Pengumuman

Bila tulisan yang Anda cari tidak ada di blog ini, silakan kunjungi hurahura.wordpress.com

Selasa, 24 Maret 2009

Cai Rebon atau Caruban?

Views


MENDENGAR kata Cirebon, orang langsung teringat akan udang. Tidak dapat disalahkan, karena terdapat penggalan kata ’rebon’ yang sangat populer dan memiliki arti udang-udang kecil, maka asosiasi pikiran kita langsung mengarah ke bangsa udang-udangan itu.

Bahkan, Kota Cirebon sering dijuluki Kota Udang dan menjadikan binatang laut yang bungkuk itu sebagai salah satu simbol kota dan masuk dalam lambang daerah resmi. Namun, apakah benar asal usul nama Cirebon ada hubungannya dengan udang?

Menurut budayawan senior Cirebon TD Sudjana, jawaban pertanyaan tersebut bisa ya bisa tidak. Sudjana mengatakan, memang ada dua versi asal kata Cirebon yang sampai saat ini masih diperdebatkan, yaitu Cai Rebon dan Caruban.

Cai Rebon terdiri atas dua kata dalam bahasa Sunda, yaitu ’cai’ yang artinya air, dan ’rebon’ yang artinya udang kecil. Jadi Cai Rebon berarti air udang. Makna air udang sendiri pun ada dua, apakah air yang ada udangnya atau cairan yang dibuat dari udang sebagai bahan baku petis, bahan makanan khas berwarna coklat kehitaman untuk campuran makan tahu goreng yang lezat rasanya.

Melihat wilayah Cirebon yang terletak di tepi laut dan banyak ditemukan petis dan terasi yang diproduksi sebagai bahan makanan khas, bisa jadi kedua argumen itu sama benarnya.

TD Sudjana kembali berkisah, menurut legenda yang dipercaya masyarakat, asal mula kata Cirebon atau Cai Rebon adalah pada zaman dulu pada waktu air Laut Jawa pasang naik, air pasang masuk ke dalam sungai yang sekarang dikenal dengan nama Sungai Suba atau Sungai Krian yang melintas tepat di tengah-tengah wilayah Kota Cirebon sekarang. Air pasang tersebut masuk ke dalam sungai membawa ribuan atau bahkan jutaan ekor udang kecil yang disebut rebon.

Bahkan, rebon yang terbawa air pasang itu masuk jauh ke darat hingga ke daerah hulu Sungai Krian yang terletak di desa yang saat ini masuk dalam Desa Cirebon Girang, Kecamatan Cirebon Selatan, Kabupaten Cirebon. Menurut sejarawan RH Unang Sunardjo dalam bukunya "Selayang Pandang Sejarah Masa Kejayaan Kerajaan Cirebon: Kajian dari Aspek Politik dan Pemerintahan" yang dijadikan pegangan resmi sejarah di Keraton Kasepuhan, Desa Cirebon Girang pada waktu itu masuk dalam kekuasaan Kerajaan Wanagiri yang berpusat di daerah Palimanan sekarang.

Karena lama-lama rebon itu dapat menghidupi masyarakat setempat yang kemudian mengolahnya menjadi petis dan terasi, masyarakat akhirnya menamakan daerah muara Sungai Krian sebagai kawasan Cai Rebon atau Air Udang. Nama Cai Rebon lama-lama dilafalkan menjadi Cirebon.

Sementara argumentasi kedua, Cirebon berasal dari kata ’Caruban’ yang berarti campuran atau pembauran. Menurut Sudjana, berdasarkan kitab manuskrip Purwaka Caruban Nagari yang menjadi salah satu sumber utama dalam sejarah Cirebon, disebutkan pada abad ke-14 di pantai Laut Jawa terdapat sebuah desa nelayan kecil di kaki Bukit Amparan Jati yang bernama Muara Jati.

Desa yang memiliki pelabuhan nelayan kecil tersebut masuk dalam wilayah kekuasaan Kerajaan Galuh yang berpusat di Rajagaluh, Kabupaten Majalengka sekarang. Oleh penguasa Galuh, ditempatkan seorang syahbandar untuk mengurus Pelabuhan Muara Jati, yaitu seorang bernama Ki Gedeng Alang-alang.

Pada perkembangannya, Pelabuhan Muara Jati tumbuh menjadi pelabuhan internasional yang ramai disinggahi para pedagang dan saudagar dari berbagai negara, seperti Cina, Arab, Kamboja, India, dan Gujarat. Beberapa saudagar tersebut beragama Islam dan mulai menyebarkan agama Islam di tempat tersebut.

Salah satu di antaranya adalah yang berasal dari Baghdad, bernama Syekh Idlofi Mahdi, yang kemudian bermukim di kawasan Gunung Sembung (saat ini masuk wilayah Desa Astana, Kecamatan Cirebon Utara, Kabupaten Cirebon) dan bergelar Syekh Dzatul Kahfi yang berarti "sesepuh yang mendiami gua" karena sering bersemedi di dalam gua.

Karena semakin berkembang pesat sebagai pelabuhan internasional, Ki Gedeng Alang-alang akhirnya memindahkan kawasan permukiman ke daerah Lemahwungkuk yang terletak lima kilometer di sebelah selatan Muara Jati.

Di sini akhirnya berkembang kawasan permukiman yang dihuni oleh berbagai macam bangsa yang membawa kebudayaannya masing- masing. Dari situlah muncul kata Caruban yang berarti campuran atau pembauran berbagai macam etnis dan suku bangsa. Daerah itu kemudian dinamakan Caruban dan kemudian berubah menjadi Cerbon atau Cirebon.

TD Sudjana mengatakan, tidak ada kepastian mana asal-usul nama Cirebon yang sesungguhnya, karena seperti sejarah daerah di Jawa Barat lainnya, sumber-sumber sejarah masa lalu Cirebon juga sangat minim dan sulit dilacak kebenarannya.

Apa pun asal-usul nama yang sesungguhnya, Cirebon sudah telanjur dikenal sebagai Kota Udang. Namun jangan membayangkan akan mudah menemukan udang dengan jumlah banyak dan harga murah di Kota Cirebon, karena produksi udang dari sektor kelautan dan perikanan di kota tersebut justru cenderung turun dari tahun ke tahun.

Menurut data Dinas Pertanian dan Kelautan Kota Cirebon yang dilansir Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Cirebon, produksi udang pada tahun 1998 lalu masih 222.400 kilogram (kg), yang kemudian turun menjadi 184.200 kg (tahun 1999), 166.200 kg (2000), dan 129.622 kg (2001). Tahun 2002, produksi udang sempat meningkat menjadi 164.178 kg, tetapi jumlah itu masih sangat kecil jika dibandingkan dengan produksi ikan laut yang mencapai 3.119.366 kg pada tahun 2002. (dhf)

(Kompas, Sabtu, 21 Februari 2004)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BUKU-BUKU JURNALISTIK


Kontak Saya

NAMA ANDA :
EMAIL ANDA :
PERIHAL :
PESAN :
MASUKKAN KODE BERIKUT :