Views
PANGKAL PINANG, KOMPAS - Puluhan lokasi harta karun dari kapal yang karam di perairan Bangka Belitung diduga telah dijarah. Ketidakjelasan aturan mengenai benda muatan kapal tenggelam membuat para nelayan leluasa mengambil barang-barang yang berusia ratusan tahun itu dan memperjualbelikan di Pulau Bangka dan Belitung.
Menurut Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Babel, Yulistyo, Senin (2/10) di Pangkal Pinang, berdasarkan catatan sejarah dalam buku Ship Wracks and Sunken Treasure South East Asia, terdapat 45 kapal dagang dan perang yang tenggelam di Selat Gaspar, Selat Bangka, dan Selat Karimata. Namun, sebagian besar kapal itu belum diketahui koordinatnya.
Kapal-kapal itu tenggelam antara tahun 1555 sampai 1878 karena perompakan, cuaca, atau perang. Muatan berharga yang tersisa dari kapal-kapal itu antara lain, barang keramik dan barang dari logam lainnya. Keramik yang sempat diangkat oleh para nelayan lokal, antara lain berupa piring, guci, dan mangkuk buatan negeri China.
Keramik-keramik itu banyak ditemukan oleh nelayan yang kebetulan sedang menyelam di lokasi kapal tenggelam. Kemudian, keramik-keramik itu dijual kepada para kolektor lokal dengan harga sangat murah.
Yulistyo mengatakan, penemuan itu seharusnya dilaporkan kepada pemerintah agar dapat dicarikan perusahaan yang bersedia mengangkat. Hasil pengangkatan itu akan dibagi sebagian kepada nelayan yang menemukan.
Di Babel, kata Yulistyo, baru terdapat lima lokasi kapal tenggelam yang diduga menyimpan harta karun. Kelima lokasi itu sedang dieksplorasi oleh tiga perusahaan, untuk kemudian muatan yang bernilai ekonomi tinggi diangkat.
Nilai ekonomi muatan sebuah kapal yang karam diperkirakan mencapai miliaran rupiah. Bahkan, muatan sebuah kapal yang paling tua dapat dijual dengan nilai Rp 500 miliar.
Hasil penjualan harta karun dari kapal tenggelam itu, kata Yulistyo, akan dikontrol oleh Departemen Keuangan, dengan pembagian 50 persen untuk pemerintah dan 50 persen untuk perusahaan. Namun, formula itu masih belum diterima banyak pihak karena belum menampakkan persentase yang baku bagi pemerintah daerah dan masyarakat yang menemukan.
(Sumber: Kompas, Selasa, 3 Oktober 2006)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar