Views
Maria van de Veldes Lijk
Mayatnya terkubur
Walaupun dia pantas hidup
Bertahun-tahun lamanya
Seandainya Tuhan
Berkenan demikian
Penggalan bait berbahasa Belanda itu terukir rapi pada sebuah nisan dari batu andesit. Nisan Maria yang berusia sekitar 280 tahun itu teronggok sepi bersama sekitar 40 makam tua lainnya di Pulau Onrust, Kepulauan Seribu. Pulau yang dahulu teramat sibuk itu kini begitu sunyi. Yang tersisa hanyalah legenda Maria ditemani puing-puing.
Maria (waktu itu berusia 27 tahun) disebut-sebut sebagai istri seorang pegawai Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC), yang bekerja di Pulau Onrust pada abad ke-17. Suatu penyakit tropis merenggut nyawanya. Namun, legenda tentang arwahnya yang konon kerap muncul terus hidup hingga kini. Sebuah tayangan televisi berbau mistis pun pernah menjadikannya obyek.
Begitulah Onrust. Tanpa narasi sejarah kolonial berbumbu legenda Maria, pulau ini tak menyisakan tampilan visual yang menarik. Usang, porak poranda, sama sekali tak tampak terawat. Berbagai macam sampah plastik, pakaian dalam perempuan, hingga pecahan keramik kuno berserakan di berbagai tempat.
Padahal, selama berabad-abad dahulu pulau ini menyimpan serangkaian kisah sejarah yang memesona, khususnya sejak masa VOC (1619) hingga pascakemerdekaan (1968). Sederet episode sejarah itu kini hanya menyisakan puing-puing. Di antaranya puing fondasi Benteng Martello (1656), kincir angin (1674) untuk penggergajian kayu, barak-barak haji (1911-1933), toilet, makam, hingga penampungan air bawah tanah, yang kini jadi sarang biawak.
Asep Kambali dari Komunitas Peduli Sejarah dan Budaya Indonesia Historia menuturkan, kehancuran bangunan itu diduga akibat serangan Inggris tahun 1803 dan 1806. Bangunan itu semakin rusak oleh gelombang tidal letusan Gunung Krakatau (1883) serta penjarahan material bangunan pada tahun 1968.
Tahun 1972 Pemerintah Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta Raya menjadikan empat pulau di Kepulauan Seribu, yakni Onrust (Pulau Kapal), Cipir (Kuiper), Kelor (Kerkhof), dan Bidadari (Purmerend), sebagai pulau yang dilindungi. Bahkan, sejak tahun 2002 keempatnya dijadikan Taman Arkeologi. Meski begitu, hingga kini pulau-pulau itu belum juga tampak dikelola dengan baik sekalipun media kerap meliputnya.
Hanya Pulau Bidadari yang lebih terawat karena campur tangan swasta, sedangkan ketiga pulau lainnya masih terus terancam abrasi. Pulau Onrust sendiri, yang semula seluas 12 hektar, kini tinggal 7,5 hektar. Tanggul-tanggul yang dibangun Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tahun 2003 sudah jebol.
Di Pulau Cipir, misalnya, tanggul yang jebol menampakkan isi tanggul yang ternyata hanya berupa karung-karung berisi pasir. Tumpukan karung itu hanya dilapisi beton bertulang yang tebalnya sekitar lima sentimeter.
Saat malam tiba, Onrust semakin sunyi. Tiadanya jaringan listrik dari PLN membuat segelintir penghuni Onrust mengandalkan tenaga listrik dari diesel dan lampu petromaks. Sulit mengharapkan Onrust menjadi tujuan wisata. Fasilitas standar seperti toilet umum yang layak saja tak ada. Air bersih pun sulit diperoleh.
Kalangan yang doyan berpetualang atau pencinta sejarah barulah sudi mampir dan menginap di Onrust. Mereka biasanya menginap di satu ruangan besar bekas kantor registrasi haji. Beberapa pengunjung bahkan menginap di bekas penjara Jepang atau berkemah.
Secara arkeologis, pulau ini pun belum sepenuhnya tereksplorasi. Padahal, di Onrust diduga juga tersimpan banyak ruang bawah tanah yang belum terungkap. "Makanya sayang sekali kalau ditelantarkan begini. Kalau tidak cepat diselamatkan, bisa-bisa puing pun tak akan tersisa lagi," ujar Asep.
Perkiraan Asep itu sangat mungkin benar. Terlebih, pengunjung kerap tak menaruh kepekaan terhadap benda-benda sejarah. Benteng Martello di Bidadari, yang masih lumayan utuh, belakangan diminati sebagai tempat pesta disko di areal terbuka (rave party). Malangnya, penyelenggara pesta dengan seenaknya menancapkan paku di benteng itu demi memasang perlengkapan pesta. Luka-luka bekas paku itu tampak di berbagai bagian benteng.
Saat pembangunan tanggul, para pekerja bahkan mengaduk semen di atas sisa fondasi bangunan kuno. Bekas adukan semen yang kini mengeras itu tentu saja mencederai situs sejarah tersebut. "Seharusnya pekerja diberi pengarahan. Jangan sampai merusak situs," kata Asep.
Kondisi serba terbengkalai semakin lengkap setelah menjenguk Museum Onrust di dekat dermaga. Koleksi sebagian foto- foto kuno yang menggambarkan kondisi pulau ratusan tahun lalu itu hanya tergeletak sembarangan di salah satu ruangan museum yang mirip gudang. Siapa pun tak sulit mengambil koleksi foto itu.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Aurora Tambunan mengakui pihaknya memang belum bisa maksimal mengelola pulau-pulau dari Taman Arkeologi itu. Itu semata karena kendala anggaran yang tipis. Aurora mengaku terpaksa menetapkan prioritas pada penyelamatan bangunan-bangunan kuno di Jakarta, yang mulai rapuh dan berpotensi membahayakan manusia. Selain itu, anggaran sekitar Rp 40 miliar tahun 2006 ini pun lebih dikonsentrasikan pada revitalisasi Kota Tua Jakarta. "Namun, kami masih sangat berharap suatu saat pulau- pulau itu mampu kami kelola lebih baik, apalagi jika ada pihak ketiga yang berminat. Sebenarnya, potensi di sana luar biasa menjanjikan," tuturnya.
Jakarta memang menyimpan beribu masalah yang terus antre untuk ditangani. Entah sampai kapan situs-situs sejarah itu mendapat giliran. Jangan sampai seluruh situs keburu pupus terenggut zaman. Dan, generasi mendatang hanya bisa sayup-sayup mendengar narasinya, yang mungkin akan dianggap dongeng....
(Sumber: Kompas, Senin, 9 Oktober 2006)
Mayatnya terkubur
Walaupun dia pantas hidup
Bertahun-tahun lamanya
Seandainya Tuhan
Berkenan demikian
Oleh: Sarie Febriane
Penggalan bait berbahasa Belanda itu terukir rapi pada sebuah nisan dari batu andesit. Nisan Maria yang berusia sekitar 280 tahun itu teronggok sepi bersama sekitar 40 makam tua lainnya di Pulau Onrust, Kepulauan Seribu. Pulau yang dahulu teramat sibuk itu kini begitu sunyi. Yang tersisa hanyalah legenda Maria ditemani puing-puing.
Maria (waktu itu berusia 27 tahun) disebut-sebut sebagai istri seorang pegawai Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC), yang bekerja di Pulau Onrust pada abad ke-17. Suatu penyakit tropis merenggut nyawanya. Namun, legenda tentang arwahnya yang konon kerap muncul terus hidup hingga kini. Sebuah tayangan televisi berbau mistis pun pernah menjadikannya obyek.
Begitulah Onrust. Tanpa narasi sejarah kolonial berbumbu legenda Maria, pulau ini tak menyisakan tampilan visual yang menarik. Usang, porak poranda, sama sekali tak tampak terawat. Berbagai macam sampah plastik, pakaian dalam perempuan, hingga pecahan keramik kuno berserakan di berbagai tempat.
Padahal, selama berabad-abad dahulu pulau ini menyimpan serangkaian kisah sejarah yang memesona, khususnya sejak masa VOC (1619) hingga pascakemerdekaan (1968). Sederet episode sejarah itu kini hanya menyisakan puing-puing. Di antaranya puing fondasi Benteng Martello (1656), kincir angin (1674) untuk penggergajian kayu, barak-barak haji (1911-1933), toilet, makam, hingga penampungan air bawah tanah, yang kini jadi sarang biawak.
Asep Kambali dari Komunitas Peduli Sejarah dan Budaya Indonesia Historia menuturkan, kehancuran bangunan itu diduga akibat serangan Inggris tahun 1803 dan 1806. Bangunan itu semakin rusak oleh gelombang tidal letusan Gunung Krakatau (1883) serta penjarahan material bangunan pada tahun 1968.
Tahun 1972 Pemerintah Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta Raya menjadikan empat pulau di Kepulauan Seribu, yakni Onrust (Pulau Kapal), Cipir (Kuiper), Kelor (Kerkhof), dan Bidadari (Purmerend), sebagai pulau yang dilindungi. Bahkan, sejak tahun 2002 keempatnya dijadikan Taman Arkeologi. Meski begitu, hingga kini pulau-pulau itu belum juga tampak dikelola dengan baik sekalipun media kerap meliputnya.
Hanya Pulau Bidadari yang lebih terawat karena campur tangan swasta, sedangkan ketiga pulau lainnya masih terus terancam abrasi. Pulau Onrust sendiri, yang semula seluas 12 hektar, kini tinggal 7,5 hektar. Tanggul-tanggul yang dibangun Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tahun 2003 sudah jebol.
Di Pulau Cipir, misalnya, tanggul yang jebol menampakkan isi tanggul yang ternyata hanya berupa karung-karung berisi pasir. Tumpukan karung itu hanya dilapisi beton bertulang yang tebalnya sekitar lima sentimeter.
Saat malam tiba, Onrust semakin sunyi. Tiadanya jaringan listrik dari PLN membuat segelintir penghuni Onrust mengandalkan tenaga listrik dari diesel dan lampu petromaks. Sulit mengharapkan Onrust menjadi tujuan wisata. Fasilitas standar seperti toilet umum yang layak saja tak ada. Air bersih pun sulit diperoleh.
Kalangan yang doyan berpetualang atau pencinta sejarah barulah sudi mampir dan menginap di Onrust. Mereka biasanya menginap di satu ruangan besar bekas kantor registrasi haji. Beberapa pengunjung bahkan menginap di bekas penjara Jepang atau berkemah.
Secara arkeologis, pulau ini pun belum sepenuhnya tereksplorasi. Padahal, di Onrust diduga juga tersimpan banyak ruang bawah tanah yang belum terungkap. "Makanya sayang sekali kalau ditelantarkan begini. Kalau tidak cepat diselamatkan, bisa-bisa puing pun tak akan tersisa lagi," ujar Asep.
Perkiraan Asep itu sangat mungkin benar. Terlebih, pengunjung kerap tak menaruh kepekaan terhadap benda-benda sejarah. Benteng Martello di Bidadari, yang masih lumayan utuh, belakangan diminati sebagai tempat pesta disko di areal terbuka (rave party). Malangnya, penyelenggara pesta dengan seenaknya menancapkan paku di benteng itu demi memasang perlengkapan pesta. Luka-luka bekas paku itu tampak di berbagai bagian benteng.
Saat pembangunan tanggul, para pekerja bahkan mengaduk semen di atas sisa fondasi bangunan kuno. Bekas adukan semen yang kini mengeras itu tentu saja mencederai situs sejarah tersebut. "Seharusnya pekerja diberi pengarahan. Jangan sampai merusak situs," kata Asep.
Kondisi serba terbengkalai semakin lengkap setelah menjenguk Museum Onrust di dekat dermaga. Koleksi sebagian foto- foto kuno yang menggambarkan kondisi pulau ratusan tahun lalu itu hanya tergeletak sembarangan di salah satu ruangan museum yang mirip gudang. Siapa pun tak sulit mengambil koleksi foto itu.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Aurora Tambunan mengakui pihaknya memang belum bisa maksimal mengelola pulau-pulau dari Taman Arkeologi itu. Itu semata karena kendala anggaran yang tipis. Aurora mengaku terpaksa menetapkan prioritas pada penyelamatan bangunan-bangunan kuno di Jakarta, yang mulai rapuh dan berpotensi membahayakan manusia. Selain itu, anggaran sekitar Rp 40 miliar tahun 2006 ini pun lebih dikonsentrasikan pada revitalisasi Kota Tua Jakarta. "Namun, kami masih sangat berharap suatu saat pulau- pulau itu mampu kami kelola lebih baik, apalagi jika ada pihak ketiga yang berminat. Sebenarnya, potensi di sana luar biasa menjanjikan," tuturnya.
Jakarta memang menyimpan beribu masalah yang terus antre untuk ditangani. Entah sampai kapan situs-situs sejarah itu mendapat giliran. Jangan sampai seluruh situs keburu pupus terenggut zaman. Dan, generasi mendatang hanya bisa sayup-sayup mendengar narasinya, yang mungkin akan dianggap dongeng....
(Sumber: Kompas, Senin, 9 Oktober 2006)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar