Pengumuman

Bila tulisan yang Anda cari tidak ada di blog ini, silakan kunjungi hurahura.wordpress.com

Selasa, 17 Maret 2009

Vila Meester yang Jadi Tempat "Ngaso" PKL

Views


Oleh: Mulyawan Karim

Suatu siang, beberapa waktu lalu, saat matahari Jakarta sedang mencorong, beberapa laki-laki berbaju lusuh tampak duduk-duduk di lantai teras depan gedung bekas Markas Komando Distrik Militer (Kodim) 0505 Jakarta Timur. Beralas koran bekas, salah seorang di antara mereka tertidur pulas di lantai yang penuh debu itu.

"Mereka bukan tunawisma, tetapi pedagang kaki lima yang berjualan di sekitar sini," kata Rahmat, penjaga gedung tua di Jalan Raya Bekasi Timur itu, tak jauh dari Stasiun Kereta Api Jatinegara. "Tiap siang mereka biasa menumpang mengaso," lanjut Rahmat (52), warga Jatinegara yang berada di sana atas permintaan seorang pejabat di kantor Wali Kota Jakarta Timur.

Dari luar, gedung peninggalan zaman Belanda itu masih tampak megah. Delapan pasang tiang semen bulat penyangga atap teras semua masih utuh. Dinding-dindingnya yang tebal semua juga masih kokoh. Demikian pula dinding dua bangunan paviliun yang berada di kiri kanannya.

Namun, bangunan yang bak istana kecil itu tak terawat. Dinding-dinding putihnya kusam karena lama tak dilabur. Di beberapa tempat, lapisan temboknya mengelupas. Daun-daun pintu dan jendelanya banyak yang rusak dan nyaris lepas.

Di sana-sini, eternit langit-langitnya banyak yang pecah diguyur hujan akibat genteng yang bocor. "Kalau hujan besar, ruang-ruang di dalam semua tergenang air," kata Rahmat. Ia menambahkan, kebocoran paling parah ada di bagian belakang.

Kondisi bangunan antik itu kian memprihatinkan sejak ditinggal segenap jajaran Kodim 0505, yang pindah ke markas mereka yang baru di kawasan Sentra Primer Timur, Penggilingan, Jakarta Timur, beberapa tahun lalu. Markas baru itu dibangun Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, sesuai kesepakatan tukar guling yang dilakukan untuk mengambil alih kembali penguasaan atas bangunan itu.


Rumah Bupati Meester

Menurut Kepala Subdinas Pengawasan Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI Jakarta, Candrian Attahiyat, data sejarah tentang gedung di Jalan Raya Bekasi Timur Nomor 76 itu sangat terbatas. Candrian yang arkeolog hanya bisa bilang, gedung berasal dari abad ke-19 Masehi.

Dalam buku Historical Sites of Jakarta (1982), sejarawan Adolf Heuken hanya menyebut, gedung itu pernah dipakai sebagai benteng pertahanan saat terjadi pertempuran hebat antara pasukan Inggris dan Belanda pada Februari 1811. Di zaman revolusi, gedung yang berbentuk melebar ke samping itu pernah juga dijadikan markas para pejuang kemerdekaan Indonesia.

Sumber sejarah lain menyebutkan, antara tahun 1937 dan 1942, gedung yang bergaya arsitektur klasik campuran itu adalah rumah mewah atau vila yang dipakai sebagai tempat tinggal Bupati Meester Cornelis, daerah yang kini bernama Jatinegara.

Nama Meester Cornelis berasal dari Meester Cornelis Senen, orang kaya asal Pulau Lontor di Banda, Maluku, yang pada abad ke-17 diberi hak oleh Belanda untuk merambah dan mengelola hutan jati di tepi Sungai Ciliwung, 15-20 kilometer sebelah timur Batavia (Jakarta Kota sekarang). Tanah hutan jati yang luas itulah yang kemudian disebut Meester Cornelis.

Boleh jadi, pada akhir masa kolonial sampai awal zaman kemerdekaan gedung itu juga dijadikan kantor pemerintah Kotapraja Meester Cornelis, yang wilayahnya mencakup Kabupaten Bekasi sekarang.

"Waktu saya kecil, tahun 1950-an, orang masih menyebutnya Gedung Kotapraja," kata Syahroni, warga Gang Padang, di perkampungan persis di belakang gedung tua itu.

"Di sana, dulu, saya sering lihat petugas pemerintah merazia para pengendara sepeda untuk memeriksa peningnya. Mereka juga suka mengumpulkan timbangan yang dipakai para pedagang di pasar untuk diperiksa," kata Syahroni (60-an tahun).


Akan dipugar

Setelah penjajah Belanda benar-benar hengkang dari Nusantara pada 1950, gedung itu dikuasai pemerintah kota Jakarta. Entah bagaimana ceritanya, gedung antik itu lalu dipakai sebagai Markas Kodim 0505.

"Kami akan segera memugarnya," kata Kepala Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI Aurora Tambunan. Namun, Aurora belum tahu berapa biaya pemugaran yang diperlukan.

Sementara rencana pemugaran masih samar-samar, gedung seluas sekitar 3.000 meter persegi itu kondisinya terus memburuk dan mengkhawatirkan.

Sambil menanti cairnya dana pemugaran, satu langkah yang perlu diambil Dinas Kebudayaan dan Permuseuman adalah meningkatkan pengamanan dengan menutup total lokasi gedung berumur dua abad itu. Dengan begitu, gedung itu tidak bisa lagi dimasuki orang-orang yang tak berkepentingan, termasuk tunawisma dan PKL, yang dengan sengaja atau tidak bisa ikut memperburuk kondisinya.

(Sumber: Kompas, Selasa, 24 April 2007)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BUKU-BUKU JURNALISTIK


Kontak Saya

NAMA ANDA :
EMAIL ANDA :
PERIHAL :
PESAN :
MASUKKAN KODE BERIKUT :