Views
Oleh Elok Dyah Messwati
Reinkarnasi dalam agama Buddha merupakan konsep adanya hidup setelah mati. Siklus reinkarnasi inilah yang ingin diputus oleh penganut Buddha aliran Tantrayana. Mereka memuja Avalokiteswara agar dibantu langsung naik ke nirwana setelah mati.
Arca Avalokiteswara itu kini hadir di Bentara Budaya Jakarta (BBJ). Bahannya emas dan masuk kategori artefak klasik karena usianya diperkirakan lebih dari sepuluh abad. Temuan Avalokiteswara dari situs Rantau Kapas Tuo (32 kilometer dari Muarajambi) inilah salah satu artefak yang dipamerkan di BBJ pada 9-18 November 2006.
Pameran bertajuk "Titik Temu: Jejak Peradaban di Tepi Batanghari" ini menampilkan sejumlah artefak, termasuk tempat perhiasan dan potongan perahu berbadan kayu dari abad ke-14, 60 foto kompleks percandian situs Muarajambi, film dokumenter, video animasi, dan dijadwalkan pula sarasehan ilmu arkeologi.
Avalokiteswara adalah salah satu dewa dalam sistem panteon Buddha Mahayana dan dianggap melindungi masa depan. Penganut Buddha Mahayana yang ingin mendapatkan keselamatan di masa datang umumnya percaya dan mereka memuja Avalokiteswara. Hal ini terkait dengan kepercayaan siklis mengenai karma, dan reinkarnasi: hidup-mati, mati-hidup. Siklis itulah yang disebut samsara, atau penderitaan, dan harus diputus.
"Pada waktu orang hidup umumnya mereka ingin naik ke surga. Di dalam konsep agama Buddha, Bodhisatwa adalah orang-orang yang bisa membantu manusia untuk naik ke surga. Untuk itu, mereka biasanya dibantu oleh Dewa Avalokiteswara agar langsung naik ke surga," papar arkeolog yang juga Ketua Penyelenggara Pameran Junus Satrio Atmodjo di Jakarta, Rabu (8/11).
Agama Buddha yang ada di Muarajambi pada masa itu adalah Buddha aliran Tantrayana. Sifat dari Tantrayana adalah memutus lingkaran hidup-mati tadi dengan upacara-upacara yang sifatnya khusus. Kita bisa melihat itu dari semua tinggalan yang ada di Muarajambi.
"Jadi, di dalam candi Buddha pada waktu itu hampir semuanya kita temukan arca Avalokiteswara ini. Seperti di China sekarang ini, ada arca Buddha, tetapi juga ada arca Dewi Kuan Im. Dewi Kuan Im ini adalah Avalokiteswara yang membantu di masa depan," kata Junus Satrio Atmodjo.
Berlapis emas
Arca Avalokiteswara yang dipamerkan terbuat dari perunggu berlapis emas 22 karat. Arca ini diyakini berasal dari abad ke-10 atau ke-12. Penggunaan warna emas itu adalah penghargaan pada dewa yang dipuja.
Avalokiteswara yang bertangan empat ini seperti Dewa Siwa yang ada dalam agama Hindu. Dewa Siwa digambarkan menggunakan kain yang terbuat dari kulit macan. Avalokiteswara ternyata juga dibalut dengan kulit macan. Buddha Mahayana ini adalah Buddha yang banyak bercampur dengan agama Hindu. Jadi ada sinkretisme.
Acara di BBJ ini adalah pameran yang untuk pertama kalinya memamerkan arca emas Avalokiteswara kepada publik di galeri swasta.
Dua arca emas Bodhisatwa Avalokiteswara ini ditemukan berjejer tahun 1991 di sebuah kebun. Salah satu arca yang ukurannya lebih kecil terkena cangkul dan kakinya patah. Selama empat tahun sejak artefak itu ditemukan, kedua arca ini disimpan dalam kotak deposit sebuah bank di Jambi sebelum akhirnya disimpan di Museum Jambi.
Situs Muarajambi yang luasnya 660 hektar ini-sekitar 1.000 kali luas Candi Borobudur di Magelang, Jawa Tengah-terletak di tepi Sungai Batanghari, sekitar 22 kilometer arah timur kota Jambi.
Situs ini pertama kali dilaporkan tahun 1823 oleh seorang letnan Inggris bernama SC Crooke yang melakukan pemetaan daerah aliran sungai untuk kepentingan militer.
Dari laporan itu diketahui adanya peninggalan purbakala berupa arca dan candi yang hampir semuanya dalam keadaan rusak. Crooke sempat membawa sebuah kepala arca berambut keriting ke Pulau Penang, Malaysia, yang kemungkinan besar berasal dari sebuah arca Buddha.
Penelitian tahun-tahun berikutnya hingga sekarang menghasilkan catatan lebih dari 80 reruntuhan bangunan di Muarajambi. Dari jumlah itu yang sudah dipugar baru 13 candi. Masih ada puluhan candi yang belum dipugar dan masih berupa gundukan tanah di kebun-kebun warga.
Inilah yang dikhawatirkan karena memang sangat susah menjaga keamanan situs tersebut. "Panjangnya saja 7,5 kilometer, area yang sama juga dipakai masyarakat," kata Junus Satrio Atmodjo.
Kekhawatiran lainnya adalah letak situs yang berada di sebuah tanggul alam, berupa bukit yang memanjang di sepanjang Sungai Batanghari. Kalau saja terjadi banjir besar, situs tersebut niscaya bakal rusak, bahkan hilang disapu banjir.
Pembukaan pameran situs Batanghari ini di Bentara Budaya Jakarta, Kamis pukul 19.00 malam, akan disemarakkan antara lain oleh pentas seni tradisi Jambi, yaitu tarian zapin yang pernah memperoleh penghargaan internasional, musik tradisi krino, juga tampilnya musisi kontemporer Nyak Ina Raseuki (Ubiet) yang meneliti musik tradisional Jambi.
Hari Senin mendatang pukul 10.00-14.30 akan digelar diskusi "Menelusuri Jejak Peradaban Kuna di Tepi Sungai Batanghari Semasa Kerajaan Sriwijaya dan Melayu".
Sejumlah pakar budaya dan arkeologi akan tampil, yakni Dr Daoed Joesoef, Prof Dr Mundardjito, Junus Satrio Atmodjo, Nurhadi Rangkuti, dan moderator Caksana Said, serta Gatot Gautama.
(Sumber: Kompas, 9 November 2006)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar