Views
Silang iku tuwan ingkang yuswa kangjeng gusti,
Gawe kuta bulawarti bata kalawan kawis.
Gawe kuta bulawarti bata kalawan kawis.
DUA baris dalam pupuh (bait) ke-22 Babad Banten di atas dikutip Hoesein Djajadiningrat dalam disertasinya, Tinjauan Kritis tentang Sajarah Banten, saat memperoleh gelar doktor bidang Bahasa dan Sastra Nusantara di Universitas Negeri Leiden, Belanda, 3 Mei 1913.
Kalimat itu diberi syarah (tafsir) oleh Hoesein: (bahwa) Hasanuddin mencapai usia seratus tahun. Ia digantikan oleh putranya, Molana Yusup. Molana Yusup mempunyai tenaga jasmani yang besar. Ia membangun kota dan perbentengan dari bata dan karang.
Salah satu penggalan sejarah itu memperlihatkan, betapa pesatnya pembangunan di Kota Banten saat itu. Dari berbagai situs dan peninggalan yang ditemukan di Banten Lama, Banten Lama mempunyai ciri umum yang juga ditemukan pada kota-kota Islam di bagian lain di dunia.
Seperti juga pada kota-kota Islam di Indonesia, Afrika, dan Arab, Banten juga telah membagi tata ruang kotanya ke dalam istana, pasar-pasar, dan masjid-masjid. Kawasan permukiman dipetakan berdasarkan pekerjaan dan etniknya.
Dalam Katalogus Koleksi Data Arkeologi Banten yang diterbitkan Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah, disebutkan bahwa Banten tak hanya menjadi Kota Muslim terbesar di Indonesia pada masanya, tetapi juga menjadi ciri umum kota-kota Muslim pada akhir abad ke-16.
Sayang, semua itu cuma tertulis dalam kertas sejarah. Jika deskripsi tersebut dibandingkan dengan situasi di Banten Lama saat ini, tentu sangat jauh bertolak belakang. Banten Lama kini tinggal menyisakan reruntuhannya. Di antara sisa-sisa bangunan purbakala di Banten Lama, agaknya cuma Masjid Agung Banten dengan makam para sultan yang dilestarikan.
Boleh jadi itu karena hanya bangunan itulah yang sampai kini menjadi daya magnet pengunjung ke Banten Lama. Adapun bangunan purbakala lainnya nyaris tidak dipedulikan, bahkan cenderung menjadi "barang mainan" saja.
Kondisi kompleks Keraton Surasowan, Keraton Kaibon, Benteng Speelwijk, dan Masjid Pecinan Tinggi saat ini lebih sering dimanfaatkan sebagai tempat menggembala hewan ternak dan arena sepak bola.
Ini selain dikhawatirkan akan merusak keaslian benda-benda purbakala tersebut, juga merusak kebersihan dan keindahan. Di tempat-tempat bersejarah itu sering ditemukan banyak kotoran binatang, onggokan sampah, grafiti di dinding tembok, sementara rumput dan semak dibiarkan meliar.
Jembatan Rantai di sebelah utara bekas Keraton Surasowan bukan hanya "hilang" lantaran tertutup oleh kios-kios pedagang, melainkan juga sering dijadikan tempat buang hajat.
Watung Gilang, sebuah batu berbentuk segi empat dari bahan batu andesit dengan permukaan datar yang digunakan sebagai tempat mengambil sumpah para sultan yang dinobatkan, kini lebih sering dipakai pacaran muda-mudi.
Situ Tasikardi, tempat rekreasi para bangsawan kesultanan yang terletak sekitar dua kilometer sebelah tenggara Keraton Surasowan, juga semakin tidak terurus. Rumput, eceng gondok, dan tanaman liar lainnya dibiarkan menggunung di beberapa bagian waduk.
Airnya tidak lagi jernih dan lebih sering berwarna coklat sehingga sekarang ini sulit untuk membayangkan bahwa tempat itu dulu menjadi rekreasi para bangsawan Kesultanan Banten dan menjadi penyuplai kebutuhan minum keluarga para sultan. Tempat itu pun kini menjadi tempat favorit untuk pacaran.
Fakta-fakta ini memperlihatkan, betapa nilai kesakralan dan kesejarahan benda-benda purbakala itu kini telah pupus. Infrastruktur fisik di kawasan Banten Lama pun luput dari perhatian. Sekadar contoh, masih banyak jalan di Banten Lama yang dilewati rel kereta api tanpa dilengkapi palang pintu.
BERBAGAI upaya telah dilakukan untuk memugar kawasan yang mengonservasi situs-situs bersejarah tersebut. Langkah itu dimulai sejak pemerintahan Belanda dari tahun 1915 hingga 1930. Pemeliharaan kawasan Banten Lama dilanjutkan Pemerintah Indonesia sejak tahun 1945.
Antara tahun 1977-1987 dibuatkan rancangan pokok pembuatan Taman Arkeologi Banten Lama. Sasarannya menjadikan kawasan Banten Lama seperti kawasan Borobudur yang sudah terlebih dahulu go international.
Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Provinsi Banten Syahrul Ibrahim menyebutkan, sudah dikucurkan tak kurang dari Rp 21 miliar dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah untuk membiayai pemeliharaan fisik bangunan-bangunan purbakala itu.
Menurut pakar arkeologi Islam, Hasan M Ambary, sudah banyak masukan para pakar dalam bentuk hasil penelitian yang merekomendasikan berbagai model penataan kawasan Banten Lama. "Tetapi, tidak ada yang pernah ditanggapi dan ditangani serius," katanya.
Hal itu diakui Kepala Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Serang Endjat Djaenuderajat. Tak heran, meski sudah puluhan tahun restorasi itu berjalan, kawasan Banten Lama tetap tak berubah. Salah satu kendalanya adalah biaya yang besar untuk merealisasikan konsep- konsep penataan kawasan Banten Lama.
Endjat berpendapat, perlu ada investor yang mengelola kawasan Banten Lama untuk menutupi keterbatasan kucuran dana dari pemerintah. Menurut dia, tidak sulit menyodorkan aset-aset Banten Lama yang bisa ditawarkan ke para investor.
"Dengan 6.000 pengunjung setiap tahunnya, biaya investasi di Banten Lama akan cepat kembali. Bayangkan, dari biaya parkir kendaraan sebesar Rp 1.000, berapa yang didapat dalam setahun dari parkir saja. Belum lagi dari tiket masuk jika taman arkeologi itu sudah jadi," tutur Endjat optimistis.
Akan tetapi, upaya menarik investor itu akan sia-sia jika berbagai masalah berkaitan dengan status pengelolaan Banten Lama tidak diselesaikan terlebih dahulu. Hasan M Ambary mengungkapkan, ada ribuan hektar aset tanah-tanah wakaf di Banten Lama yang masih belum jelas pengelolaannya.
Syahrul mengakui, ada dua persoalan besar saat ini di Banten Lama. Pertama, masalah siapa pihak pengelola yang bertanggung jawab (sah) mengelola kawasan Banten Lama; kedua masalah pemeliharaan atas aset-aset sejarah yang bernilai tinggi. "Siapa yang bertanggung jawab mengelola Banten Lama, masih menjadi tanda tanya besar. Masalah ahli waris pun kadang berbeda-beda satu dengan yang lain," ujarnya.
Ketidakjelasan siapa pengelola Banten Lama (yang sah) itu menimbulkan kekusutan dalam penataan Banten Lama saat ini. Kawasan di Banten Lama sudah dikapling-kapling dan dikuasai pihak-pihak tertentu.
Seorang pedagang mengungkapkan, untuk mendapatkan lahan seluas 3 x 3 meter ia harus membayar Rp 300.000 kepada seseorang. Itu ditambah iuran Rp 5.000 per bulan.
Menurut Hasan, masalah status pengelolaan Banten Lama masih terbentur pada persoalan kepemilikan aset-aset tanah oleh para nadir kesultanan. "Masalah ini terkait dengan orang-orang yang mengaku keturunan sultan," ujarnya. (sam)
(Kompas, Senin, 22 Desember 2003)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar