Views
WAKTU masih menunjukkan pukul 05.30 waktu Kamboja ketika Nek Sarin, pemandu dari The Star Tour Operator, mengajak saya segera bersiap menuju Angkor Wat. Matahari belum menampakkan dirinya ketika dengan berboncengan sepeda motor kami berangkat dari sebuah penginapan di kota Siem Reap, sekitar 5,5 kilometer dari arah selatan Angkor Wat. Siem Reap adalah kota kecil yang terletak sekitar 350 km dari ibu kota Kamboja, Phnom Penh.
MATAHARI terbit, itulah yang kami buru. Menikmati matahari terbit di Angkor Wat adalah peristiwa sangat menarik dan banyak diburu wisatawan yang berkunjung ke Angkor Wat, salah satu ikon penting di antara kompleks candi-candi Angkor yang dibangun peradaban Khmer pada abad ke-8 sampai abad ke-13.
Sejak hari pertama menginjakkan kaki di Kamboja, cerita indah tentang Angkor Wat telah terbayang di depan mata. Dengan membayar 12 dollar Amerika Serikat sekali masuk dan hanya berlaku selama sehari, seorang wisatawan asing bisa menikmati kompleks Candi Angkor, termasuk Angkor Wat, dari pagi sampai petang. Sedangkan untuk wisatawan domestik tidak dikenakan bea masuk.
Ketika tiba di depan Angkor Wat, ternyata ratusan turis asing yang sebagian besar berasal dari Jepang dan Eropa sudah berkerumun dengan membawa perlengkapan kamera masing-masing. Mereka menunggu terbitnya sang mentari yang perlahan-lahan muncul dari ufuk timur.
Sebelum memasuki gerbang utama, pengunjung harus melewati parit yang panjangnya sekitar 350 meter. Parit ini menghubungkan gerbang luar dan gerbang utama. Begitu sampai di gerbang, akan tampak apsaras (relief patung) yang sedang tersenyum, satu-satunya apsaras yang tersenyum dari 2.000 apsaras di Angkor Wat. Apsaras tersenyum ini menjadi salah satu obyek fotografi paling disukai para pemburu foto yang sudah berkerumun sejak pagi.
Keindahan matahari terbit di Angkor Wat terbukti ketika mentari mulai tersibak dan menyinari bangunan induk Angkor Wat berupa menara berketinggian sekitar 42 meter. Bangunan candi yang menjadi bersemu merah dengan bayangan hitam di bawahnya menjadi obyek fotografi yang memberi kepuasan tersendiri bagi pemburu gambar. Apalagi bila menikmati sang mentari pagi dari pinggir kolam, maka akan tampak betapa gagahnya Angkor Wat dengan bayangannya di atas air kolam.
WALAUPUN ada puluhan candi, Angkor Wat seakan menjadi tempat kunjungan utama dan pertama bagi para wisatawan karena sudah tercitrakan lewat predikatnya sebagai salah satu keajaiban dunia oleh Organisasi untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO), seperti halnya Candi Borobudur di Indonesia. Datang ke Kamboja tidak lengkap rasanya tanpa mengunjungi Angkor Wat.
Menurut sejarah, Angkor Wat dibangun pada awal abad ke-12 atau antara 1113 dan 1150 Masehi, semasa pemerintahan Raja Suryavarman II. Dengan total luas areal sekitar 200 hektar dan dengan panjang dari timur ke barat sejauh 1,5 kilometer dan dari utara ke selatan sejauh 1,3 kilometer, Angkor Wat merupakan candi terbesar di antara yang lainnya. Angkor Wat juga merupakan monumen keagamaan Hindu terbesar di dunia sehingga simbol-simbol keagamaan sebagai perwujudan mikrokosmos agama Hindu sangat kental nuansanya.
Rangkaian galeri yang mengelilingi Angkor Wat melambangkan pegunungan yang mengelilingi Gunung Meru. Menurut kepercayaan bangsa Khmer gunung ini tempat bersemayamnya para dewa. Menara candi diasosiasikan sebagai puncak gunung, dan mendaki puncak gunung merupakan tradisi dari para leluhur bangsa Khmer.
Angkor Wat dibangun menghadap ke arah barat, bukannya ke timur seperti bangunan candi biasanya. Hal ini karena arah barat sering diasosiasikan dengan Dewa Wisnu. Dan, Angkor Wat memang dibangun untuk didedikasikan bagi Dewa Wisnu.
Seusai berburu mentari pagi, para pengunjung akan mulai memasuki bangunan dalam Angkor Wat yang kaya dengan relief sepanjang 600 meter di empat sudut candi. Sebagian besar relief tersebut menggambarkan syair kepahlawanan Mahabarata dan Ramayana. Namun, ada juga cerita tentang sejarah prosesi pembangunan Angkor Wat oleh Raja Suryavarman II, serta gambaran tentang kebaikan yang dianalogikan sebagai surga dan kejahatan sebagai neraka.
Memang tidak cukup satu hari untuk menikmati seluruh kompleks Candi Angkor yang jumlahnya puluhan. Tetapi, apa mau dikata, karena terbatasnya waktu dan biaya, hal itu belum bisa terlaksana. Untuk kunjungan satu hari biasanya sudah ada pengaturan obyek yang dikunjungi sehingga paling tidak bisa merepresentasikan gambaran keseluruhan candi.
Pengaturan obyek yang bisa dinikmati tersebut selain Angkor Wat adalah Bayon, Angkor Tom (tempat pembuatan film Tomb Rider 2), Ta Prohm (yang gambarnya muncul dalam sampul buku panduan perjalanan wisata Lonely Planet Kamboja edisi terbaru), dan berakhir menikmati terbenamnya matahari di Phnom Bakheng.
Memang disarankan untuk meluangkan waktu 4-7 hari untuk bisa menikmati seluruh panorama dan keindahan candi- candi karya besar bangsa Khmer ini. Biaya terusan 40 dollar AS per orangnya untuk waktu kunjungan sampai seminggu bukanlah harga yang mahal untuk bisa menikmati itu semua.
Setiap harinya ribuan wisatawan berkunjung ke kompleks candi ini dan akan meningkat pada musim-musim liburan antara pertengahan dan akhir tahun. Pengelolaan yang profesional merupakan salah satu kunci keberhasilan sehingga mampu menarik ribuan wisatawan setiap hari.
Menurut data Badan Pengelola Angkor, dari tiket masuk saja sumbangan pemasukan bagi negara sekitar Rp 40 miliar-Rp 70 miliar setiap tahunnya. Pemasukan yang cukup besar tersebut bisa menjadi modal bagi pengelolaan obyek wisata secara profesional.
Meskipun demikian, ancaman sudah berada di depan mata. Ribuan pengunjung yang datang setiap harinya jelas menjadi beban yang berat bagi kelestarian candi-candi tersebut, termasuk Angkor Wat. Jumlah kunjungan tersebut melebihi daya dukung yang aman bagi kelestarian sebuah bangunan tua dan bersejarah.
Ancaman lain adalah pesatnya pembangunan puluhan hotel berbintang yang dimiliki investor luar negeri yang sudah mengepung kompleks candi. Hal tersebut secara pasti akan berdampak pada kelestarian lingkungan hidup dan bangunan candi serta berdampak pada kehidupan sosial budaya masyarakat setempat yang sebagian besar masih bertani.
(Kompas, 13 Maret 2005)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar