Pengumuman

Bila tulisan yang Anda cari tidak ada di blog ini, silakan kunjungi hurahura.wordpress.com

Sabtu, 21 Maret 2009

Soal Posisi Kebudayaan dalam Organisasi Pemerintahan

Views


Oleh: Nunus Supardi

KETIKA sektor kebudayaan yang telah 55 tahun damai bersatu dengan sektor pendidikan dipindahkan guna bergabung dengan pariwisata menjadi Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (2000), salah satu rujukannya adalah susunan kabinet di Malaysia. Di sana keduanya disatukan dalam Kementerian Kebudayaan, Kesenian, dan Pelancongan.

RUJUKAN itu sekarang berubah. Dalam susunan kabinet Malaysia yang baru (27/3/04), kebudayaan dan kesenian dipisahkan dari pelancongan atau pariwisata menjadi Kementerian Kebudayaan, Kesenian, dan Warisan dipimpin oleh Datuk Rais Yatim, sementara Kementerian Pelancongan diterajui oleh Datuk Leo Michel Toyad.

Pemisahan itu disebut sebagai era baru kebudayaan dan pelancongan serta disambut gembira oleh kalangan budayawan dan seniman Malaysia. Mereka berpendapat, kebudayaan mempunyai agenda yang sama sekali tidak selari (selaras?) dengan pelancongan yang menjual produk untuk tujuan komersial. "Apabila kebudayaan dan pelancongan yang kontradiksi ini berada dalam satu kementerian, yang kita lihat adalah pelancongan," demikian mereka menyimpulkan. Dengan pemisahan itu, menurut mereka, "pertindihan kebudayaan dan pelancongan telah berakhir".


Posisi kebudayaan

Dalam lima tahun terakhir, posisi kebudayaan dalam tata organisasi pemerintahan mengalami masa gonjang-ganjing. Dalam tempo sesingkat itu, di samping harus pindah rumah, juga mengalami empat kali "bongkar-pasang" organisasi. Ketidakstabilan itu mulai muncul sejak tahun 1998. Ketika itu, dibentuk Departemen Pariwisata, Seni, dan Budaya (Deparsenibud), sementara nama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan masih tetap ada. Ini berarti ada dua lembaga pemerintah yang menangani bidang yang sama. Agar misinya tidak tumpang tindih, disepakati Direktorat Jenderal Kebudayaan menangani hal-hal yang berkaitan dengan pembinaan, pengembangan, perlindungan, dan pemanfaatan kebudayaan (bagian hulu), sedangkan Deparsenibud menangani hal-hal yang berkaitan dengan pemanfaatan kebudayaan untuk pariwisata (bagian hilir). Meskipun demikian, tumpang tindih pengelolaan kebudayaan tidak terelakkan.

Belum ada satu tahun organisasi baru itu berjalan, terjadi perubahan lagi. Nama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan berubah menjadi Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Tugas pokoknya mengalami perubahan pula. Kata "kebudayaan" tidak tercantum lagi dalam uraian tugas pokok Depdiknas. Usaha mempertahankan agar posisi kebudayaan tetap bersatu dengan pendidikan berhasil. Presiden menyetujui dalam tugas pokok Depdiknas ditambahkan kata "termasuk kebudayaan" menjadi: "melaksanakan sebagian tugas pemerintahan dan pembangunan di bidang pendidikan, termasuk kebudayaan". Hanya berjalan beberapa bulan saja, upaya mempertahankan posisi itu akhirnya pupus. Bidang kebudayaan resmi pindah dari Depdiknas bergabung dengan pariwisata menjadi Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (Depbudpar).

Belum mencapai usia satu tahun, status Depbudpar berubah lagi menjadi Kementerian Negara Kebudayaan dan Pariwisata (Menneg Budpar). Perubahan status itu membawa konsekuensi tugas pokoknya menjadi terbatas pada penyusunan kebijakan saja. Lalu, siapa yang akan menangani pelaksanaan kebijakan di bidang kebudayaan? Untuk mengatasi hal itu dibentuklah Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata (BP Budpar). Nasib lembaga ini pun tidak terlalu baik. Karena adanya mosi tidak percaya dan sejumlah Asosiasi Industri Pariwisata terhadap kinerja BP Budpar, lembaga yang baru berusia 1,5 tahun itu pun dibubarkan. Pokok permasalahan kericuhan terletak pada pariwisata. Tetapi, sebagai konsekuensinya bidang kebudayaan harus ikut menanggung. Suatu realitas yang sangat tidak menguntungkan kinerja bidang kebudayaan.


Setelah penggabungan


Sejak awal masalah penggabungan, kebudayaan dan pariwisata telah banyak mendapatkan reaksi. Di samping misi antara keduanya berbeda, alasan penggabungan dinilai tidak transparan. Jika penggabungan itu didasarkan atas kemudahan dalam pemanfaatan kebudayaan bagi pariwisata, bukanlah yang dijadikan daya tarik wisatawan tidak hanya kebudayaan? Bukankah pusaka alam dan pusaka saujana (gabungan alam dan budaya dalam kesatuan ruang dan waktu) Indonesia memiliki daya tarik yang luar biasa?

Reaksi itu semakin memuncak ketika BP Budpar dibubarkan lalu digabungkan ke dalam Menneg Budpar. Langkah itu dinilai tidak menciptakan suasana kerja yang sejuk, tetapi sebaliknya. Sebagai sebuah kementerian negara yang tugasnya terbatas pada "penyusunan kebijakan", ternyata juga menampung tugas "pelaksanaan kebijakan". Di samping misinya yang rancu, nomenklatur satuan-satuan organisasi bidang kebudayaan juga membingungkan.

Salah satu perubahan nomenklatur yang mendapat sorotan adalah perubahan satuan organisasi Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslitarkenas) menjadi Asisten Deputi Arkeologi Nasional. Dalam rincian tugasnya yang baru tertulis "melaksanakan penyimpangan dan penyusunan kebijakan, pemantauan, analisis, hubungan kerja, evaluasi serta penyusunan laporan di bidang arkeologi nasional". Tidak tercantum tugas pelaksanaan kegiatan penelitian. Tugas baru itu dinilai tidak mencerminkan misinya yang amat penting, yaitu melakukan penelitian untuk mengungkap sejarah awal kehidupan manusia atau menyingkap misteri sangkan paraning dumadi, seperti yang dikatakan oleh Prof Dr Daoed Joesoef pada "Seminar Kebudayaan, Makna, dan Pengelolaannya", tanggal 15 Januari 2004. Di samping itu, nomenklatur deputi pun menimbulkan pertanyaan karena di samping terdapat Deputi Pelestarian dan Pengembangan Kebudayaan juga terdapat Deputi Sejarah dan Purbakala serta Deputi Seni dan Film. Bukankah sejarah dan purbakala serta seni dan film merupakan unsur dari kebudayaan?

Kondisi demikian itu menimbulkan keprihatinan sejumlah pemerhati kebudayaan. Sebagai salah satu bentuk keprihatinan itu, peserta Kongres Kebudayaan 2003 yang terdiri atas para budayawan, seniman, cendekiawan, pemangku adat, dan tokoh masyarakat kembali menyampaikan rekomendasi kepada pemerintah agar dalam kabinet yang akan datang dibentuk kementerian kebudayaan tersendiri. Usul itu memang bukan hal baru. Sebuah keinginan yang wajar dan tulus itu telah dilontarkan sejak 4,5 bulan setelah Indonesia merdeka. Dalam Musyawarah Kebudayaan tanggal 31 Desember 1945 di Sukabumi, para peserta sepakat menyampaikan desakan kepada pemerintah agar segera dibentuk kementerian kebudayaan. Meskipun usul tersebut telah dibahas dan disampaikan lagi pada Kongres Kebudayaan 1948, 1951, 1954, 1991, dan Kongres Kesenian 1995, hingga kini belum mendapatkan tanggapan.

Bentuk keprihatinan yang lain juga disampaikan 16 ahli arkeologi dan kebudayaan serta 8 wakil organisasi profesi di bidang kebudayaan dengan menyampaikan petisi kepada presiden pada pertengahan Desember 2003. Dalam petisi tersebut disampaikan dua permohonan. Pertama, agar pemerintah kembali mengaktifkan unit-unit organisasi pemerintah yang sebelum restrukturisasi telah menangani penelitian arkeologi pada khususnya dan kebudayaan pada umumnya. Kedua, agar pemerintah tidak menggabungkan urusan pembinaan kebudayaan dengan pengembangan pariwisata.


Kinilah saatnya

Secara diam-diam (tidak melalui kongres atau petisi) Malaysia telah mengambil langkah strategis, memisahkan kebudayaan dan pelancongan. Langkah ini menambah jumlah deretan "acungan jempol" bagi Negeri Jiran dalam keberanian dan kejelian membaca perkembangan. Tujuan pemisahan itu sangat cantik, yaitu untuk memartabatkan kebudayaan dengan memberi tanggung jawab kepada sebuah kementerian yang khusus memartabatkan peradaban bangsa dalam memasuki pergaulan global.

Bagaimana halnya dengan Indonesia? Masalah kebudayaan di Indonesia memiliki dimensi yang lebih kompleks dibandingkan dengan Malaysia. Indonesia yang terdiri atas hampir 500 suku bangsa memiliki agama, bahasa, dan budaya yang berbeda. Oleh karena itu, masalah yang dihadapi tidak hanya terkait dengan benda cagar budaya, kesenian, dan bahasa saja, tetapi juga masalah jati diri bangsa, persatuan bangsa, peradaban Indonesia, serta pengenalan kebudayaan di luar negeri sebagai salah satu upaya mengangkat derajat dan martabat kita sebagai bangsa. Untuk kesemuanya itu diperlukan perhatian yang khusus.

Kinilah saatnya untuk menempatkan posisi dan misi kebudayaan dalam sistem pemerintahan secara tepat. Meskipun dalam kampanye pemilu pertama tidak tampak calon presiden atau wakil presiden yang secara lugas menawarkan platform pembangunan kebudayaan, kinilah saatnya berani mengambil kebijakan membentuk organisasi kebudayaan tersendiri. Adapun bentuknya bisa departemen, kementerian, atau LPND. Siapa pun yang akan menjadi pemimpin bangsa.

Nunus Supardi, Mitra Purbakala/Pensiunan

(Kompas, Senin, 19 April 2004)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BUKU-BUKU JURNALISTIK


Kontak Saya

NAMA ANDA :
EMAIL ANDA :
PERIHAL :
PESAN :
MASUKKAN KODE BERIKUT :