Views
- Masyarakat Harus Berperan
Jakarta, Kompas - Perlindungan benda-benda cagar budaya atau peninggalan sejarah yang merupakan bagian kekayaan intelektual bangsa dianggap minim. Hal ini tak lepas dari masih kurangnya kesadaran masyarakat untuk ikut melindungi dan menjaga benda serta situs cagar budaya. Padahal, sebetulnya masyarakat justru memegang peranan terpenting.
"Kasus pencurian atau kehilangan benda cagar budaya seperti halnya kasus penebangan dan pencurian kayu secara liar. Sangat sulit diawasi, sementara di pihak lain ada kelompok orang-orang yang menginginkan membeli barang-barang tersebut," kata Prof Dr Mundardjito.
Arkeolog senior dari Universitas Indonesia ini dimintai komentar, Selasa (5/4), seputar masih kerap terjadi berbagai kasus pencurian benda-benda cagar budaya. Isu paling akhir, terkait dengan kasus rencana pelelangan arca dari Borobudur-terlepas dari apakah benda tersebut asli atau palsu-oleh Balai Lelang Christie’s di New York, Amerika Serikat, pekan lalu.
Umumnya, kata Mundardjito, situs cagar budaya terletak di kawasan terbuka sehingga mudah terganggu. Malah tidak sedikit yang berada di lokasi terpencil seperti di pegunungan atau bahkan bawah laut sehingga sulit diawasi. Belum lagi jumlahnya yang sangat banyak dan sebarannya terbilang luas mengingat Indonesia sebagai negara kepulauan. Akibatnya, secara umum pengamanannya pun sulit. Terlebih lagi tenaga penjaga terbatas dan kerap dibayar tidak memadai.
Sementara itu, benda-benda cagar budaya yang dipastikan usianya di atas 50 tahun tersebut diminati kelompok tertentu. Bukan rahasia lagi, di seluruh dunia terdapat sindikat penjualan barang antik. Bahkan mereka juga mengincar benda-benda etnografi, mulai dari perlengkapan rumah tangga hingga persenjataan.
Di sisi lain, kesadaran masyarakat akan arti penting benda-benda bersejarah masih kurang dan benda-benda cagar budaya tersebut kadang dianggap biasa saja serta tidak diacuhkan. Ada pula tekanan dari masyarakat sekitar yang hidup dalam impitan ekonomi sehingga benda cagar budaya menjadi korban kepentingan dan keinginan memperoleh keuntungan pribadi. Kondisi demikian membuka peluang berbagai benda tersebut rusak atau hilang, termasuk dilarikan ke luar negeri.
Libatkan masyarakat
Mundardjito berpendapat, masyarakat harus ikut berperan dalam melindungi cagar budaya. "Sekarang tinggal seberapa jauh masyarakat melindungi dan mengamankan benda-benda cagar budaya tersebut?" katanya.
Pada kenyataannya, kesadaran itu belum sepenuhnya tumbuh. Salah satu contoh, di situs Trowulan yang diyakini merupakan bekas ibu kota Kerajaan Majapahit, fondasi batu bata kuno di sekitar candi banyak digali secara liar. Sebagian batu bata kuno yang ditemukan digiling menjadi semen merah untuk dijual.
Ada juga batu bata kuno yang kemudian dijadikan pagar atau dinding bangunan rumah oleh para penduduk sekitar. Dengan adanya penggalian tersebut, sekitar 50 persen dari fondasi bekas kota Kerajaan Majapahit di Trowulan-yang terdiri atas batu bata dan tertanam hanya pada kedalaman 1-1,5 meter-dalam kondisi rusak.
Menurut Mundardjito, masyarakat secara luas masih perlu ditanamkan kesadaran sehingga mereka mau aktif ikut mengamankan dan melindungi benda cagar budaya. Kesadaran itu perlu ditumbuhkan sedari kanak-kanak melalui pendidikan di sekolah.
Dalam upaya memupuk kesadaran tersebut, anak-anak diajak ke situs cagar budaya dan diberikan pengertian bahwa benda cagar budaya atau peninggalan sejarah dari religi atau etnis apa pun merupakan hasil karya manusia. Peninggalan tersebut bagian dari peradaban sehingga harus dihormati dan dipelihara.
Selain itu, kesadaran bisa pula ditumbuhkan melalui gerakan. Untuk itu perlu komitmen politik. Sayangnya, dengan kondisi ekonomi dan politik saat ini, perlindungan situs dan benda cagar budaya sendiri masih belum menjadi prioritas.
Padahal, situs dan benda cagar budaya mempunyai aspek akademis, ideologis, dan ekonomis. Aspek akademis yakni untuk pewarisan ilmu, ideologis yakni sebagai jati diri atau identitas bangsa, dan ekonomis karena dapat menjadi pendukung kepariwisataan dengan tetap mengutamakan prinsip konservasi.
"Hanya saja kita tidak sadar betapa kaya budaya dan peninggalan sejarah yang ada dan malah kita cenderung tidak peduli," katanya.
Hal senada diungkapkan oleh Prof Dr Hariani Santiko, juga arkeolog dari Universitas Indonesia. Rusak atau hilangnya benda cagar budaya atau peninggalan sejarah menyulitkan berbagai penelitian atau kegiatan akademis terkait.
"Kalau benda cagar budaya di Tanah Air terus-menerus hilang atau banyak dibawa lari ke luar negeri, maka kita yang mau belajar malah harus ke luar negeri karena bendanya ada di sana semua. Itu sangat mahal. Sering terjadi penelitian terhambat karena ada arca yang hilang sehingga terpaksa hanya mengamati candinya. Di Jawa Timur misalnya, banyak bagian candi yang hilang atau dicuri," katanya.
Hal ini tentu menyulitkan perkembangan ilmu dan pencarian pengetahuan itu sendiri. Kesadaran masyarakat untuk menghargai, mengapresiasi, dan melindungi benda cagar budaya sangat penting. Apalagi, tambahnya, sebagian situs cagar budaya itu berada di sekitar atau di tengah masyarakat. (INE)
(Kompas, Rabu, 06 April 2005)
Jakarta, Kompas - Perlindungan benda-benda cagar budaya atau peninggalan sejarah yang merupakan bagian kekayaan intelektual bangsa dianggap minim. Hal ini tak lepas dari masih kurangnya kesadaran masyarakat untuk ikut melindungi dan menjaga benda serta situs cagar budaya. Padahal, sebetulnya masyarakat justru memegang peranan terpenting.
"Kasus pencurian atau kehilangan benda cagar budaya seperti halnya kasus penebangan dan pencurian kayu secara liar. Sangat sulit diawasi, sementara di pihak lain ada kelompok orang-orang yang menginginkan membeli barang-barang tersebut," kata Prof Dr Mundardjito.
Arkeolog senior dari Universitas Indonesia ini dimintai komentar, Selasa (5/4), seputar masih kerap terjadi berbagai kasus pencurian benda-benda cagar budaya. Isu paling akhir, terkait dengan kasus rencana pelelangan arca dari Borobudur-terlepas dari apakah benda tersebut asli atau palsu-oleh Balai Lelang Christie’s di New York, Amerika Serikat, pekan lalu.
Umumnya, kata Mundardjito, situs cagar budaya terletak di kawasan terbuka sehingga mudah terganggu. Malah tidak sedikit yang berada di lokasi terpencil seperti di pegunungan atau bahkan bawah laut sehingga sulit diawasi. Belum lagi jumlahnya yang sangat banyak dan sebarannya terbilang luas mengingat Indonesia sebagai negara kepulauan. Akibatnya, secara umum pengamanannya pun sulit. Terlebih lagi tenaga penjaga terbatas dan kerap dibayar tidak memadai.
Sementara itu, benda-benda cagar budaya yang dipastikan usianya di atas 50 tahun tersebut diminati kelompok tertentu. Bukan rahasia lagi, di seluruh dunia terdapat sindikat penjualan barang antik. Bahkan mereka juga mengincar benda-benda etnografi, mulai dari perlengkapan rumah tangga hingga persenjataan.
Di sisi lain, kesadaran masyarakat akan arti penting benda-benda bersejarah masih kurang dan benda-benda cagar budaya tersebut kadang dianggap biasa saja serta tidak diacuhkan. Ada pula tekanan dari masyarakat sekitar yang hidup dalam impitan ekonomi sehingga benda cagar budaya menjadi korban kepentingan dan keinginan memperoleh keuntungan pribadi. Kondisi demikian membuka peluang berbagai benda tersebut rusak atau hilang, termasuk dilarikan ke luar negeri.
Libatkan masyarakat
Mundardjito berpendapat, masyarakat harus ikut berperan dalam melindungi cagar budaya. "Sekarang tinggal seberapa jauh masyarakat melindungi dan mengamankan benda-benda cagar budaya tersebut?" katanya.
Pada kenyataannya, kesadaran itu belum sepenuhnya tumbuh. Salah satu contoh, di situs Trowulan yang diyakini merupakan bekas ibu kota Kerajaan Majapahit, fondasi batu bata kuno di sekitar candi banyak digali secara liar. Sebagian batu bata kuno yang ditemukan digiling menjadi semen merah untuk dijual.
Ada juga batu bata kuno yang kemudian dijadikan pagar atau dinding bangunan rumah oleh para penduduk sekitar. Dengan adanya penggalian tersebut, sekitar 50 persen dari fondasi bekas kota Kerajaan Majapahit di Trowulan-yang terdiri atas batu bata dan tertanam hanya pada kedalaman 1-1,5 meter-dalam kondisi rusak.
Menurut Mundardjito, masyarakat secara luas masih perlu ditanamkan kesadaran sehingga mereka mau aktif ikut mengamankan dan melindungi benda cagar budaya. Kesadaran itu perlu ditumbuhkan sedari kanak-kanak melalui pendidikan di sekolah.
Dalam upaya memupuk kesadaran tersebut, anak-anak diajak ke situs cagar budaya dan diberikan pengertian bahwa benda cagar budaya atau peninggalan sejarah dari religi atau etnis apa pun merupakan hasil karya manusia. Peninggalan tersebut bagian dari peradaban sehingga harus dihormati dan dipelihara.
Selain itu, kesadaran bisa pula ditumbuhkan melalui gerakan. Untuk itu perlu komitmen politik. Sayangnya, dengan kondisi ekonomi dan politik saat ini, perlindungan situs dan benda cagar budaya sendiri masih belum menjadi prioritas.
Padahal, situs dan benda cagar budaya mempunyai aspek akademis, ideologis, dan ekonomis. Aspek akademis yakni untuk pewarisan ilmu, ideologis yakni sebagai jati diri atau identitas bangsa, dan ekonomis karena dapat menjadi pendukung kepariwisataan dengan tetap mengutamakan prinsip konservasi.
"Hanya saja kita tidak sadar betapa kaya budaya dan peninggalan sejarah yang ada dan malah kita cenderung tidak peduli," katanya.
Hal senada diungkapkan oleh Prof Dr Hariani Santiko, juga arkeolog dari Universitas Indonesia. Rusak atau hilangnya benda cagar budaya atau peninggalan sejarah menyulitkan berbagai penelitian atau kegiatan akademis terkait.
"Kalau benda cagar budaya di Tanah Air terus-menerus hilang atau banyak dibawa lari ke luar negeri, maka kita yang mau belajar malah harus ke luar negeri karena bendanya ada di sana semua. Itu sangat mahal. Sering terjadi penelitian terhambat karena ada arca yang hilang sehingga terpaksa hanya mengamati candinya. Di Jawa Timur misalnya, banyak bagian candi yang hilang atau dicuri," katanya.
Hal ini tentu menyulitkan perkembangan ilmu dan pencarian pengetahuan itu sendiri. Kesadaran masyarakat untuk menghargai, mengapresiasi, dan melindungi benda cagar budaya sangat penting. Apalagi, tambahnya, sebagian situs cagar budaya itu berada di sekitar atau di tengah masyarakat. (INE)
(Kompas, Rabu, 06 April 2005)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar