Views
Warga Condet Mengeluh Kesulitan Membangun atau Menjual Tanahnya
Jakarta, Kompas - Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta bernomor D.IV-115/e/3/1974 yang menetapkan Condet di Jakarta Timur sebagai kawasan cagar budaya dinilai membelenggu hak warga atas kepemilikan tanah. Warga dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI setuju SK gubernur maupun peraturan lainnya yang mengatur kawasan cagar budaya tersebut dicabut.
Usulan mencabut SK Gubernur tentang Cagar Budaya Condet dan peraturan lainnya dikatakan anggota Komisi A DPRD DKI, Marthin Makatita. Usulan itu juga didukung Lurah Balekambang, Mulyadi.
"Saya dan warga Balekambang setuju surat keputusan dan aturan lainnya itu dicabut supaya kami tidak diombang-ambingkan dan dibelenggu," ujar Mulyadi, Sabtu (1/4).
Kawasan Condet sebagai cagar budaya ditetapkan dalam SK Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin bernomor D.IV-115/e/3/1974. SK tersebut dikeluarkan untuk menguatkan kawasan seluas 18.228 hektar, meliputi Kelurahan Batuampar, Balekambang, dan Kampungtengah, sebagai kawasan dengan pengembangan terbatas.
Sejak itu, Condet juga dipertahankan sebagai daerah penghasil buah-buahan. Pada tahun 1979, kawasan tersebut dinyatakan sebagai cagar budaya Condet.
Tahun 1986, kawasan hijau itu sempat dinyatakan status quo oleh pemerintah daerah DKI, yang sekaligus melarang mutasi tanah, tanaman, maupun tata guna tanah di kawasan Condet. Di atas tanah warga antara lain tumbuh pohon buah duku dan salak. Ada juga rumah asli Betawi dan kera asli Betawi.
Namun, dalam perkembangannya, cagar budaya Condet telah gagal. Sebab, kenyataan di lapangan, banyak bangunan rumah bermunculan tanpa izin dan tidak memenuhi ketentuan koefisien dasar bangunan rendah yang ditetapkan, yakni 20 persen.
Atas kegagalan itu, Pemerintah Provinsi DKI kemudian menetapkan kawasan di sekitar Situ Babakan, Srengseng, Jakarta Selatan, sebagai cagar budaya. Penetapan cagar budaya di Srengseng itulah yang antara lain mendorong warga mengajukan pencabutan cagar budaya Condet.
Tidak bisa optimal
Belum dicabutnya dasar hukum kawasan itu mengakibatkan lahan di sana tidak bisa dimanfaatkan secara optimal oleh pemiliknya. Warga juga tidak boleh sembarangan membangun atau mendirikan rumah karena terkait dengan aturan-aturan sebagai kawasan cagar budaya.
Makatita, yang juga Bendahara Fraksi Partai Golkar, mengatakan, masyarakat Betawi asli yang berada di kawasan itu tidak memperoleh keuntungan sedikit pun dari penetapan Condet sebagai cagar budaya.
Menurut dia, kebijakan cagar budaya untuk Condet itu sama sekali tidak memperhitungkan keberadaan warganya, yang juga perlu hidup dan bermata pencaharian sebagaimana layaknya warga Jakarta lain.
"Untuk membangun saja tidak bisa. Mau dijual pun nilainya rendah," ucap Makatita. (PIN)
(Kompas, Minggu, 2 April 2006)
Jakarta, Kompas - Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta bernomor D.IV-115/e/3/1974 yang menetapkan Condet di Jakarta Timur sebagai kawasan cagar budaya dinilai membelenggu hak warga atas kepemilikan tanah. Warga dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI setuju SK gubernur maupun peraturan lainnya yang mengatur kawasan cagar budaya tersebut dicabut.
Usulan mencabut SK Gubernur tentang Cagar Budaya Condet dan peraturan lainnya dikatakan anggota Komisi A DPRD DKI, Marthin Makatita. Usulan itu juga didukung Lurah Balekambang, Mulyadi.
"Saya dan warga Balekambang setuju surat keputusan dan aturan lainnya itu dicabut supaya kami tidak diombang-ambingkan dan dibelenggu," ujar Mulyadi, Sabtu (1/4).
Kawasan Condet sebagai cagar budaya ditetapkan dalam SK Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin bernomor D.IV-115/e/3/1974. SK tersebut dikeluarkan untuk menguatkan kawasan seluas 18.228 hektar, meliputi Kelurahan Batuampar, Balekambang, dan Kampungtengah, sebagai kawasan dengan pengembangan terbatas.
Sejak itu, Condet juga dipertahankan sebagai daerah penghasil buah-buahan. Pada tahun 1979, kawasan tersebut dinyatakan sebagai cagar budaya Condet.
Tahun 1986, kawasan hijau itu sempat dinyatakan status quo oleh pemerintah daerah DKI, yang sekaligus melarang mutasi tanah, tanaman, maupun tata guna tanah di kawasan Condet. Di atas tanah warga antara lain tumbuh pohon buah duku dan salak. Ada juga rumah asli Betawi dan kera asli Betawi.
Namun, dalam perkembangannya, cagar budaya Condet telah gagal. Sebab, kenyataan di lapangan, banyak bangunan rumah bermunculan tanpa izin dan tidak memenuhi ketentuan koefisien dasar bangunan rendah yang ditetapkan, yakni 20 persen.
Atas kegagalan itu, Pemerintah Provinsi DKI kemudian menetapkan kawasan di sekitar Situ Babakan, Srengseng, Jakarta Selatan, sebagai cagar budaya. Penetapan cagar budaya di Srengseng itulah yang antara lain mendorong warga mengajukan pencabutan cagar budaya Condet.
Tidak bisa optimal
Belum dicabutnya dasar hukum kawasan itu mengakibatkan lahan di sana tidak bisa dimanfaatkan secara optimal oleh pemiliknya. Warga juga tidak boleh sembarangan membangun atau mendirikan rumah karena terkait dengan aturan-aturan sebagai kawasan cagar budaya.
Makatita, yang juga Bendahara Fraksi Partai Golkar, mengatakan, masyarakat Betawi asli yang berada di kawasan itu tidak memperoleh keuntungan sedikit pun dari penetapan Condet sebagai cagar budaya.
Menurut dia, kebijakan cagar budaya untuk Condet itu sama sekali tidak memperhitungkan keberadaan warganya, yang juga perlu hidup dan bermata pencaharian sebagaimana layaknya warga Jakarta lain.
"Untuk membangun saja tidak bisa. Mau dijual pun nilainya rendah," ucap Makatita. (PIN)
(Kompas, Minggu, 2 April 2006)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar