Views
DWARAPALA, dua patung raksasa penjaga pintu mencapai berat 40 ton dan tinggi lebih kurang tiga meter itu, menjadi dua titik penting untuk memperkirakan letak istana Raja Kertanegara (1268-1292).
Kertanegara adalah raja kelima dan terakhir Kerajaan Singasari yang kemudian dikenal menurunkan raja-raja Kerajaan Majapahit. Menurut arkeolog Drs Dwi Cahyono MHum dari Universitas Negeri Malang (UM), kedua patung Dwarapala itu semula menghadap ke arah timur.
Meskipun demikian, kondisi patung di sisi selatan itu kini sudah berubah arah menghadap agak ke timur laut. Pergeseran salah satu patung Dwarapala dipengaruhi aktivitas saat mengangkat patung. Patung itu sempat terbenam sebagian ke dalam tanah pada tahun 1980-an.
Arah depan dua patung Dwarapala ke arah timur menjadi sangat penting diperhitungkan untuk memburu istana Raja Kertanegara yang kini hilang tak berbekas. Ketika berjalan tegak lurus atau ke arah barat, memasuki celah kedua patung yang berjarak tak lebih dari 50 meter itu, diperkirakan sebagai jalan utama paling awal yang akan menuju istana kediaman keluarga Raja Kertanegara.
Jalan utama ini sekarang juga tak berbekas karena sudah dipadati permukiman penduduk. Meskipun celah dua patung Dwarapala masih tetap diperuntukkan sebagai jalan perkampungan, namun arah jalan tersebut bergeser semakin menuju ke arah selatan.
Jalan utama ke arah barat persis, jika dilanjutkan lurus akan menuju sebuah telaga. Di atas telaga itu ada sebuah bukit. Di atas bukit itulah diperkirakan sebagai istana Raja Kertanegara.
Ada kemungkinan peninggalan berupa fondasi istana atau yang lainnya masih bisa ditemukan melalui penggalian.
Jika demikian halnya, memang tampak tidak susah untuk memburu istana Kertanegara yang hilang. Istana dari seorang raja Singasari yang termasyhur dan pernah mengirim prajurit dalam Ekspedisi Pamalayu (1275) untuk menggalang sekutu raja-raja Jawa dan Sumatera pada masanya.
Persekutuan itu dimaksudkan untuk mengantisipasi serangan ekspansif dari Raja Khubilai Khan dari dataran Cina.
Memasuki celah patung Dwarapala sekaligus memasuki kawasan watek ijro atau jeron beteng atau bagian dalam tempat tinggal pejabat-pejabat penting dan kerabat istana. Secara populer, lingkungan tersebut bisa disebut ring dua istana. Sebutan ring satu istana untuk kediaman raja dan keluarganya setelah melewati sebuah telaga menuju lokasi berbukit.
Di sekitar telaga itu terdapat Pemandian Ken Dedes. Di atas Pemandian Ken Dedes ada bukit, dan disebut warga setempat sebagai Bukit Sanggrahan.
Bukit Sanggrahan ini berada di lereng Gunung Arjuno yang terdapat banyak sumber air. Tak mengherankan, banyaknya titik sumber air itu akhirnya membentuk sebuah telaga di kaki bukit.
Untuk melihat bangunan benteng untuk ring dua ini, diduga pernah ada berupa bangunan batu bata kuno. Bangunan itu ditata menyamping ke arah utara dan selatan, dimulai dari titik masing-masing patung Dwarapala.
"Sekarang bangunan batu bata itu hilang. Pernah dirobohkan sekitar tahun 1980, kemudian pecahan batu bata oleh penduduk setempat digunakan untuk menguruk jalan baru ini," kata Sugiyono, juru kunci Candi Singasari yang berjarak sekitar 300 meter timur laut dari patung Dwarapala.
Menurut Dwi, dari karya penulisan warga Belanda, Bloom (1934), disebutkan sedikitnya ada sembilan candi di ring tiga tersebut. Penulisan Bloom didasarkan pada catatan setiap warga Belanda yang pulang ke Belanda setelah mengunjungi kawasan situs purbakala Kerajaan Singasari sebelum tahun 1934.
Suwondo, yang juga juru kunci Candi Singosari, mengatakan, pada era 1980-an diperkirakan telah terjadi penghilangan terakhir situs-situs candi. Di antaranya Candi Wayang dan Candi Putri.
"Candi Wayang dan Candi Putri itu ada di sekitar Pondok Bungkuk yang kini berubah menjadi permukiman penduduk dan sebagian untuk pondok pesantren," kata Suwondo.
Suwondo masih mengingat, pada waktu itu umpak-umpak batu kedua candi tersebut diambil penduduk, kemudian dipergunakan untuk keperluan membangun rumah masing-masing. Suwondo juga mengingat persis, bekas Candi Wayang kini sudah didirikan rumah salah satu penduduk.
PINTU gerbang dan benteng merupakan penanda paling mudah untuk memperkirakan titik pusat istana kerajaan atau tempat tinggal raja. Pintu gerbang dan benteng untuk istana Kertanegara sementara ini sudah jelas diperkirakan. Bahkan, adanya benteng batu bata ring dua yang sudah dirobohkan, menurut Dwi, patut dicatat pula adanya benteng di lapis luarnya lagi, berupa benteng alami untuk ring tiga.
Benteng alami itu berupa sebuah sungai, Sungai Klampok. Istilah klampok ini mengacu sebagai nama jambu, sebab di salah satu kawasan bukit yang termasuk kawasan ring satu atau ring dua banyak ditemui tanaman jambu. Khususnya, untuk jambu atau klampok darsana.
Saat ini, Sungai Klampok masih mengalir membentengi ring tiga istana persis di sebelah barat dan selatan. Lalu, di sebelah utara dibuatlah parit buatan dan kini dikenal warga setempat sebagai Kali Mati atau Kali Curah. Manfaatnya sama, untuk benteng alami.
Menurut Sugiyono, parit buatan di sebelah utara itu pun kemudian dibelokkan ke arah timur. Parit di sebelah timur itu pernah disebut sebagai jurang glandang pring apus. Tetapi, kini parit timur sudah tidak berfungsi. Sebab, kelokan parit menuju arah timur dari sisi utara itu sudah ditutup.
Parit utara sendiri masih difungsikan sebagai jalur curahan air hujan. Oleh sebab itu, parit itu dikenal sebagai Kali Curah. Karena jalur ke timur sudah ditutup, maka parit itu diteruskan tetap ke arah utara.
Istana Kertanegara sudah terlacak. Namun, ini masih perlu dibuktikan dengan penggalian atau observasi mendetail.
Menurut Dwi, konsepsi Hindu mengenai "dunia atas" atau dunia para dewa sebetulnya yang ingin diwujudkan Kertanegara. Konsepsi dunia atas tersebut, di puncak Gunung Meru yang berada di atas Pulau Jambu Dwipa dan dikelilingi laut, terdapat Kaindran. Kaindran adalah istana para dewa yang dipimpin Dewa Indra.
Bukit Sanggrahan itu sebagai Gunung Meru. (NAW)
(Kompas, Senin, 31 Maret 2003)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar