Views
HARI Minggu besok adalah hari jadi ke-634 Kota Cirebon, Jawa Barat. Berbeda dengan daerah lainnya, hari jadi kota tersebut tidak memakai sistem penanggalan masehi yang umum digunakan, melainkan menggunakan sistem penanggalan Islam atau Hijriah. Kota Cirebon berulang tahun setiap tanggal 1 Muharam (atau 1 Sura di sistem penanggalan Jawa), sehingga setiap tahun perayaan (dalam kalender Masehi) hari jadi kota selalu maju 11 hari dibanding tahun sebelumnya.
TANGGAL tersebut dipilih karena pada tanggal 1 Muharam 791 H bertepatan dengan perintah Syekh Datul Kahfi kepada muridnya, Pangeran Cakrabuana, untuk membuka hutan di kawasan pesisir Cirebon guna dijadikan permukiman penduduk. Pangeran Cakrabuana adalah pendiri Kerajaan Pakungwati yang kemudian menjadi Kesultanan Cirebon.
Dia adalah kakak dari ibu Syekh Syarief Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, salah satu Wali Songo-sembilan wali penyebar agama Islam di Pulau Jawa-yang kelak membawa Kesultanan Cirebon menuju puncak kejayaan. Sebagaimana kota-kota lain di Jawa yang pernah dihuni atau dipimpin para wali, Kota Cirebon hingga saat ini menyatakan diri sebagai "Kota Wali". Pemilihan hari jadi kota yang mengikuti sistem penanggalan Islam adalah simbol untuk meyakinkan Kota Cirebon adalah Kota Wali.
Tidak hanya itu, Kota Cirebon juga mengadopsi satu kalimat dalam bahasa Cirebon yang pernah diucapkan Sunan Gunung Jati dalam salah satu pidatonya yang kemudian terkenal sebagai Wasiat Sunan Gunung Jati, yaitu "Ingsun titip tajug lan fakir miskin" (Saya titip surau dan fakir miskin). Kalimat tersebut menjadi semacam semboyan dan slogan yang selalu disebutkan dan dipampang di seluruh pelosok Kota Cirebon untuk mengingatkan warga bahwa kota tersebut adalah Kota Wali.
WALI Kota Cirebon Subardi mengatakan, Wasiat Sunan Gunung Jati mengandung makna filosofis yang sangat dalam dan menjabarkan hubungan vertikal manusia dengan Tuhan (disimbolkan dengan kata tajug yang berarti surau) dan hubungan horizontal manusia dengan sesama manusia (disimbolkan dengan adanya kata fakir miskin). "Wasiat tersebut mengandung pesan agar masyarakat Cirebon menjadi manusia-manusia yang cerdas, bertaraf hidup tinggi, dan bermoral serta bermental religius, menjalankan ajaran agama," kata Subardi.
Pernyataan Subardi dibenarkan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Cirebon Suryana, yang mengatakan predikat Kota Wali melambangkan kondisi masyarakat yang religius dalam arti menjalankan ajaran agama. "Dan predikat tersebut jangan dipandang dalam perspektif satu agama saja, tetapi seluruh agama yang ada. Makna religius di sini adalah semua warga menjalankan ajaran agama masing-masing," tutur Suryana.
Namun seiring bertambahnya waktu hingga usia ke-634 ini, predikat Kota Wali di Cirebon seolah-olah tinggal nama dan wasiat "Ingsun titip tajug lan fakir miskin" sekadar slogan yang ditulis di papan-papan reklame. Kehidupan dan geliat sehari-hari kota terbesar kedua di Jawa Barat (Jabar) itu semakin tidak menunjukkan karakteristik sebagai kota yang mewarisi ajaran agung seorang wali.
SALAH satu contoh yang paling mudah dilihat mata telanjang adalah maraknya dunia prostitusi di kota tersebut. Setiap malam, belasan pekerja seks komersial (PSK) dengan mudah ditemui di sepanjang ruas Jalan Siliwangi, jalan protokol utama Kota Cirebon, tempat Balai Kota dan Gedung DPRD berada.
Meski berulangkali digelar razia dan operasi penyakit masyarakat (pekat) menjaring dan merehabilitasi PSK tersebut, mereka masih tetap beroperasi secara mencolok dan terang-terangan. Bisnis prostitusi seolah menjadi bagian keseharian masyarakat yang tidak tabu lagi.
Kota Cirebon juga memiliki catatan menonjol angka kejahatan seksual terhadap perempuan dan anak di bawah umur. Sepanjang tahun 2003, Kepolisian Resor Kota Cirebon tercatat menangani 11 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak di bawah umur. Kepala Polresta Cirebon Ajun Komisaris Besar Siswandi mengatakan, tidak ada faktor spesifik tingginya angka kejahatan seksual di Kota Cirebon kecuali moral pelakunya.
Selain itu, masih banyak perilaku masyarakat yang bertentangan dengan ajaran agama mana pun dan cenderung melanggar hukum, seperti maraknya perjudian, penjualan minuman keras, peredaran narkotika dan obat-obatan terlarang, serta makin menggilanya korupsi.
Dalam bahasa budayawan Cirebon TD Sudjana, segala hal yang termasuk dalam molimo atau 5 M, yaitu maling (mencuri), minum (minum minuman keras), madat (mabuk narkotika), madon (bermain perempuan atau berzina), dan mateni (membunuh), dapat ditemukan lengkap di "Kota Wali".
Secara umum, Ketua DPRD Suryana melihat sedang terjadi keruntuhan tata nilai di tengah- tengah masyarakat Kota Cirebon. "Satu hal kecil yang paling sederhana, sekarang ini orang yang jelas-jelas bersalah tidak mau minta maaf lagi. Kalaupun minta maaf, itu hanya di bibir saja," ujarnya.
Krisis tata nilai tersebut semakin diperparah ketika keraton yang menjadi pewaris langsung ajaran dan tradisi budaya peninggalan Sunan Gunung Jati dan diharapkan menjadi benteng terakhir pelestarian nilai- nilai agung ajaran leluhur tersebut, saat ini justru tidak bisa memberi contoh dan teladan bagi masyarakat.
Konflik perebutan takhta yang berkepanjangan di Keraton Kanoman dan keikutsertaan pewaris takhta tunggal Keraton Kasepuhan berpolitik praktis untuk mengejar kedudukan struktural dalam pemerintahan makin menambah rasa skeptis masyarakat terhadap kemampuan keraton memberikan teladan ajaran agung itu.
SEMUA gejala sosial itu sebenarnya juga terjadi secara umum di daerah-daerah lain dan bukan sesuatu yang aneh di negara yang sedang sakit ini. Akan tetapi, Kota Cirebon menanggung beban moral yang lebih berat, karena dari dulu hingga sekarang menyandang predikat Kota Wali yang selalu dibangga-banggakan, walau perwujudannya tak pernah lebih dari sebatas simbol saja.
TD Sudjana bahkan tegas mengatakan, Cirebon sebagai Kota Wali yang sesungguhnya hanya ada dan benar-benar terjadi pada masa abad ke-15 dan 16, di kala Sunan Gunung Jati masih memimpin pemerintahan Kesultanan Cirebon. "Setelah itu, Cirebon sebenarnya tidak pernah benar-benar menjadi Kota Wali lagi, meski sebutannya masih begitu," tuturnya.
Wali Kota Subardi mengakui, saat ini sebagian besar penduduk Kota Cirebon tidak memahami makna sesungguhnya pesan "Ingsun titip tajug lan fakir miskin" yang menjadi jiwa dan landasan tata nilai Cirebon sebagai Kota Wali. Menurut dia, masyarakat hanya memahami pesan tersebut sebatas dalam bentuk acara-acara seremonial. "Terus terang saya ragu masyarakat, dan bahkan pejabat, memahami benar pesan tersebut secara hakiki," ujarnya.
Menurut Suryana, kegagalan Cirebon menjadi Kota Wali yang dicita-citakan adalah karena pemahaman yang sempit terhadap pesan Sunan Gunung Jati itu. Pesan wali menitipkan tajug dan fakir miskin diartikan terlalu harfiah dan hanya diambil aspek lahiriahnya, sehingga maknanya justru terdistorsi. "Kebanyakan orang berpikir kalau sudah menyumbang pembangunan masjid dan memberi sedekah kepada fakir miskin, itu berarti telah menjalankan amanah dan pesan wali. Padahal, itu sebagian kecil dari makna pesan wali yang berdimensi sangat luas," tandas Suryana. (dahono fitrianto)
(Kompas, Sabtu, 21 Februari 2004)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar