Pengumuman

Bila tulisan yang Anda cari tidak ada di blog ini, silakan kunjungi hurahura.wordpress.com

Kamis, 13 Agustus 2009

Gajah-gajah Basemah

Views


Oleh: Nurhadi Rangkuti


Langkah kaki Basri (46) diikuti oleh para arkeolog menembus rimbunnya daun dan buah kopi yang tak lama lagi panen. Tidak jauh dari danau kecil yang indah, Basri berhenti. Di tempat itu teronggok empat batu besar yang membentuk denah segi empat.

Di tengah batu-batu itu dulu batu gajah berada,” kata Basri, pemilik lahan situs di Desa Kota Raya Darat, Kecamatan Pajar Bulan, Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan.

Tim dari Balai Arkeologi Palembang tengah menelusuri lokasi semula batu gajah yang kini disimpan di Museum Balaputradewa di Palembang. Basri menunjuk titik pada posisi 103° 15’ 52.2” Bujur Timur dan 4° 20’ 39.11” Lintang Selatan. Batu gajah, arca megalitik dari dataran tinggi Basemah—orang luar mengenalnya dengan sebutan Pasemah—itu menjadi terkenal di dunia setelah Van Der Hoop (1932) memublikasikan kekayaan tinggalan megalitik di Sumatera Selatan dalam bukunya, Megalithic Remains in South-Sumatra. Van der Hoop memberi informasi bahwa lokasi batu gajah terletak dekat danau kecil, namanya Tebat Kotoraya.

Batu gajah dipahat pada sebuah balok batu berbentuk telur. Pada kedua sisi batu terukir sosok seorang prajurit. Pada satu sisi digambarkan seorang prajurit sedang menggapit seekor gajah.

Tokoh itu mengenakan tutup kepala macam ketopong, telinganya mengenakan semacam anting dan mengenakan juga kalung leher. Kakinya mengenakan gelang kaki yang diduga berbahan logam. Di punggungnya terpahat sebentuk nekara. Wajahnya berbibir tebal, hidung pesek dan pendek, mata lonjong dan badannya terkesan bungkuk. Di pinggangnya terdapat senjata tajam.

Van der Hoop mengukur panjang batu, mulai dari ujung belalai sampai ke ekor gajah, sekitar 2,17 meter. Di balik relief gajah ini, ada pula bentuk seekor babi bertaring panjang dengan dua tokoh manusia (Kompas, 10 Maret 2009).


Gajah dataran tinggi


Batu gajah yang kesepian di Palembang itu bukan satu-satunya karya para puyang (leluhur) masyarakat Besemah yang hidup di dataran tinggi sekitar lereng kaki Gunung Dempo, Bukit Barisan, dan Pegunungan Gumai. Anak-anaknya yang lain dapat dijumpai di situs Gunung Megang (Kecamatan Jarai, Kabupaten Lahat), situs Pulau Panggung (Kecamatan Pajar Bulan) dan Situs Tegurwangi (Pagar Alam). Gajah dan manusia digambarkan dalam berbagai bentuk dan posisi yang saling berhubungan.

Lihat saja arca batu gajah dari Gunung Megang yang teronggok di tengah ladang. Kali ini sang gajah digambarkan tengah telentang diduduki seorang pria berwajah lebar dan berdagu keras. Pria perkasa ini menyandang pedang di belakang. Kedua tangannya menarik belalai gajah sekuat-kuatnya ke atas, mengesankan ia berhasil menaklukan mamalia darat terbesar itu.

Sepotong batu gajah lagi kini teronggok di halaman Museum Juang, Pagaralam. Batu gajah setinggi 90 cm ini menggambarkan orang yang menunggang gajah. Mata gajah digambar besar. Penunggang gajah itu juga menyandang pedang di belakang. Tangan kiri memegang telinga, sedangkan tangan kanan memegang bagian lain. Kepala orang sudah patah, seperti kondisi yang dilihat oleh Van der Hoop tahun 1930-1931 dan, menurut dia, batu gajah ini berasal dari Gunung Megang.

Arca batu gajah di situs Pulau Panggung menggambarkan seorang wanita menunggang gajah sambil menggendong dua anaknya di belakang dengan menggunakan kain. Tangan kanan memegang kepala gajah dan tangan kiri memegang pipi gajah. Hewan itu digambarkan dengan jelas pada bagian kepala, gading dan belalai, sedangkan bagian badan dan belakang tidak jelas karena tertutup oleh sosok wanita yang menungganginya.

Empat arca wanita dengan membawa sebentuk wadah di punggungnya terdapat di situs Tegurwangi di Pagar Alam. Tampaknya, keempat wanita itu menunggang gajah. Salah satunya jelas terlihat gajah yang digambarkan sebatas pangkal belalainya, dengan mata yang besar.

”Zaman dulu biasa dijumpai gajah berkeliaran di dataran tinggi Basemah,” ujar Asmani Muis (61), mantan juru pelihara situs Kota Raya. Namun, katanya lebih lanjut, saat ini sudah tidak dijumpai lagi gajah di daerah ini.

”Sekitar 25 tahun yang lalu, seekor gajah liar dari hutan masuk kampung di Tanjung Payang, Kecamatan Pagar Alam Utara. Penduduk menangkap dan membunuhnya,” ujar Kasim (62), seorang budayawan Basemah. Itulah memori terakhir masyarakat melihat gajah liar di lingkungannya.

Gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) merupakan subspesies gajah asia (Elephas maximus) dan jenis gajah yang terkecil di Asia. Gajah sumatera dapat hidup pada habitat yang berbeda-beda, seperti di hutan rawa, hutan rawa gambut, dan hutan dataran rendah.

Gajah sumatera juga dapat hidup pada hutan hujan pegunungan rendah pada ketinggian 750-1.500 meter di atas permukaan laut, seperti di dataran tinggi Basemah. Di Sumatera Selatan, gajah banyak ditemukan di hutan rawa dan gambut, seperti di Air Sugihan dan daerah pantai timur Sumatera.

Memang sulit melacak gajah hidup di dataran tinggi Basemah sekarang. Namun, sejumlah gajah batu yang digambarkan secara nyata dan tampak hidup jelas menunjukkan sang seniman megalitik telah akrab dengan wujud hewan tambun itu. Wujud yang sering dilihat sang seniman di lingkungannya, bahkan pada masa itu gajah telah didomestikasi, ditilik dari penggambaran manusia memanfaatkan gajah sebagai alat transportasi.

”Batu-batu besar macam dolmen, batu tegak, dan batu datar tentunya dapat dipindahkan ke tempat yang dipilih karena nenek moyang menggunakan gajah sebagai alat transportasi,” kata Kasim.


Pasukan gajah


Akhirnya tim arkeologi memperoleh konteks batu gajah dari lokasi yang ditunjukkan Basri. Batu gajah itu berasosiasi dengan empat batu besar yang mengelilinginya. Van der Hoop menyebut konfigurasi batu semacam itu dengan istilah tetralit (tetraliths). Selain di dataran tinggi Basemah, peneliti zadul itu menjumpai tetralit pada situs-situs megalitik di wilayah Jawa Barat dan Jawa Timur.

Belum jelas benar fungsi tetralit itu bagi sebagian arkeolog. Ada yang menjelaskan batu-batu itu berfungsi sebagai umpak bangunan rumah bertiang kayu.

Boleh jadi tetralit dan batu gajah di situs Kota Raya secara kontekstual dapat ditafsirkan sebagai media pemujaan roh nenek moyang, seperti halnya arca menhir (batu tegak). Selain batu gajah, di situs itu terdapat sejumlah tetralit lainnya, dolmen, batu datar, rumah batu, lesung batu dan menhir.

Van der Hoop menafsirkan pahatan arca batu gajah di situs Kota Raya menggambarkan seorang prajurit menyandang nekara dan pedang akan pergi berperang dengan menunggang gajah (1932:158). Nekara ditafsirkan sebagai kettle-drum, lebih spesifik lagi: genderang perang! Artinya, nenek moyang mereka dulu ada yang menjadi prajurit pasukan gajah.

Spekulasi tentang prajurit pasukan gajah di dataran tinggi pernah menjadi diskusi yang ramai di dalam tim arkeologi. Apakah pasukan gajah itu berasal dari masa ribuan tahun yang lalu? Selama ini masih berlaku teori tentang megalitik tua dan megalitik muda yang disampaikan oleh sarjana Jerman, Von Heine Geldern, pada tahun 1945. Arca-arca batu gajah dan pahatan hewan lainnya, seperti kerbau, harimau, ular, kera, dan babi hutan, yang terdapat di dataran tinggi Basemah dikelompokkan dalam megalitik muda (2.500 tahun), sedangkan peninggalan menhir, dolmen, teras berundak masuk kelompok megalitik tua (4.500 tahun).

Apakah pasukan gajah itu berasal dari Dongson, Vietnam, ditilik dari bentuk nekara perunggu dan tipe pedang yang disandangnya? Tradisi megalitik Basemah tampaknya terus berlanjut sampai masa sejarah dan tumpang tindih dengan masa Sriwijaya. Kronologi situs-situs megalitik Basemah memang masih gelap. Sampai saat ini analisis pertanggalan mutlak (absolute dating) belum memadai diterapkan pada situs-situs megalitik Basemah, khususnya pada batu-batu gajah.

Tradisi megalitik Basemah yang terus berlanjut itu menimbulkan spekulasi dalam menafsirkan batu gajah. Ide liar pun bergulir: Kerajaan Sriwijaya memiliki prajurit pasukan gajah. Ini mengingat domestikasi gajah telah berlangsung lama di dataran tinggi Besemah sebelum munculnya Sriwijaya.

Kerajaan maritim itu pernah berpusat di Palembang pada akhir abad VII dan masih berlangsung keberadaannya di wilayah Sumatera Selatan hingga abad XIII. Jalur transportasi tradisional yang menghubungkan antara Palembang dan dataran tinggi Basemah adalah Sungai Musi dan Sungai Lematang.

”Bagi kami, gajah melambangkan kebesaran Jagat Basemah pada masa lalu. Gajah juga hewan yang bisa menolong manusia,” kata Kasim, memaknai batu gajah hasil karya para leluhurnya.

Nurhadi Rangkuti Kepala Arkeologi Palembang

(Kompas, Jumat, 12 Juni 2009)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BUKU-BUKU JURNALISTIK


Kontak Saya

NAMA ANDA :
EMAIL ANDA :
PERIHAL :
PESAN :
MASUKKAN KODE BERIKUT :