Pengumuman

Bila tulisan yang Anda cari tidak ada di blog ini, silakan kunjungi hurahura.wordpress.com

Selasa, 17 Maret 2009

Situs Megalitik di Pagaralam dan Lahat

Views


Oleh: Ilham Khoiri dan Agus Mulyadi


Pemandangan alam yang indah adalah milik Kota Pagaralam, Sumatera Selatan. Bersama daerah tetangganya, Kabupaten Lahat, Pagaralam juga kaya dengan tempat-tempat bersejarah.

Kedua daerah itu memiliki puluhan situs, bahkan dari peninggalan zaman megalitik atau zaman batu dari abad pertama Masehi. Suguhan peninggalan bebatuan unik sekaligus bernilai sejarah tinggi dapat ditemui di sejumlah lokasi.

Dari puluhan situs megalitik di Lahat dan Pagaralam ada beberapa situs yang mudah dikunjungi, seperti situs Tinggi Hari, Tegur Wangi, dan Tanjung Aro. Kompleks situs Tinggi Hari memiliki tiga situs yang berjejer di Desa Tinggi Hari, Kecamatan Pulau Pinang, Kabupaten Lahat.

Situs Tegur Wangi berada di Kelurahan Tegur Wangi, Kecamatan Dempo Utara, Pagaralam, sedangkan situs Tanjung Aro terletak di Kelurahan Puripan Babas, Kecamatan Pagaralam Utara.

Kompleks situs Tinggi Hari lebih mudah dijangkau karena pengemudi kendaraan bermotor hanya perlu masuk sekitar tiga kilometer menuju Desa Tinggi Hari dari jalan antara Lahat dan Pagaralam. Di desa itu terdapat tiga situs megalitik.

Jarak antarsitus dari ketiga situs hanya sekitar satu kilometer, dan semuanya berada di lereng hutan lindung Pegunungan Bukit Barisan, yang sebagian telah dibuka menjadi areal kebun kopi.

Situs Tinggi Hari I memiliki sejumlah peninggalan batu megalitik. Salah satunya, menhir atau batu tegak setinggi lebih kurang tiga meter. Permukaan menhir berukiran manusia yang tengah memanggul tokoh lain di pundak. Di antara dua gambar manusia itu ada pahatan menyerupai buaya yang merayap ke atas.

Tak jauh dari situ, terdapat arca manusia posisi duduk agak membungkuk dengan kepala yang tanggal karena keropos. Leher tanpa kepala itu mengenakan kalung besar, menyerupai logam, yang dibentuk bulat-bulat dan dirajut dengan tali.

Ada pula patung arca yang menyerupai babi hutan yang besar dan panjang, dalam posisi tertelungkup di tanah dengan moncong yang runcing. Di situ juga terdapat batu datar yang dihamparkan di atas tanah tinggi dan disangga batu-batu kecil.

Situs Tinggi Hari II memiliki arca manusia yang besar dengan penggambaran cukup lengkap. Arca ini memiliki payudara dan perut yang besar dengan kalung besar yang melingkar di leher. Di sekitar arca bertebaran batu-batu berbagai bentuk, salah satunya menyerupai lumpang batu. Di permukaan lumpang batu yang datar, ada lubang yang diperkirakan untuk menumbuk sesuatu.

Peninggalan Tinggi Hari III lebih unik lagi. Ada dua arca manusia duduk yang besar digambarkan cukup realistis. Pengunjung dapat mencermati adanya bentuk dagu, dada, mata, kepala, perut, kuping, atau hidung yang besar. Ada kalung di leher, sedangkan kakinya menggunakan gelang kaki. Kepala patung yang besar dengan posisi mendongak ke atas menggunakan penutup dan pengikat kepala.

Salah satu patung besar itu, yang biasa disebut patung Iman, digambarkan sedang memeluk seekor gajah. Semua arca manusia itu ditampilkan dengan bentuk yang perkasa, tambun, dan besar. Penampilan semacam itu mencerminkan keagungan tokoh yang dipahat pada zaman tersebut.

Situs Tinggi Hari III juga memiliki batu tegak kecil yang menyerupai phallus, atau alat kelamin laki-laki, di depan dua arca itu. Namun, batu tegak kecil tersebut agak tersembunyi karena dikerumuni semak belukar dan lalang tinggi.

Situs Tegur Wangi juga mudah dikunjungi karena berada di areal sawah penduduk yang terbuka di pinggir jalan antara Pagaralam dan Tanjung Sakti. Kompleks situs ini memiliki peninggalan zaman megalitik yang cukup lengkap. Ada patung empat manusia, rumah kubur batu dengan lukisan dinding, batu-batu bekas hunian, dan dolmen yang disangga batu-batu kecil, serta arca binatang.

Empat patung manusia itu unik dan ditata berjajar, dengan kepala besar yang plontos. Masing-masing arca sedang duduk dengan tangan bersendekap dan kepala agak menunduk. Patung manusia itu mempunyai mata yang besar dan melotot, telinga lebar, hidung pesek, dan mulut tebal.

Satu rumah batu, yang menempel di dinding bukit kecil di dekat sungai, ditemukan di belakang arca empat manusia. Rumah kuno itu dibuat dari papan-papan batu yang tebal yang dijadikan dinding, dan ditutup papan batu lain di bagian atas. Di bagian depan, rumah itu ditutup dengan papan batu yang lebih kecil.

Rumah batu lain terdapat di depan arca empat manusia. Rumah tersebut menjorok ke dalam tanah dengan pintu batu berundak ke bawah. Sejumlah peneliti menemukan beberapa lukisan manusia dan binatang yang ditorehkan di permukaan dinding papan batu.

Di areal sawah itu ada sejumlah batu berserakan. Beberapa batu seakan disusun pada titik-titik empat persegi panjang sehingga beberapa peneliti menduga, susunan itu mencerminkan adanya bekas tiang untuk membangun rumah hunian. Satu batu dolmen ditemukan tak jauh dari situ. Dolmen berbentuk batu lempengan yang disangga batu-batu lebih kecil, yang diperkirakan untuk tempat sesaji atau pemujaan.

Situs Tanjung Aro juga menarik perhatian banyak peneliti dan wisatawan. Situs ini memiliki berbagai peninggalan batu tua yang tersebar di persawahan dan perumahan penduduk.

Salah satunya, kumpulan batu yang berada di tengah pekarangan rumah penduduk membentuk semacam rumah batu yang disusun dari lempengan papan-papan batu. Lempengen disusun menyerupai gua dengan dua ruang seluas sekitar 1,5 meter persegi. Dinding dalam gua penuh dengan torehan gambar, seperti gambar telapak manusia, atau coretan abstrak.

Di samping rumah batu, terdapat batu besar berbentuk persegi dengan permukaan datar. Di tengah persawahan, terdapat satu batu besar yang dipahat menyerupai dua manusia yang dibelit ular. Puluhan batu besar lain yang diperkirakan berasal dari zaman batu masih teronggok di sekitar areal persawahan.


Zaman megalitik

Di luar ketiga kompleks situs tersebut masih banyak situs megalitik lain yang tersebar di Lahat dan Pagaralam, antara lain di Pulau Pinang, Nanding, Belumai, Kotaraya Lembak, Muaradua, Muara Tebu, Lubuk Buntak, Air Puar, Mingkil, dan Muara Tebu. Masing-masing situs memiliki peninggalan batu yang unik yang menantang kajian ilmiah lebih lanjut.

Peminat arkeologi zaman batu bakal dimanjakan dengan menelusuri sebaran situs megalitik yang diperkirakan mencapai sekitar 80 kilometer persegi itu.

Situs-situs tersebut berbentuk menhir atau batu tegak untuk pemujaan arwah, arca megalitik manusia atau binatang, kamar batu untuk tempat tinggal atau pemakaman, serta dolmen batu datar yang disangga batu-batu kecil. Ada juga lumpang batu dengan permukaan berlubang untuk menumbuk, batu datar untuk pemujaan, serta lukisan dinding batu.

Sebaran situs itu biasa disebut situs megalitik dataran tinggi Pasemah, yang berada di lereng, kaki, atau lembah Bukit Barisan. Sebagian situs itu ditemukan pada zaman Belanda, tetapi ada juga yang baru ditemukan oleh peneliti Indonesia, sekitar tahun 1980-an.

Bebatuan yang menjadi bahan pahatan zaman batu diperkirakan berasal dari batuan beku andesit dan breksi vulkanik, yang sebagian berasal dari letusan Gunung Dempo yang berada di Pagaralam. Peninggalan bersejarah tersebut sejak lama sudah menarik perhatian peneliti asing, terutama dari Belanda, seperti Steinmetz, Ullman, Tombrink, Van der Hoop, de Bie, dan HW Vonk.

Salah satu peneliti, Van der Hoop, pada tahun 1932 menyimpulkan, peninggalan itu berasal dari kebudayaan zaman megalitik. Namun, sebagian patung batu memiliki ciri yang terpengaruh budaya Dongson dari Vietnam, sebagaimana tampak dari hiasan nakara dan belati tipe Dongson.

Menurut peneliti dari Balai Arkeologi Palembang, Retno Purwanti, situs zaman megalitik di kawasan Pasemah menggambarkan adanya peradaban tinggi di kawasan tersebut sekitar abad pertama Masehi, jauh sebelum Kerajaan Sriwijaya yang tumbuh pada abad ke-tujuh Masehi.

Kebudayaan zaman batu itu sudah mengenal sistem religi, tingkatan sosial, pemerintahan lokal, dan pola pertanian yang baik sehingga kawasan tersebut surplus pangan.

Batu-batu peninggalan menggambarkan kepercayaan akan kekuatan gaib alam, binatang, roh lelulur, dan sosok nenek moyang. Dolmen atau batu datar menyerupai meja di Tinggi Hari dan Tegur Wangi diperkirakan merupakan altar persembahan.

Sejumlah arca batu berbentuk manusia atau hewan adalah wujud penghormatan kepada leluhur. Arca menhir yang berbentuk bulat tinggi di Tinggi Hari melambangkan penghormatan kepada nenek moyang.

Selain bernilai sejarah dan budaya, patung-patung batu di kawasan Pasemah itu juga memiliki estetika seni yang tinggi. Hal tersebut bisa dilihat dari pilihan komposisi, volume patung, sudut penggambaran, teknik pahatan, dan hiasan. Secara umum, patung-patung batu itu memberikan kesan megah, agung, dan monumental.

Sebagian bentuk patung keluar dari pakem peninggalan megalitik yang statis sehingga terasa lebih ekspresif dan dinamis. Kreativitas pribadi pematung tampak diberi keleluasaan untuk tampil. Peneliti Von Heine Gelden pada tahun 1945 menyebut patung-patung itu sebagai "strongly dynamic agitated".

Tak pelak lagi, peninggalan batu itu dibuat oleh tangan-tangan terampil, berteknologi pahatan cukup maju, dan dilakukan dengan sistem gotong royong dalam masyarakat yang memiliki struktur teratur.


Telantar

Sayangnya, kondisi sebagian situs zaman batu tersebut kini memprihatinkan akibat kurang pemeliharaan. Beberapa peninggalan budaya sudah keropos karena dibiarkan ditimpa terik dan hujan, dan sebagian lagi dirusak tangan-tangan jahil.

Saat Kompas mengunjungi situs Tegur Wangi dan Tinggi Hari, akhir Agustus lalu, sebagian besar dari batu-batu peninggalan bersejarah di semua situs tersebut rusak akibat keropos, dicorat-coret tangan jahil, atau dibiarkan terbengkalai di tengah semak belukar. Tidak tampak ada juru pelihara yang berjaga dan tidak ada keterangan tentang artefak itu.

Empat patung manusia di situs Tegur Wangi, misalnya, sudah pecah-pecah dan keropos. Meski dilindungi rumah cungkup, patung batu tersebut tampak dicorat-coret oleh tangan usil pengunjung. Dua rumah batu yang unik di kawasan pertanian itu pun dikotori tulisan dari cat warna hitam dan putih. Ruang dalam salah satu rumah batu dipenuhi air berlumpur. Bahkan pada tahun 1987 kubur batu tersebut sempat digali oleh pencuri harta karun.

Kondisi tiga situs di Tinggi Hari juga telantar. Satu menhir atau batu bulat panjang di Tinggi Hari III, misalnya, dibiarkan terbengkalai di antara alang-alang liar yang tumbuh tinggi. Beberapa patung batu di situs Tinggi Hari II keropos akibat ditimpa hujan dan terik di tengah kebun. Bangunan rumah penjaga di Tinggi Hari I sudah rusak parah dan tidak dihuni lagi.

Kawasan itu dipenuhi alang-alang yang tumbuh liar dan sebagian semak belukar tampak habis terbakar.

Retno Purwanti menyayangkan kondisi situs-situs megalitik yang memprihatinkan tersebut. Jika dibiarkan telantar, peninggalan bersejarah itu tentunya bisa semakin rusak, bahkan hilang dicuri orang.

(Sumber: Kompas, Senin, 16 Oktober 2006)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BUKU-BUKU JURNALISTIK


Kontak Saya

NAMA ANDA :
EMAIL ANDA :
PERIHAL :
PESAN :
MASUKKAN KODE BERIKUT :