiklah dia ke darat dan berjalan-jalan ke pasar sampai waktu shalat zuhur. Said lalu masuk ke masjid untuk bersembahyang.
Di dalam masjid ia melihat anjing dan diusirnya keluar. Bangkitlah amarah sang penjaga anjing dan mengadukan perihal itu kepada raja. Raja marah dan menyuruh memotong anjing dan kambing. Said, orang Arab itu, lalu dipanggil. Tuan Said datang dan duduk bersama petinggi Tambora. Hidangan nasi ditaruh di hadapan orang banyak dengan suatu hidangan yang berisi daging anjing di hadapan Tuan Said. Adapun hidangan berisi daging kambing di hadapan orang lain dan raja.
Setelah makan, Raja Tambora berkata bahwa daging yang dimakannya itu daging anjing. Tetapi, Said menyahut, "Bukan anjing yang saya makan tadi, saya makan daging kambing."
Berbantahlah mereka, dan raja menjadi semakin marah dan memerintahkan agar Said dibunuh. Said pun dibawa ke Gunung Tambora. Sesampainya di atas, orang-orang suruhan raja menikamkan senjata dan tombak, tetapi Said tidak termakan senjata itu. Kemudian orang itu menghela kayu, ada yang mengambil batu, ada yang melontar, memukul sehingga pecah kepala said dengan darah berhamburan.
Said yang sudah dikatakan mati dimasukkan ke dalam gua. Pulanglah mereka hendak menyampaikan kepada raja. Maka, menyala api di gunung tempat Said dibunuh tadi. Orang-orang itu berlari hendak masuk ke negeri besar, tetapi api duluan menyala dalam negeri itu. Gemparlah seisi Tambora. Mereka masing-masing mencarikan dirinya kehidupan.
Cerita itu ditulis Roorda van Eysinga tahun 1841 dan dilampirkan dalam buku Syair Kerajaan Bima suntingan Henri Chambert-Loir dari EFEO (Lembaga Penelitian Perancis untuk Timur Jauh).
Dalam versi lain, azab datang karena Sultan Tambora membunuh seorang Arab bernama Hadji Mustafa. Bencana berbuntut kematian, kelaparan, dan kemelaratan itu dianggap sebagai amarah Illahi yang kemudian membalik nasib Pulau Sumbawa, terutama kawasan Bima.
Bernice De Jong Boers, ilmuwan asal Denmark dalam makalah revisinya bertajuk "Mount Tambora in 1815: A Volcanic Eruption in Indonesia and Its Aftermath" menggambarkan, Pulau Sumbawa sebelum meletusnya Gunung Tambora sebetulnya dalam keadaan cukup baik secara ekonomi. Jauh sebelumnya, di Sumbawa jauh lebih lebat hutannya. Ketika orang pertama datang, sebagian dari hutan ditebang untuk berladang.
Sekitar tahun 1400, orang- orang Jawa memperkenalkan cara bertanam padi di sawah dan mulai mengimpor kuda. Semakin lama jumlah penduduk berkembang. Orang mengandalkan hidup terutama dari beras, kacang hijau, dan kuda. Sementara dari perkebunan orang mengandalkan kopi, lada, dan kapas yang bisa tumbuh subur. Di kawasan itu telah terdapat pula hubungan dagang. Pada masa itu Kerajaan Bima umumnya terbuka dari dunia luar. Dari segi ekonomi, perniagaan merupakan penghasilan utama dengan komoditas ekspor utama sebelum 1815 ialah beras, madu, kapas, dan kayu merah.
Setelah Tambora meletus, kesejahteraan yang terbangun itu runtuh. Saat itu terdapat enam kerajaan kecil di Pulau Sumbawa. Syair Kerajaan Bima menyebutkan dua kerajaan punah terkubur, yakni Pekat dan Tambora. Jauh setelah kejadian, muncul berbagai spekulasi bahwa terdapat istana kerajaan yang terpendam dengan beragam kekayaan. Apalagi dari penggalian yang dilakukan Sigurdsson dari Universitas Rhode Island, AS, dan tim dari Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi sempat ditemukan keramik-keramik yang diperkirakan bermotif Vietnam. Muncul pula dugaan hidupnya orang-orang berbahasa Mon-Khmer, bahasa yang tidak lazim dituturkan di Nusantara.
Asumsi-asumsi tersebut diragukan Bambang Budi Utomo, arkeolog dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional, yang sempat mengunjungi lokasi penggalian Sigurdsson. "Istilah kerajaan di luar Pulau Jawa tidak dapat disamakan dengan kerajaan besar di Jawa yang kaya raya. Jadi, jangan dibayangkan istana kerajaan seperti istana raja-raja di Jawa. Selain itu, temuan keramik yang mempunyai kesamaan dengan tembikar dari kawasan Indocina bukan berarti menandakan hidup populasi pendukung budaya Khmer. Tembikar itu sepertinya buatan China dan dapat saja sampai di Tambora karena adanya perdagangan," kata Bambang.
Dia menyayangkan penelitian tersebut tidak melibatkan para arkeolog. Setelah letusan, keadaan di sekitar Tambora—terutama di Bima—pun berbalik. Tanah yang tak dapat ditanami selama lima tahun membuat kelaparan dan kemelaratan berkepanjangan.
Kini, berjalan di lereng Tambora, tentu berbeda suasananya. Rumput tebal mengisi permukaan tanah, yang hampir dua abad lalu berselimut abu vulkanik. Lereng gunung itu menghijau, dengan hutan serta semak yang rimbun. Tanah telah kembali memberi berkah. Sebagian besar penduduk di lereng Tambora hidup dari pertanian dan perkebunan. Ada pula yang menjadi pemandu naik gunung.
Azab baru mengintai
Saat ini Gunung Tambora dalam kondisi aktif normal atau tidak ada aktivitas yang mencurigakan. Namun, sesungguhnya azab lain akibat manusia yang tak ramah kepada alam tengah mengintai.
Sejak tahun 1972, Gunung Tambora telah menjadi sasaran sebuah perusahaan penebangan kayu komersial. Perusahaan itu memegang hak pengusahaan hutan (HPH) seluas 31.000 hektar sampai di ketinggian 1.400 meter dan sebagian telah dieksploitasi. Di hutan itu kayu-kayu keras tropis jenis duabanga moluccana.
Operasional perusahaan penebangan itu mengancam kelestarian hutan. Pada masa yang sama, penduduk Calabai berkembang di utara Pekat. Sebagian dari mereka datang dari Lombok di bawah program transmigrasi pemerintah. Sebagian besar penduduk Calabai terkait dengan usaha penebangan itu. Penggergajian sempat beroperasi di Calabai selama beberapa dekade.
Masyarakat sekitar hutan mulai merasakan ketidakseimbangan alam akibat perusakan itu. Terutama sebagian masyarakat yang bertanam kopi di hutan dengan sistem tumpang sari.
"Pada tahun 1980-an produksi kopi dapat mencapai enam ton per hektar sehingga warga berbondong masuk hutan. Tetapi, sekarang produksi turun dan lahan tidak sesubur dulu. Sebagian dari kami meyakini, dulu kopi subur karena hutan lebat.
Namun, sekarang hutan sudah habis dieksploitasi perusahaan penebangan dan kurang penghijauannya," kata Rusman A Bakar, Kepala Desa Tambora, ketika dikunjungi di rumahnya di lereng Tambora pada pertengahan Maret lalu.
Untuk sementara, kegiatan operasionalnya perusahaan pemegang HPH itu telah dihentikan sejak 24 Mei 2003 atas instruksi Gubernur NTB (ketika itu) Harun Al Rasyid, lantaran tidak mematuhi kewajibannya seperti dalam penanaman area bekas tebangan (Kompas, 18 September 2003). Namun, tentu saja pengembalian kondisi hutan dengan vegetasinya yang tumbuh besar selama puluhan tahun tidak secepat saat kayu hutan dieksploitasi.
Permasalahan lain, seiring dengan terjadinya krisis ekonomi sejak tahun 1998 dan impitan kebutuhan hidup, warga mulai membuka hutan. Batas-batas hutan dilanggar dijadikan ladang ataupun area hunian.
Sepanjang jalan sebelum mencapai Pos I di lereng Tambora, dengan mudah terlihat tanah garapan masyarakat di lereng gunung itu. Petak sawah tadah hujan bersebaran di tengah hutan. Terdapat pula petak lahan dengan area hutan yang rusak bekas digergaji. Gubuk-gubuk kecil tampak berdiri tidak jauh dari lahan hutan yang rusak itu.
Menurut Rusman A Bakar, sebetulnya telah ada upaya pelestarian hutan. Warga di sekitar hutan sadar, kehidupan mereka harus berdampingan dengan hutan serta bencana alam yang dapat ditimbulkan dari penggundulan hutan. "Contohnya, setiap masyarakat yang masuk hutan harus membuat surat pernyataan," ujarnya.
Isi surat pernyataan itu antara lain lahan yang ditempati tidak dapat menjadi hak milik atau berpindah tangan. Warga juga tidak boleh mengubah fungsi hutan. Jika hendak bertanam harus menggunakan sistem tumpang sari, dan sewaktu dibutuhkan negara warga rela melepaskan lahan.
Terdapat pula hutan adat yang tidak boleh dibabat. Ini terutama untuk pohon-pohon di alur sungai dan mata air. Penggergajian (sawmill) yang dulu dengan bebas beroperasi, sekarang juga telah dilarang penggunaannya. Warga sungguh tidak ingin lagi tertimpa azab....
(Kompas, 12 April 2006)
Sekalipun telah hampir dua abad berlalu, kedahsyatan letusan Gunung Tambora pada 11 April 1815 terekam dalam ingatan masyarakatnya. Bermuara dalam cerita seputar asal muasal letusan gunung tersebut, tentunya dengan beragam versi dan penokohannya.
Akan tetapi, ada benang merah atau pesan yang sama dari berbagai cerita tersebut. Letusan Tambora dalam alam pikir masyarakat saat itu adalah sebuah azab dari yang Maha Kuasa.
Salah satu versi mengisahkan, pada suatu ketika datang seorang bernama Said Idrus asal Bengkulu. Dia tiba di negeri Tambora untuk berniaga. Suatu saat naiklah dia ke darat dan berjalan-jalan ke pasar sampai waktu shalat zuhur. Said lalu masuk ke masjid untuk bersembahyang.
Di dalam masjid ia melihat anjing dan diusirnya keluar. Bangkitlah amarah sang penjaga anjing dan mengadukan perihal itu kepada raja. Raja marah dan menyuruh memotong anjing dan kambing. Said, orang Arab itu, lalu dipanggil. Tuan Said datang dan duduk bersama petinggi Tambora. Hidangan nasi ditaruh di hadapan orang banyak dengan suatu hidangan yang berisi daging anjing di hadapan Tuan Said. Adapun hidangan berisi daging kambing di hadapan orang lain dan raja.
Setelah makan, Raja Tambora berkata bahwa daging yang dimakannya itu daging anjing. Tetapi, Said menyahut, "Bukan anjing yang saya makan tadi, saya makan daging kambing."
Berbantahlah mereka, dan raja menjadi semakin marah dan memerintahkan agar Said dibunuh. Said pun dibawa ke Gunung Tambora. Sesampainya di atas, orang-orang suruhan raja menikamkan senjata dan tombak, tetapi Said tidak termakan senjata itu. Kemudian orang itu menghela kayu, ada yang mengambil batu, ada yang melontar, memukul sehingga pecah kepala said dengan darah berhamburan.
Said yang sudah dikatakan mati dimasukkan ke dalam gua. Pulanglah mereka hendak menyampaikan kepada raja. Maka, menyala api di gunung tempat Said dibunuh tadi. Orang-orang itu berlari hendak masuk ke negeri besar, tetapi api duluan menyala dalam negeri itu. Gemparlah seisi Tambora. Mereka masing-masing mencarikan dirinya kehidupan.
Cerita itu ditulis Roorda van Eysinga tahun 1841 dan dilampirkan dalam buku Syair Kerajaan Bima suntingan Henri Chambert-Loir dari EFEO (Lembaga Penelitian Perancis untuk Timur Jauh).
Dalam versi lain, azab datang karena Sultan Tambora membunuh seorang Arab bernama Hadji Mustafa. Bencana berbuntut kematian, kelaparan, dan kemelaratan itu dianggap sebagai amarah Illahi yang kemudian membalik nasib Pulau Sumbawa, terutama kawasan Bima.
Bernice De Jong Boers, ilmuwan asal Denmark dalam makalah revisinya bertajuk "Mount Tambora in 1815: A Volcanic Eruption in Indonesia and Its Aftermath" menggambarkan, Pulau Sumbawa sebelum meletusnya Gunung Tambora sebetulnya dalam keadaan cukup baik secara ekonomi. Jauh sebelumnya, di Sumbawa jauh lebih lebat hutannya. Ketika orang pertama datang, sebagian dari hutan ditebang untuk berladang.
Sekitar tahun 1400, orang- orang Jawa memperkenalkan cara bertanam padi di sawah dan mulai mengimpor kuda. Semakin lama jumlah penduduk berkembang. Orang mengandalkan hidup terutama dari beras, kacang hijau, dan kuda. Sementara dari perkebunan orang mengandalkan kopi, lada, dan kapas yang bisa tumbuh subur. Di kawasan itu telah terdapat pula hubungan dagang. Pada masa itu Kerajaan Bima umumnya terbuka dari dunia luar. Dari segi ekonomi, perniagaan merupakan penghasilan utama dengan komoditas ekspor utama sebelum 1815 ialah beras, madu, kapas, dan kayu merah.
Setelah Tambora meletus, kesejahteraan yang terbangun itu runtuh. Saat itu terdapat enam kerajaan kecil di Pulau Sumbawa. Syair Kerajaan Bima menyebutkan dua kerajaan punah terkubur, yakni Pekat dan Tambora. Jauh setelah kejadian, muncul berbagai spekulasi bahwa terdapat istana kerajaan yang terpendam dengan beragam kekayaan. Apalagi dari penggalian yang dilakukan Sigurdsson dari Universitas Rhode Island, AS, dan tim dari Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi sempat ditemukan keramik-keramik yang diperkirakan bermotif Vietnam. Muncul pula dugaan hidupnya orang-orang berbahasa Mon-Khmer, bahasa yang tidak lazim dituturkan di Nusantara.
Asumsi-asumsi tersebut diragukan Bambang Budi Utomo, arkeolog dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional, yang sempat mengunjungi lokasi penggalian Sigurdsson. "Istilah kerajaan di luar Pulau Jawa tidak dapat disamakan dengan kerajaan besar di Jawa yang kaya raya. Jadi, jangan dibayangkan istana kerajaan seperti istana raja-raja di Jawa. Selain itu, temuan keramik yang mempunyai kesamaan dengan tembikar dari kawasan Indocina bukan berarti menandakan hidup populasi pendukung budaya Khmer. Tembikar itu sepertinya buatan China dan dapat saja sampai di Tambora karena adanya perdagangan," kata Bambang.
Dia menyayangkan penelitian tersebut tidak melibatkan para arkeolog. Setelah letusan, keadaan di sekitar Tambora—terutama di Bima—pun berbalik. Tanah yang tak dapat ditanami selama lima tahun membuat kelaparan dan kemelaratan berkepanjangan.
Kini, berjalan di lereng Tambora, tentu berbeda suasananya. Rumput tebal mengisi permukaan tanah, yang hampir dua abad lalu berselimut abu vulkanik. Lereng gunung itu menghijau, dengan hutan serta semak yang rimbun. Tanah telah kembali memberi berkah. Sebagian besar penduduk di lereng Tambora hidup dari pertanian dan perkebunan. Ada pula yang menjadi pemandu naik gunung.
Azab baru mengintai
Saat ini Gunung Tambora dalam kondisi aktif normal atau tidak ada aktivitas yang mencurigakan. Namun, sesungguhnya azab lain akibat manusia yang tak ramah kepada alam tengah mengintai.
Sejak tahun 1972, Gunung Tambora telah menjadi sasaran sebuah perusahaan penebangan kayu komersial. Perusahaan itu memegang hak pengusahaan hutan (HPH) seluas 31.000 hektar sampai di ketinggian 1.400 meter dan sebagian telah dieksploitasi. Di hutan itu kayu-kayu keras tropis jenis duabanga moluccana.
Operasional perusahaan penebangan itu mengancam kelestarian hutan. Pada masa yang sama, penduduk Calabai berkembang di utara Pekat. Sebagian dari mereka datang dari Lombok di bawah program transmigrasi pemerintah. Sebagian besar penduduk Calabai terkait dengan usaha penebangan itu. Penggergajian sempat beroperasi di Calabai selama beberapa dekade.
Masyarakat sekitar hutan mulai merasakan ketidakseimbangan alam akibat perusakan itu. Terutama sebagian masyarakat yang bertanam kopi di hutan dengan sistem tumpang sari.
"Pada tahun 1980-an produksi kopi dapat mencapai enam ton per hektar sehingga warga berbondong masuk hutan. Tetapi, sekarang produksi turun dan lahan tidak sesubur dulu. Sebagian dari kami meyakini, dulu kopi subur karena hutan lebat.
Namun, sekarang hutan sudah habis dieksploitasi perusahaan penebangan dan kurang penghijauannya," kata Rusman A Bakar, Kepala Desa Tambora, ketika dikunjungi di rumahnya di lereng Tambora pada pertengahan Maret lalu.
Untuk sementara, kegiatan operasionalnya perusahaan pemegang HPH itu telah dihentikan sejak 24 Mei 2003 atas instruksi Gubernur NTB (ketika itu) Harun Al Rasyid, lantaran tidak mematuhi kewajibannya seperti dalam penanaman area bekas tebangan (Kompas, 18 September 2003). Namun, tentu saja pengembalian kondisi hutan dengan vegetasinya yang tumbuh besar selama puluhan tahun tidak secepat saat kayu hutan dieksploitasi.
Permasalahan lain, seiring dengan terjadinya krisis ekonomi sejak tahun 1998 dan impitan kebutuhan hidup, warga mulai membuka hutan. Batas-batas hutan dilanggar dijadikan ladang ataupun area hunian.
Sepanjang jalan sebelum mencapai Pos I di lereng Tambora, dengan mudah terlihat tanah garapan masyarakat di lereng gunung itu. Petak sawah tadah hujan bersebaran di tengah hutan. Terdapat pula petak lahan dengan area hutan yang rusak bekas digergaji. Gubuk-gubuk kecil tampak berdiri tidak jauh dari lahan hutan yang rusak itu.
Menurut Rusman A Bakar, sebetulnya telah ada upaya pelestarian hutan. Warga di sekitar hutan sadar, kehidupan mereka harus berdampingan dengan hutan serta bencana alam yang dapat ditimbulkan dari penggundulan hutan. "Contohnya, setiap masyarakat yang masuk hutan harus membuat surat pernyataan," ujarnya.
Isi surat pernyataan itu antara lain lahan yang ditempati tidak dapat menjadi hak milik atau berpindah tangan. Warga juga tidak boleh mengubah fungsi hutan. Jika hendak bertanam harus menggunakan sistem tumpang sari, dan sewaktu dibutuhkan negara warga rela melepaskan lahan.
Terdapat pula hutan adat yang tidak boleh dibabat. Ini terutama untuk pohon-pohon di alur sungai dan mata air. Penggergajian (sawmill) yang dulu dengan bebas beroperasi, sekarang juga telah dilarang penggunaannya. Warga sungguh tidak ingin lagi tertimpa azab....
(Kompas, 12 April 2006)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar