Views
Solo, Kompas - Arkeolog hendaknya tidak dicap sebagai penghambat pembangunan karena sesungguhnya ahli arkeologi mengemban tugas pelestarian. Pembangunan sebaiknya berjalan tanpa mengganggu pelestarian.
Hal itu dikatakan Direktur Jenderal Sejarah dan Purbakala Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Hari Untoro Dradjat yang juga Ketua Umum Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) seusai pembukaan Kongres IAAI 2008 dan Pertemuan Ilmiah Arkeologi (PIA) XI di Kota Solo, Jawa Tengah, Jumat (13/6).
Kongres IAAI dan PIA tahun ini bertema ”Arkeologi untuk Masa Depan”. Seusai pembukaan, diberikan penghargaan kepada lembaga dan pribadi yang memiliki minat secara swakarsa atau mandiri dalam hal pelestarian benda cagar budaya. Sebanyak 13 lembaga dan pengelola benda cagar budaya di Yogyakarta meraih penghargaan ini. Penghargaan juga diberikan untuk empat juru pelihara dari Jawa Timur yang dinilai mempunyai prestasi dan dedikasi kerja.
”Nama-nama penerima penghargaan diusulkan dari Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala di Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur,” kata Sekretaris IAAI Judi Wahjudin.
Menurut Hari Untoro, pembangunan sebaiknya berjalan tanpa mengganggu pelestarian.
”Jadi kita membangun keseimbangan. Bukan yang satu dibangun, yang lain rusak. Dua-duanya harus jalan. Pelestarian berjalan bersama pembangunan dengan syarat tak merusak kelestarian situs purbakala,” kata Hari.
Manfaat arkeologi
Sebelumnya, Deputi V Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Bidang Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga Sugihartatmo mengatakan, ahli arkeologi saat ini dihadapkan pada tantangan untuk menunjukkan manfaat arkeologi.
”Pada ranah aksiologi, muncul pertanyaan apa manfaat arkeologi untuk masyarakat, pemerintah daerah, dan negara. Jangan sampai hasil penelitian dan temuan dinilai menghambat upaya pembangunan,” ujarnya.
Tuntutan baru pengelolaan benda cagar budaya dan situs purbakala sekarang, lanjut Sugihartatmo, adalah adanya keinginan masyarakat agar benda cagar budaya dan situs mendatangkan keuntungan ekonomis.
Menurut Hari, pelestarian sebenarnya tidak hanya bermakna melestarikan, melainkan juga melindungi dan memanfaatkan. ”Memang posisi kami sulit. Kadang dianggap sebagai penghambat pembangunan, sering juga sebaliknya. Bila kami memberi peluang sedikit saja, dikatakan tidak punya komitmen terhadap pelestarian,” ujarnya.
Hari mengakui, sejak otonomi daerah berlaku, pengelolaan benda atau situs cagar budaya menjadi lebih sulit karena tak adanya penilik kebudayaan. ”Dulu dengan keberadaan penilik kebudayaan, ada yang bertanggung jawab menginventarisasi aset-aset budaya,” ujarnya. (EKI)
(Sumber: Kompas, Sabtu, 14 Juni 2008)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar