Pengumuman

Bila tulisan yang Anda cari tidak ada di blog ini, silakan kunjungi hurahura.wordpress.com

Minggu, 22 Maret 2009

191 Tahun Letusan Tambora (1)

Views

Cerita dari yang Terkubur

Lubang yang menyerupai parit besar itu berada di tengah hutan. Sepi di antara rimbunan hijau pohon tinggi dan semak yang membuat gatal kulit. Sebagian lapisan dasar lubang berpasir itu hanyut terbawa arus air.

Namun, di dinding bekas galian masih terlihat sisa batang kayu menghitam, menyerupai arang dengan serat utuh. Terdapat pula pecahan tembikar. Semua terkubur sekitar dua meter dan hitam terbakar.

Bambang Budi Utomo, arkeolog dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional, yang ditugasi mengecek bekas penggalian itu mengamati sisa- sisa kehidupan di lubang di lereng Gunung Tambora tersebut. Gunung yang kelihatan dari jauh hijau pekat tersebut terletak antara Kabupaten Dompu dan Bima, Nusa Tenggara Barat.

Di tempat itulah beberapa waktu lalu Sugurdsson, peneliti dari Universitas Rhode Island, Amerika Serikat, bersama Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi sempat melakukan penelitian. Igan S Sutawidjaja dari Direktorat Vulkanologi mengutarakan, mereka meneliti kawasan Gunung Tambora guna melihat dampak awan panas letusan gunung tersebut.

Dari penggalian, tampaklah denah rumah utuh, kayu-kayu tiang rumah terkarbonisasi, tembikar, dan perhiasan dari perunggu. Sebuah tengkorak yang telah menjadi arang ditemukan terbaring di bagian denah seperti dapur. Di sekitarnya terdapat peralatan yang diperkirakan untuk memasak.

Tengkorak lain ditemukan di denah yang menyerupai bagian depan rumah. ”Sepertinya dua tengkorak yang menyatu. Satu di antaranya lebih kecil, dalam posisi seperti hendak berlari. Sayangnya, yang terlihat jelas hanya tulang kaki dan dada,” kata Igan. Oleh media asing, temuan tersebut mereka sebut-sebut sebagai Kota Pompeii dari Timur. Konon, Kota Pompeii terkubur oleh letusan dahsyat Gunung Vesuvius di Yunani.


Langit tertutup abu

Hampir dua abad lalu, tepatnya 11 April 1815, di kawasan ini matahari tidak tampak selama tiga hari. Langit tertutup abu dan batu menghujani bumi.

Saat itulah Gunung Tambora memuntahkan segenap isinya. Awan panas menggulung segala yang dilaluinya. ”Segala yang tertimbun menjadi arang akibat awan panas lebih dari 800 derajat Celsius. Awan panas itu bahkan jauh lebih panas ketimbang saat letusan Gunung Vesuvius yang menimbun Pompeii. Awan panas Vesuvius hanya sekitar 500 derajat Celcius,” ujar Igan.

Awal dari ”kemarahan” Tambora tercantum dalam Catatan Kerajaan Bima yang disunting oleh Henri Chambert-Loir dan Siti Maryam R Salahudin pada tahun 1999.

Begini kisahnya; hijrat al-Nabi salla’llahu alaihi wa sallama seribu dua ratus tiga puluh genap tahun, tahun Za pada Selasa waktu subuh sehari bulan Jumadilawal, tak kala itulah Tanah Bima datanglah takdir Allah melakukan kodrat iradat atas hamba-Nya. Maka gelap berbalik lagi lebih daripada malam itu, kemudian maka berbunyilah seperti bunyi meriam orang perang, kemudian maka turunlah kersik batu dan abu seperti dituang, lamanya tiga hari dua malam. Judul penggalan catatan itu ”Alamat Pecahnya Gunung Tambora 1230” dan bencana terjadi pada Selasa, 11 April 1815.

Kedahsyatan letusan Tambora yang disebut-sebut tiga kali dahsyatnya dari letusan Gunung Krakatau (1883) itu digambarkan dengan menyayat hati dalam Syair Bima yang ditulis oleh Khatib Lukman, seorang pegawai agama keturunan bangsawan Bima. Syair yang ditulis sekitar empat tahun setelah kejadian itu telah dibukukan, juga disunting Henri Chambert- Loir dari EFEO (Lembaga Penelitian Perancis untuk Timur Jauh).

Begitu mengerikannya sehingga sang penyair menggambarkan luapan Gunung Tambora sebagai kiamat. ”Nyatalah Allah empunya marah, leburlah Pekat dengan Tambora. Habunya melayang naik ke udara, jatuh menimpa negeri dan segara.”

Pulau Sumbawa saat itu terdiri enam kerajaan, dua di antaranya—Pekat dan Tambora— punah. Pascaletusan itu bahkan diungkapkan jauh lebih mengerikan dan mencekam. Kelaparan dahsyat menimpa Bima. Begitu mengerikannya hingga keluarga tercerai berai. Sebagian warga masuk rimba makan daun kayu atau biji mematikan. Warga yang mati tergeletak begitu saja tidak dikuburkan apalagi disembahyangkan. Semua hanya membawa diri masing-masing, anak dijual bapak ibu demi sesuap makanan.

” Zaman sekarang ajaib terlalu, orang pun mati beribu-ribu, tiadalah menaruh takut dan malu, anak dijual bapak dan ibu.”

Begitulah ketika bencana itu menghantam. Tanah tidak dapat ditanami selama lima tahun sehingga kelaparan berkepanjangan. H Zollinger, seorang Belanda yang melakukan perjalanan ke Tambora pada tahun 1850, memperkirakan sebelum Gunung Tambora meletus penduduk Pulau Sumbawa 170.200 orang. Mereka tersebar di Bima, Sumbawa, Dompo, Tambora, Sanggar, dan Pekat. Jumlah itu berkurang separuh akibat letusan. Paling besar karena kelaparan dan hilang ketimbang yang mati seketika.

Kedahsyatan letusan Tambora bahkan menggulung sebuah peradaban. Ilmuwan dari Denmark, Bernice de Jong Boers, dalam artikel revisinya ”Mount Tambora in 1815: A Volcanic Eruption in Indonesia and Its Aftermath” mengungkapkan, kemungkinan letusan itu memusnahkan bahasa Austro-Asiatic yang banyak digunakan Mon-Khmer, walaupun dugaan ini menimbulkan kontroversi dan diragukan.

Pulau-pulau lain juga terkena dampaknya. Pulau Bali, Lombok, dan Sulawesi (selatan) terkena cukup parah. Abu berembus menutupi pulau terdekat sehingga menciptakan selimut abu setebal 20-30 sentimeter. Lapisan tersebut merusak sawah, perkebunan, dan tambak.

Betapa tidak? Tinggi Gunung Tambora yang semula sekitar 4.200 meter dari permukaan laut terpenggal hampir separuhnya, kini tinggal 2.851 meter dari permukaan laut. Abu jatuh sampai sekitar 1.300 kilometer dari sumber erupsi. Suara letusan terdengar sampai 2.600 km.


Misteri yang terpendam

Kini, sedikit demi sedikit isi bumi lereng Tambora mulai terangkat dari dalam tanah. Jauh sebelum penelitian yang dilakukan Universitas Rhode Island dan Direktorat Vulkanologi, warga telah menemukan sisa peninggalan peradaban sisa letusan gunung itu.

Akhlak Yasin (27), warga Dusun Pancasila, siang itu menunjukkan tiga mangkuk keramik putih dengan gambar berwarna kebiruan, sebuah tatakan gelas bermotif bunga warna-warni, dan sebuah pipa pendek dari kuningan.

”Saya waktu itu datang saat pembagian lahan garapan dan tidak sengaja menggaruk-garuk tanah, lalu kelihatan ada keramik ini,” ujarnya.

Sulaiman (40), warga Desa Labuan Kenanga, Kecamatan Tambora, yang tinggal persis di tepian hutan, juga banyak menemukan sisa-sisa peradaban itu. Dia bercerita, sejak tahun 1970-an, tepatnya ketika PT Veneer Products yang mendapatkan konsesi lahan hutan di Tambora beroperasi, mulai ditemukan sisa-sisa peninggalan letusan. Dia sendiri pernah menemukan piring utuh, bahkan cincin emas yang masih terlingkar di sisa jari manusia.

Sulaiman kemudian sempat pula bekerja sebagai tenaga kasar membantu penggalian penelitian Universitas Rhode Island dan Vulkanolog Indonesia.

”Ini sebagian hasil penggalian yang saya simpan. Siapa tahu ada yang ingin lihat,” ujarnya, seakan sadar bahwa Tambora akan tetap memikat dengan misterinya yang terpendam....

(Kompas, Selasa, 11 April 2006)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BUKU-BUKU JURNALISTIK


Kontak Saya

NAMA ANDA :
EMAIL ANDA :
PERIHAL :
PESAN :
MASUKKAN KODE BERIKUT :