Pengumuman

Bila tulisan yang Anda cari tidak ada di blog ini, silakan kunjungi hurahura.wordpress.com

Selasa, 24 Maret 2009

Bangunan Cagar Budaya China Rusak

Views

Banyak yang Ditelantarkan dan Dialihfungsikan

Jakarta, Kompas - Bangunan Tionghoa bersejarah berusia di atas satu abad dan berstatus cagar budaya banyak yang rusak. Pantauan sejak pekan lalu menunjukkan, bangunan yang tersebar Bogor, Jakarta, dan Tangerang itu rusak akibat kesengajaan atau ditelantarkan begitu saja.


KOMPAS/SOELASTRI SOEKIRNO
Puluhan siswa dan aktivis pencinta bangunan bersejarah, Kamis (22/1), berunjuk rasa dengan mengelilingi sisa bangunan rumah tuan tanah kebun karet di Karawaci, Kota Tangerang, yang dibangun pada akhir abad ke-18 atau awal abad ke-19 itu. Mereka meminta penghancuran dan penjualan bangunan bersejarah berarsitektur China dan kolonial Belanda itu dihentikan.




Sejumlah bangunan yang sengaja dihancurkan sebagian seperti rumah tuan tanah Karawaci peninggalan Kapiten Oei Djie San di Kota Tangerang, rumah Mayor Khow Khim An yang menjadi Gedung Candranaya atau Sin Ming Hui di Jalan Gajah Mada (Jakarta), rumah Pak Wongso dan sederet rumah tua di Blandongan dekat Toko Tiga, hingga rumah peninggalan keluarga Souw keturunan Kapiten Tionghoa Pertama Souw Beng Kong di Jalan Perniagaan, semuanya di Jakarta Barat.

Keadaan itu memunculkan keprihatinan pencinta bangunan bersejarah. Terakhir, sejumlah siswa Sekolah Dasar Negeri 1 Karawaci, Tangerang, bersama para aktivis yang tergabung dalam Koalisi Antar Generasi Tangerang, pekan lalu, berdemonstrasi memprotes perusakan rumah bersejarah bekas rumah peninggalan Kapiten Oei Djie San.

Tak hanya memprotes, Uyus Setia Bakti dari Koalisi Antar Generasi juga akan melaporkan perusakan bangunan yang diperkirakan dibuat pada akhir abad ke-18 atau awal abad ke-19 itu.

”Menurut Undang-undang tentang Cagar Budaya, merusak bangunan yang termasuk dalam benda cagar budaya merupakan tindak pidana,” kata Uyus.

Desember lalu, Warga Peduli Bangunan Tua (Walibatu) yang terdiri dari arsitek, tokoh yang menaruh perhatian besar terhadap pelestarian budaya, dan penulis buku sejarah meminta pemerintah dan masyarakat beraksi menyelamatkan bangunan yang berdiri di atas lahan seluas 2 hektar di Karawaci itu.

Menurut Walibatu, dari sisi arsitektur, bangunan ini merupakan bagian dari jejak sejarah arsitektur di Indonesia. Rumah utama bergaya arsitektur China, sedangkan rumah lain bergaya Indisch (gabungan unsur Eropa dan tropis). Mona Lohanda dalam buku Kapiten China of Batavia 1837-1942” mengungkapkan, rumah ini dibangun pada awal abad ke-18 oleh Letnan China Oei Djie San yang menguasai perkebunan di Karawaci, Cilongok.

Selain itu, rumah ini merupakan tuan tanah terakhir yang masih tersisa di sekitar Jakarta dan kondisinya terbilang utuh. Bangunan ini mulai dibongkar sekitar September 2008 atas suruhan ahli waris. Elemen-elemen bangunan telah dijual kepada pihak lain.


Berubah fungsi

Beberapa bangunan bersejarah itu kini sudah berubah fungsi. Sebagian lahan di Candranaya, misalnya, akan dibangun apartemen. Bangunan tua dan bersejarah di Bogor dan kawasan Petak Sembilan, Jakarta Barat, banyak yang berubah fungsi menjadi toko. Adapun bekas pabrik karet dan rumah tua di Karawaci sebagian sudah dihancurkan.

Menanggapi keadaan ini, pendiri Pusat Dokumentasi Arsitektur Indonesia (PDAI), Aria Abieta, mengatakan, kerusakan terus terjadi karena aturan konservasi dan bisnis tidak sinkron.

”Tidak ada insentif bagi pemilik bangunan tua untuk mempertahankan bangunan lama. Satu-satunya manfaat hanya didapat jika digunakan untuk bisnis belaka sehingga mereka pun memutuskan mengubah bangunan sehingga jejak sejarah sebuah kota, bahkan bangsa, terlupakan,” kata Aria.

Dia mencontohkan, tiga rumah bersejarah di kawasan konservasi Menteng di Jalan Teuku Umar diruntuhkan dan digabung menjadi satu bangunan. Itu terjadi di dekat rumah dinas Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo.

Menurut Aria, pemilik lama tak mampu membayar pajak sehingga harus melepas rumah kepada pemilik baru yang umumnya orang kaya baru atau pengusaha berpendidikan terbatas yang sama sekali tidak memedulikan sejarah.

Untuk kasus rumah tuan tanah di Tangerang, Mahandis Yoanata dan Enrico Halim dari Walibatu secara terpisah menyatakan, perkumpulan pernah berupaya mempertemukan pemilik tanah dan pemilik bangunan yang ternyata berbeda, tetapi usaha itu tak menemui hasil karena amat sulit menemukan pemilik rumah tersebut.

Keduanya berpendapat, solusi untuk menyelamatkan rumah tua itu adalah adanya pihak yang mau membeli bangunan sekaligus tanahnya. Pemerintah juga harus turun tangan mencegah penghancuran cagar budaya tersebut. (ONG/TRI)

(Kompas, Rabu, 28 Januari 2009)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BUKU-BUKU JURNALISTIK


Kontak Saya

NAMA ANDA :
EMAIL ANDA :
PERIHAL :
PESAN :
MASUKKAN KODE BERIKUT :