Pengumuman

Bila tulisan yang Anda cari tidak ada di blog ini, silakan kunjungi hurahura.wordpress.com

Minggu, 22 Maret 2009

Gajah Purba Juga Ada yang "Kate"

Views


Oleh: Nasruddin

Pada kesempatan pameran tentang manusia purba di Lombok, Nusa Tenggara Barat, yang diselenggarakan oleh Direktorat Purbakala beberapa tahun lalu, animo masyarakat di sana terhadap pameran itu begitu besar. Pengunjung melimpah setiap hari demi melihat secara langsung, seperti apa sih bentuk manusia purba.

Tanggapan yang tergambar dalam benak mereka tatkala menyaksikan pameran tersebut, manusia purba itu bertubuh besar, tinggi, dan kekar. Barangkali tidak hanya pada masyarakat Lombok, tetapi juga di banyak masyarakat awam kita memiliki persepsi yang sama.

Anggapan ini mungkin dilatari oleh terbatasnya pengetahuan mereka atau karena terpatri tentang binatang purba yang serba raksasa, seperti halnya dinosaurus, misalnya.

Melalui pameran itu, mereka mulai tahu dan sedikit mengerti bahwa "manusia purba" tidaklah berbeda dengan keadaan fisik manusia modern sekarang, bahkan Homo erectus tertua pun yang lebih maju dari Homo habilis hanya setinggi 160 cm.

Hal yang membedakannya hanya terletak pada bentuk tengkorak kepala yang dicirikan dengan kening yang rendah, mandibulanya sangat kuat, dan tidak mempunyai dagu. Perbedaan yang jelas terhadap manusia purba hanya terletak pada volume otak yang kurang dari 1.000 cm³.

Gambaran manusia purba yang serba raksasa oleh masyarakat selama ini mungkin mulai memudar, atau mereka justru menjadi bingung setelah gencar diberitakan adanya temuan manusia "kate" purba di Gua Liang Bua Flores, Nusa Tenggara Timur.

Bahkan, para ilmuwan pun menjadi kalang kabut dibuatnya karena temuan manusia purba tersebut hanya memiliki tinggi tubuh tidak lebih dari 1 meter saja.

Seantero dunia paleoantropologi dan arkeologi menjadi gempar sehingga berbagai media massa, baik dalam dan luar negeri, menempatkannya sebagai berita utama dalam beberapa bulan ini, terutama majalah Nature dan National Geographic begitu gencar melacak sumber-sumber dan hasil penelitian arkeologi kerja sama Indonesia dan Australia yang dilakukan di Liang Bua, Kabupaten Manggarai, Flores, itu.

Silang pendapat dan diskusi ilmiah terus terjadi untuk mencari jawaban atas manusia "kate" yang misterius di atas. Menurut keterangan tim penelitian itu, temuan rangka manusia tersebut memiliki ukuran serba kecil dan mini, tetapi bukan tulang anak-anak.

Itulah sebabnya para peneliti asing menyebutnya cebol atau memberikan istilah hobbit dengan mencuplik nama pameran karakter cebol dari novel karya JRR Tolkien yang kemudian difilmkan, The Lord of the Ring.

Perdebatan atas identifikasi dan hasil rekonstruksi "manusia Flores" (Homo floresiensis) ini makin berkepanjangan karena para ahli sulit menempatkan posisinya dalam pohon silsilah manusia. Tidak hanya itu, tetapi sebab-sebab apa pengerdilan itu terjadi? Menjadi pertanyaan yang belum dapat jawaban secara jelas.

Beberapa pandangan yang dikemukakan oleh para ilmuwan menyebutkan, ada kemungkinan manusia Flores itu merupakan suatu spesimen tersendiri (baru) dari jalur evolusi Homo erectus atau Homo sapiens. Pihak lain mengatakan, terjadinya pengerdilan itu kemungkinan disebabkan oleh suatu penyakit (microcephaly), yaitu kelainan otak yang berakibat pertumbuhan fisik terhambat dan tidak sempurna.

Di samping itu, muncul pendapat lain bahwa penyebab pengerdilan adalah faktor lingkungan yang minus (kering dan tandus) sehingga sumber-sumber bahan makanan menjadi terbatas dan berdampak terhadap pertumbuhan fisik manusia.


"Pygmy" stegodon

Sekarang kita coba menengok punggung lereng di bukit Dozu Dhalu, yaitu salah satu bukit di kawasan Lembah Soa, tidak terlalu jauh dari kota Kecamatan Bowae, lebih kurang berjarak 8 kilometer. Lokasi itu hanya dapat ditempuh dengan berjalan kaki.

Suatu kesibukan penggalian yang dilakukan oleh tim penelitian arkeologi, kerja sama Indonesia-Australia. Kegiatan itu melibatkan sejumlah ahli yang dibantu oleh beberapa tenaga lokal yang bertujuan menelusuri jejak budaya manusia dan fauna purba yang terdeposit dalam batu tufaan.

Sinar matahari siang yang memanggang kulit para peneliti seolah tidak punya pengaruh terhadap mereka. Dengan bersemangat, mereka terus saja mengorek tanah dan batuan yang kemudian menampakkan sejumlah fosil stegodon (gajah purba).

Keterangan yang berhasil dikumpulkan, fosil-fosil itu terdiri dari tulang femur, tusk, rib, dan fragmen molar yang letaknya tumpang-tindih satu dengan lainnya di dalam lokasi penggalian. Kumpulan fragmen tulang itu makin tampak jelas, yaitu terdiri dari beberapa individu gajah yang telah membatu oleh proses fosilisasi waktu yang sangat panjang.

Dr Fachrul Azis selaku pimpinan tim penelitian menerangkan, karakter dan ciri-ciri molar (susunan gigi) menunjukkan bahwa fosil itu adalah gajah dewasa dan termasuk jenis large stegodon.

Penemuan di bukit Dozu Dhalu ini bukan merupakan yang pertama karena di bukit-bukit lainnya, seperti Boa Leza, Mata Menge, Koba Tua, dan Tangi Talo, pernah ditemukan fosil stegodon serupa. Namun, berbeda dengan identifikasi temuan stegodon di bukit Tangi Talo karena fosil-fosil itu, baik fragmen molar dan gading justru dalam ukuran kecil sehingga para ahli menggolongkannya dalam kategori "kate" atau pygmy stegodon.

Menurut keterangan Minggus, salah seorang penduduk Boway yang dilibatkan membantu sebagai tenaga lokal, di setiap lereng perbukitan di sana mudah sekali ditemukan fosil tulang, terutama pada saat musim kemarau. Lebih-lebih sehabis pembakaran rumput dan ilalang yang dilakukan petani, sejumlah fosil terbongkar dan mencuat ke permukaan tanah.

Munculnya fosil-fosil gajah tersebut, baik akibat erosi dan longsoran tanah maupun oleh proses ekskavasi, menggambarkan suatu kehidupan dari populasi gajah dan hewan-hewan lainnya, hidup berdampingan dalam sebuah taman yang sangat luas.

Apakah lingkungan alam wilayah di Bajawa yang tandus dan gersang itu sama dengan lingkungan ketika zaman hidupnya gajah purba tersebut, dan kemudian menyebabkan punahnya populasi gajah-gajah tersebut?

Menurut pendapat di kalangan para ahli, faktor penyebab punahnya hewan seperti stegodon lebih kepada kondisi lingkungan yang tidak stabil, termasuk banyaknya letusan gunung api yang terjadi pada era itu. Namun, ada pula pendapat yang menyebutkan bahwa ada indikasi hewan predator seperti komodo (Komodo dragon dan Crocodile) sebagai hewan pemangsa bagi gajah-gajah itu.

Bila ditelusuri cerita-cerita penyebab kepunahannya, daratan di wilayah perbukitan Flores menjadi bukti kehidupan bahwa dahulu pada ratusan ribu tahun lampau pernah menjadi habitasi hewan stegodon, baik large maupun yang pygmy (kerdil), hidup secara berkelompok dan berdampingan. Selain itu, juga sejumlah fauna endemik lainnya, seperti komodo dan kura-kura raksasa (Giant tortoise).


Jalur migrasi fauna

Deposit fosil gajah purba di atas adalah bukti penting atas peristiwa migrasi yang pernah berlangsung pada kala kehidupan plestosen dari Asia Tenggara daratan ke Nusantara. Pulau Flores adalah salah satu jalur migrasi fauna yang menghubungkan antara daratan Jawa dan mungkin juga Sulawesi.

Hipotesis ini masih memerlukan banyak data yang mesti dikumpulkan untuk diuji melalui riset yang lebih kontinu terhadap lokasi-lokasi penemuan fosil stegodon di Indonesia.

Fakta penelitian yang ditemukan di lapangan adalah dalam kesempatan penelitian di perbukitan Soa tersebut, yang justru menunjukkan adanya temuan fosil fauna, termasuk stegodon normal dan pigmy yang berhasil ditemukan dalam posisi stratigrafi yang sama.

Artinya bahwa pada saat (waktu) yang relatif sama pernah hidup berdampingan suatu koloni gajah purba (stegodon) antara yang kerdil dan gajah normal dalam kawasan tersebut di masa lampau. Jadi, asumsi tentang lingkungan yang tandus itu sulit diterima sebagai penyebab terjadinya pengerdilan fauna maupun manusia di Flores pada masa lampau.

Penemuan manusia "kate" (Homo floresiensis) di Liang Bua begitu mengejutkan. Namun, temuan fosil Stegodon Trigonocephalus floresiensis memang bukan berita baru karena sejak tahun 1968 telah mulai diberitakan lewat jurnal Anthropos oleh T Verhoeven, seorang misionaris Belanda yang berdomisili di Flores.

Namun, berita itu kurang mendapat perhatian di kalangan paleontolog dan arkeolog. Lalu, kemudian pada tahun 1987 muncul PY Sondaar, seorang geolog Belanda, yang mencoba menelusuri jejak-jejak penelitian Verhoeven dan kembali meyakinkan dunia Internasional bahwa Flores menyimpan fauna stegodon yang endemik.

Penelitian itu seharusnya tidak saja terbatas pada kajian budaya dan lingkungan purba hingga pada aspek kronologisnya. Namun, terutama mencari jejak migrasi manusia purba di Nusantara.

Nasruddin
Peneliti pada Pusat Penelitian Arkeologi Nasional

(Kompas, Senin, 08 Mei 2006)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BUKU-BUKU JURNALISTIK


Kontak Saya

NAMA ANDA :
EMAIL ANDA :
PERIHAL :
PESAN :
MASUKKAN KODE BERIKUT :