Pengumuman

Bila tulisan yang Anda cari tidak ada di blog ini, silakan kunjungi hurahura.wordpress.com

Minggu, 21 Maret 2010

PERMUKIMAN KUNO: Menunggu Upaya Pelestarian Situs Perkotaan Majapahit

Views


Oleh Nina Susilo dan Ingki Rinaldi

Situs permukiman kuno dari zaman Majapahit di Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, tidak bisa dibantah. Terlalu banyak peninggalan, baik ragam maupun jumlah, yang membuktikannya.

Jelas terdapat peradaban kota karena ada produksi barang dan jasa. Temuannya juga sangat padat dan sebarannya luas. Dengan temuan berupa keramik China, Vietnam, dan Thailand, tentu yang bermukim di sini bukan warga biasa,” tutur guru besar arkeologi Universitas Indonesia, Prof Mundardjito.

Potensi untuk menjadikan kawasan ini sebagai lokasi wisata sejarah juga terlihat jelas. Masalahnya, konservasi berlangsung setengah hati. Karena itu, sebagai wisata sejarah, situs-situs yang bertebaran di kawasan seluas 9 x 10 kilometer persegi itu kerap mengecewakan.

Upaya rekonstruksi situs-situs umumnya belum maksimal. Candi Menak Jinggo yang mulai digali sejak 1977 sampai sekarang masih sekadar tumpukan batu bata. Belum semua kawasan diekskavasi. Upaya pemugaran dimulai 2006 dan setiap tahun hanya dilaksanakan satu sampai tiga bulan. Karena itu, masih banyak susunan candi dan saluran air yang belum ditemukan. Padahal, Candi Menak Jinggo sangat unik karena bagian dasarnya dibuat dari susunan batu bata, sedangkan bagian atas candi dari batu andesit.

Hal serupa terlihat di Candi Gentong dan situs Sentonorejo. Warga yang berharap bisa membayangkan kehidupan masyarakat Majapahit terpaksa menelan kekecewaan.

Di beberapa daerah, tinggalan sumur tampak kesepian dan terancam hancur. Di Desa Nglinguk di antara persawahan, misalnya, terdapat sumur dari susunan batu bata berbentuk persegi. Sekitar 20 meter dari temuan itu terdapat pula sumur dari susunan batu bata berbentuk bulat. Bibir sumur yang mulai hancur separuh ini sudah menyembul sekitar 1 meter di atas tanah. Kemunculan bibir sumur ini disebabkan penggalian batu bata. Gubuk pembuatan batu bata memang berjejer di kawasan itu.

Sementara itu, di museum, penjelasan untuk pengunjung juga sangat kurang. Sabtu (23/1), sekitar seratus siswa SD Peterongan, Jombang, memasuki Museum Trowulan. Mereka antusias melihat-lihat koleksi peninggalan Majapahit.

”Ini apa ya?” kata salah seorang anak menunjuk pipa dan hiasan atap ukel. Anak lain keheranan melihat silicagel yang ditempatkan di lemari kaca. Ada pula yang menanyakan kenapa koleksi museum tidak boleh dipegang. Penjelasan yang memadai tentu menjadi bekal pengetahuan dan kecintaan untuk belajar dari sejarah.

Sebagai satu-satunya situs permukiman kuno yang sudah ditemukan di Indonesia, pemerintah semestinya lebih serius menangani Trowulan. Rencana membuat Taman Wisata Majapahit, kawasan cagar budaya, atau kawasan strategis nasional semestinya segera direalisasikan. Tentu saja, perlu penanganan yang integratif. Tidak hanya pelestarian dan upaya rekonstruksi situs, warga sekitar perlu dilibatkan. Dengan demikian, kegiatan pembuatan batu bata yang merusak situs bisa dikurangi. Kenyataannya, para pembuat batu bata mengatakan akan memilih pekerjaan lain bila memungkinkan.

Sebagai wisata sejarah, akan diperlukan tenaga pemandu, petunjuk jalan, alat transportasi menuju situs, serta fasilitas makan dan minum. Potensi untuk berjualan cendera mata bernuansa Majapahit juga besar.

Saat ini saja nasi wader di sekitar kawasan Museum Trowulan sudah mulai dikenal. Rukiatin (51) yang berjualan nasi wader sejak 1996 selalu memerlukan setidaknya 20 kilogram ikan wader setiap hari. Kini, penjual nasi wader lain juga mulai bermunculan.

Rencana pengembangan Trowulan sebagai kawasan wisata sejarah sebenarnya sudah dimulai dengan sayembara perancangan rencana induk (masterplan) dan museum terbuka akhir 2009. Pemenangnya juga sudah ditentukan, tetapi pelaksanaan pembangunan kawasan cagar budaya ini belum terlihat tanda-tandanya.

Menurut arsitek dan pakar konservasi Osrifoel Oesman, luas kawasan Museum Trowulan saat ini berkisar 5,7 hektar. Ke depan diharapkan kawasan ini bisa mencapai 10 hektar.

Untuk menampung artefak, diperlukan gedung museum. Saat ini gedung museum hanya seluas 4.000 meter persegi dan diharapkan bisa mencapai 10.000 meter persegi. Supaya tidak merusak situs yang ada, diusulkan perluasan gedung ini ke bagian belakang museum. ”Di bagian belakang museum, temuan sudah banyak diambil warga sehingga semestinya pembangunan gedung tidak akan merusak lagi,” kata Osrifoel.

Untuk museum terbuka, diharapkan penggalian bisa mencapai 4.000 meter persegi. Saat ini di kawasan bekas pembangunan Pusat Informasi Majapahit sudah digali 1.500 meter persegi. Museum terbuka diharapkan dinikmati masyarakat, tetapi tetap memungkinkan penelitian arkeologis lebih lanjut.

Untuk membangun gedung museum seluas 10.000 meter persegi dengan dua atau tiga lantai, dengan pola bangun bertahap dan berteras-teras seperti arsitektur Majapahit, diperkirakan diperlukan alokasi Rp 80 miliar-Rp 100 miliar. Supaya layak jadi museum, masih diperlukan peralatan sekitar Rp 20 miliar.

Pembuatan museum terbuka dengan fasilitas tamannya, menurut Osrifoel, akan memerlukan biaya sekitar Rp 20 miliar. Ditambah pembebasan lahan yang sebesar Rp 6 miliar-Rp 8 miliar, diperlukan sekitar Rp 150 miliar. Jumlah ini tentu tidak banyak ketimbang nilai sejarah dan peradaban yang diwariskan Majapahit. Ketimbang uang negara dibiarkan dilarikan pemilik Bank Century sebesar Rp 6,7 triliun, biaya Rp 150 miliar juga terasa sangat sedikit.

Bila dimulai 2009, diharapkan pada 2014 kawasan cagar budaya Majapahit rampung. Setidaknya, kata Osrifoel, pelestarian sangat perlu dilakukan di kawasan dalam jaringan kanal. Sebab, di sanalah—terutama di sekitar Kolam Segaran, Nglinguk, dan Sentonorejo—tinggalan candi dan temuan artefak paling padat.

Upaya pelestarian tidak hanya berarti mengembalikan tinggalan kejayaan Kerajaan Majapahit. Pelajaran dari teknologi dan peradaban yang sudah ada, seperti dari sistem manajemen air, pembuatan candi, dan penataan kota, bisa dipetik. Kenyataannya, penghargaan terhadap peradaban lawas, seperti di Thailand, Vietnam, atau di Eropa, malah mendatangkan keuntungan dari pariwisata.

(Kompas, Jumat, 5 Februari 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BUKU-BUKU JURNALISTIK


Kontak Saya

NAMA ANDA :
EMAIL ANDA :
PERIHAL :
PESAN :
MASUKKAN KODE BERIKUT :