Pengumuman

Bila tulisan yang Anda cari tidak ada di blog ini, silakan kunjungi hurahura.wordpress.com

Selasa, 24 Maret 2009

Melihat Palembang dari Naskah Kuno

Views


HANIFA (38), seorang warga asli Palembang, sulit membayangkan bagaimana kisah pewayangan yang selama ini dianggapnya hanya "milik" masyarakat Pulau Jawa. Kisah pewayangan ternyata pernah berkembang di Palembang yang menjadi ibu kota Sumatera Selatan itu.

Pewayangan di Palembang bukan sekadar ada, tetapi berkembang. Namun cerita pewayangan itu mengalami perombakan untuk disesuaikan dengan budaya setempat.

Modifikasi itu misalnya, membuat tokoh-tokoh Punakawan "naik pangkat" menjadi golongan bangsawan. Gareng misalnya, disebut sebagai Ki Agus Gareng.

Ki Agus adalah salah satu sebutan kebangsawanan pada masa Kesultanan Palembang Darussalam.

Selain pewayangan, cerita- cerita rakyat yang sebelumnya banyak berkembang di Pulau Jawa, juga dikisahkan di Palembang dengan modifikasi budaya setempat, misalnya kisah Raden Inu Kertapati atau Ande-Ande Lumut.

Cerita-cerita yang ditemukan dalam penelitian Yayasan Naskah Nusantara bekerja sama dengan Tokyo University of Foreign Studies, Agustus lalu, itu menunjukkan keterkaitan Palembang dengan kerajaan-kerajaan di Jawa.

Kisah-kisah itu ditulis dalam naskah yang berasal dari abad ke-19, dengan tulisan Arab Melayu.

Sejarah Kesultanan Palembang bermula dari kemelut politik yang terjadi di Kesultanan Demak sesudah kematian Trenggana, Raja Demak setelah Raden Patah, serta pemindahan pusat kesultanan di Pajang oleh Prabu Adiwijaya.

Kelompok bangsawan yang dikalahkan dalam perseteruan, antara lain adalah Ki Gede Ing Suro bersama pengikutnya, menyingkir dan mendirikan pusat kekuasaan baru di Palembang. Kesultanan Palembang ini didirikan pada abad ke-16.

Budayawan Sumatera Selatan Djohan Hanafiah menegaskan, para bangsawan Jawa yang berkeraton di Palembang pada akhirnya beradaptasi dengan budaya Melayu yang sudah tumbuh di daerah ini. Palembang juga merupakan kawasan kosmopolitan, dengan percampuran budaya berbagai bangsa yang datang seiring arus perdagangan.

Karakter kosmopolitan ini tentu tak lepas dari latar sejarah Palembang pada masa Kerajaan Sriwijaya. Kerajaan bahari ini berpengaruh luas di Nusantara, mulai abad VII hingga XI masehi. Pergaulan antarbangsa dan akulturasi budaya turut membentuk karakter daerah ini.

Bertepatan dengan 16 Juni lalu, hari jadi ke-1320 tahun Kota Palembang dirayakan. Hari jadi itu ditetapkan pemerintah kota, berdasarkan prasasti Kedukan Bukit yang menandai berdirinya Kerajaan Sriwijaya. Prasasti ini berangka tahun 682 masehi, tetapi kelahiran Palembang dihitung setahun lebih muda.

Artinya, sejarah ibu kota Provinsi Sumatera Selatan ini lebih panjang dari perjalanan sejarah Kota Baghdad di Irak yang didirikan tahun 762, lebih tua dari Kyoto di Jepang yang didirikan tahun 794, apalagi dibandingkan dengan Jakarta yang berdiri tahun 1527. Namun, rasa memiliki sejarah panjang, tidak mudah dilihat dalam tata nilai sekarang ini.

Sejarah Kesultanan Palembang Darussalam yang jauh lebih muda dari masa Sriwijaya, meninggalkan jejak tak terputus dengan keberadaan Palembang masa kini. Namun, apresiasi masyarakat terhadap sejarah dan warisan budaya yang paling kasat mata dari masa kesultanan ini terkesan memprihatinkan.

Naskah yang berasal dari masa Kesultanan Palembang Darussalam misalnya, antara lain ditemukan disimpan saja dalam rak di kamar mandi.

KARYA penulisan dengan bahasa dan gaya penulisan tertentu mewakili suatu masa. Substansi yang dipaparkan menyuguhkan wacana yang berkembang pada masa itu. Oleh karena itu, penemuan naskah berperan penting dalam kegiatan apresiasi kebudayaan dan kesejarahan.

Penelitian awal yang digelar Yayasan Naskah Nusantara bekerja sama dengan Tokyo University of Foreign Studies di Palembang, Agustus lalu, menemukan bukti produktivitas sastra Melayu di daerah ini pada masa kesultanan.

"Dari penelitian awal, sudah terlihat bahwa kegiatan penulisan naskah di Palembang pada masa lalu ternyata sangat aktif dan menonjol," ujar Dr Achadiati Ikram, pakar filologi Universitas Indonesia (UI), yang bergabung dalam tim peneliti tersebut.

Selama sepekan pendataan, tim peneliti ini mencatat sekitar 230 naskah ditemukan pada 15 warga Kota Palembang. Naskah-naskah tersebut berasal dari abad ke-18 dan ke-19.

"Kami yakin masih banyak sekali yang tersebar di kalangan masyarakat dan belum tersentuh," ujar Dr Titik Pudjiastuti, staf pengajar Program Pascasarjana Sastra UI, yang juga bergabung dalam tim ini.

Kini, temuan dalam penelitian itu sedang disusun menjadi katalog yang akan dilengkapi dengan deskripsi naskah. Deskripsi diperoleh dari pembacaan masing-masing cetakan naskah yang dipotret. "Katalog ini akan diterbitkan oleh Tokyo University of Foreign Studies," jelas Titik.

Pendataan naskah-naskah kuno di Palembang secara komprehensif belum dilakukan. Katalog pertama yang sedang disusun pun bukan akan diterbitkan di Indonesia.

Hal ini menunjukkan, betapa naskah-naskah kuno yang menggambarkan kekayaan intelektual pada masa itu belum banyak dijamah, dipahami, apalagi dimanfaatkan sebagai sumber penggalian sejarah.

"Jika mau melihat sejarah, kita mesti pergi ke Belanda atau membaca catatan sejarah yang dibuat Belanda. Padahal, itu merupakan secondary sources yang sangat mungkin disusun dengan sudut pandangan berbeda. Catatan pada naskah- naskah inilah primary sources yang selama ini justru kita abaikan," tutur doktor filologi ini bernada prihatin.

Kekayaan ragam muatan juga sangat mendukung pengembangan berbagai kajian lain, melalui naskah-naskah yang ditemukan. Naskah-naskah kuno di Palembang antara lain merupakan kitab keagamaan, ajaran tasawuf dengan beberapa di antaranya menunjukkan aliran yang berkembang pada masa itu, hingga hikayat dan syair.

Silsilah, surat-surat, hingga catatan perjalanan juga ditemukan. Titik mencontohkan, sebuah akta pernikahan yang ditemukan misalnya, dapat menampilkan "potret" salah satu bentuk perjanjian sosial yang dijalankan pada masa itu, sekaligus menjadi sumber sejarah hukum.

PENULISAN naskah dapat dipandang sebagai salah satu penuangan budaya "berkelas" paling tinggi pada masa lalu. Djohan Hanafiah, sejarawan Sumatera Selatan, menuturkan, penulisan naskah menuntut kemampuan intelektual, kemampuan ekonomi, dan waktu luang.

"Pada masa itu, golongan masyarakat dengan intelektualitas yang cukup, berkemampuan ekonomi memadai, serta dapat mengalokasikan waktu untuk mengapresiasi tulisan sastra atau keagamaan, umumnya adalah para bangsawan," ujar Djohan.

Budayawan yang menulis sejumlah buku sejarah lokal ini meyakini, Sultan Palembang berperan besar dalam pengembangan budaya penulisan di Sumatera Selatan. Kegiatan penulisan mencapai puncaknya pada masa Sultan Mahmud Badaruddin (SMB) II yang diyakini Djohan sebagai pemimpin masa keemasan Kesultanan Palembang.

Mujib Ali, peneliti pada kantor Asisten Deputi Urusan Arkeologi Departemen Kebudayaan dan Pariwisata yang pernah mendalami penulisan naskah kuno di Palembang, menuturkan, SMB II memang memiliki perpustakaan yang diduga terlengkap di Palembang masa itu. Puluhan naskah yang ditemukan Mujib memang ditandai sebagai milik SMB II.

Sayangnya, berbagai sumber sejarah menyebutkan, terjadi pembakaran tempat penyimpanan koleksi naskah pada saat kesultanan dijatuhkan Belanda tahun 1824. Sebagian naskah yang tersisa sempat dibawa oleh Belanda, sebagian lainnya justru dibakar oleh keluarga Sultan untuk menghindarkan pertentangan antarbangsawan.

Akan tetapi, peninggalan naskah-naskah yang tersisa hingga saat ini, masih menggambarkan tradisi penulisan yang hidup dalam masyarakat pada masa itu. Mujib menjelaskan, sebelum cetakan batu ditemukan, reproduksi naskah dilakukan dengan menyalin ulang dalam tulisan tangan.

"Ditemukan pula penyalinan naskah-naskah yang belum selesai," ujar Mujib yang meneliti naskah-naskah kuno di Palembang pada kurun waktu 1996-2001.

Penyalinan naskah yang dianggap menarik dilakukan dengan meminjam naskah dari pemilik terdahulu, dengan kontrak waktu dan tarif tertentu. Bahkan, ditemukan indikasi adanya keahlian spesialisasi pada orang-orang tertentu dalam penulisan atau penyalinan naskah.

"Ada orang-orang tertentu dengan spesialisasi penulisan silsilah, misalnya. Ada pula standar tertentu yang harus dipenuhi seorang penyalin kitab keagamaan yang berbahasa Arab," jelas Mujib.

Kegiatan "perdagangan" naskah, semacam sanggar penulisan dengan spesialisasi tertentu, menunjukkan kegairahan penulisan naskah di Palembang pada masa kesultanan. Sementara itu, koleksi naskah juga memberikan prestise tersendiri bagi pemiliknya.

Akan tetapi, belum ditemukan manifestasi kegairahan penulisan seperti itu dalam kegiatan masyarakat Palembang masa kini. "Ibaratnya, kegairahan penulisan ini tidak mengalami reinkarnasi dalam kehidupan masyarakat di daerah ini," kata Mujib.

Karya yang dituangkan dalam kertas tua memang terkesan tidak menarik perhatian kalangan luas masyarakat di kota ini. Mempedulikan kelestarian situs budaya di jantung Kota Palembang pun bukan pekerjaan mudah.

Namun, tidak akan pernah ada bangsa yang besar, tanpa belajar dari sejarah. (NUR HIDAYATI)

(Kompas, Senin, 29 September 2003)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BUKU-BUKU JURNALISTIK


Kontak Saya

NAMA ANDA :
EMAIL ANDA :
PERIHAL :
PESAN :
MASUKKAN KODE BERIKUT :