Views
Jakarta, Kompas - Pihak pengelola situs sejarah atau kawasan cagar budaya wajib melaporkan kepada polisi jika terjadi perusakan. Meski demikian, jika pengelola tidak melapor, polisi dapat langsung memproses perkara tersebut secara hukum tanpa menunggu pengaduan.
Hal itu diungkapkan oleh Kepala Divisi Humas Mabes Polri Inspektur Jenderal Abubakar Nataprawira, Senin (5/1). Seperti diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya, Pasal 9, 28, dan 29 mengamanatkan setiap orang wajib melaporkan peristiwa kerusakan atau hilangnya benda cagar budaya kepada pemerintah selambat-lambatnya 14 hari sejak diketahui rusak atau hilang. Jika tidak melapor, hal itu merupakan tindak pidana pelanggaran.
Sementara itu, pada Pasal 26 disebutkan, ”barangsiapa dengan sengaja merusak benda cagar budaya dan situs serta lingkungannya atau membawa, memindahkan, mengambil, mengubah bentuk atau warna, memugar, atau memisahkan benda cagar budaya tanpa izin pemerintah bisa dipidana penjara selama-lamanya 10 tahun atau denda setinggi-tingginya Rp 100 juta.”
Suparto Wijoyo, pengamat budaya dan lingkungan dari Universitas Airlangga, Surabaya, menegaskan hal yang sama tentang penyidikan polisi.
Ironisnya, kata mantan Ketua Ikatan Arsitek Indonesia DKI Jakarta Bambang Eryudhawan, ”Ini preseden buruk. Pemerintah yang mestinya menjaga dan melestarikan situs justru merusak.”
Kepala Kepolisian Daerah Jatim Inspektur Jenderal Herman Suryadi menegaskan, ”Sudah saya perintahkan Kepala Polres Mojokerto untuk menyelidiki dugaan tindak pidana di situs itu. Jika ada bukti cukup, akan kami hentikan pembangunannya.”
Sehari sebelumnya Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik menyatakan menghentikan sementara pembangunan Pusat Informasi Majapahit (PIM) di Trowulan.
Ketua Umum Dewan Kesenian Jakarta Marco Kusumawijaya mengatakan, semua bangunan dalam kompleks arkeologis harus dianggap sementara. Jika pembangunan PIM harus terus, Marco menyarankan direlokasi keluar kawasan situs atau desainnya diubah. Bangunan harus ringan, mudah dipindahkan.
Hal senada diungkapkan guru besar sejarah Universitas Padjadjaran, Bandung, Nina Lubis, dan Suparto Wijoyo. Menurut mereka, pembangunan harus dihentikan total dan bangunan direlokasi.
Lurah Trowulan Ali Shofuwan mengaku heran karena lokasi PIM berbeda dengan rencana awal, yaitu di luar kawasan situs. (SF/NAL/BAY/CHE/ DEE/INA/INK/NDY)
(Kompas, Rabu, 7 Januari 2009)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar