Views
Oleh: Iwan Santosa dan Soelastri Soekirno
Semak belukar, tumpukan batu bata, dan sisa puing teronggok di sisi bangunan landhuis atau rumah tuan tanah berarsitektur Tionghoa dan Indisch di Karawaci, Kota Tangerang. Bangunan bersejarah peninggalan tuan tanah perkebunan yang tersisa di Nusantara itu dibiarkan hancur perlahan-lahan.
Tidak terlihat papan pengumuman benda cagar budaya dari pemerintah setempat yang menunjukkan rumah tersebut adalah saksi sejarah perkembangan Kota Tangerang modern.
”Akhirnya tempat ini dibongkar di bagian paseban dan bagian tengah. Saya sempat menyaksikan pembongkarannya. Sayang sekali. Dahulu tempat ini merupakan kediaman Kapiten Oei Djie San,” kata Oei Cin Eng, warga Tangerang yang menemani Kompas mengunjungi rumah bersejarah itu.
Rumah Kapiten Oei Djie San merupakan satu-satunya bangunan tersisa dari jenis landhuis perkebunan di Jawa. Rumah itu menghadap Sungai Cisadane yang menjadi sumber air perkebunan tebu dan persawahan di Tangerang. Bagian belakang rumah tersebut memiliki gaya arsitektur Indisch—gabungan Eropa dan Nusantara—yang digunakan Kapiten Oei Djie San menerima tamu bangsa Belanda atau Eropa lainnya.
Kemegahan dan sejarah rumah itu tinggal kenangan.
Bagian paseban atau halaman depan rumah itu yang menghadap Sungai Cisadane dibongkar rata dengan tanah akhir tahun 2008. Bahkan, patung Singa Batu dari Tiongkok yang menjaga rumah—seperti Patung Dwarapala pada rumah Jawa—juga dibongkar dan telah lenyap dari rumah itu.
Menurut Cin Eng, mandor pembongkaran rumah tersebut, paseban rumah itu dibeli oleh seorang kolektor. Sedangkan pelbagai komponen rumah diangkut pemulung.
Sejarawan Mona Lohanda yang menulis tentang Kapiten China di Batavia menyayangkan perusakan rumah Kapiten Oei Djie San.
Pengamat budaya Tionghoa Peranakan, Eddi Prabowo Witanto, mengecam keras perusakan landhuis Karawaci.
”Setelah Gedung Candranaya dirusak, kini satu-satunya landhuis khas Tionghoa dengan rumah berbentuk tapal kuda dibiarkan hancur. Sayang tidak ada perhatian dari pemerintah ataupun pengusaha besar yang mau merawat rumah-rumah peninggalan sejarah ini. Padahal, di Singapura, rumah berarsitektur Tionghoa yang dihancurkan, kembali dibangun seperti asli demi menjaga warisan sejarah,” kata Eddi Prabowo.
Hancurnya Candranaya
Kerusakan juga menimpa bangunan bersejarah berlanggam arsitektur Tionghoa di Jakarta dan Bogor. Gedung Candranaya, peninggalan Mayor Khow Kim An—Officier der Chinesen terakhir di Hindia Belanda—di Jalan Gajah Mada, Jakarta, kini dalam keadaan rusak berat.
Dalam pantauan, seluruh bangunan sayap Gedung Candranaya (dulu Sing Ming Hui) sudah dihancurkan. Demikian pula kolam dan ornamen-ornamen bangunan dalam keadaan rusak.
Bagian dalam bangunan Candranaya yang tersisa, dalam pantauan Sabtu (24/1), terlihat dicat baru di beberapa tempat.
Kegiatan fisik atas bangunan bersejarah sebetulnya harus diawasi instansi terkait dan tidak bisa menggunakan bahan kimia tertentu seperti cat yang belum diketahui komposisinya. Tindakan tersebut dilakukan agar upaya renovasi tidak merusak kondisi asli bangunan.
Kerusakan juga terlihat di rumah keluarga Souw di Jalan Perniagaan di dekat Pasar Perniagaan, Jakarta Barat. Rumah bergaya arsitektur Tionghoa tersebut didiami marga Souw keturunan Kapiten Souw Beng Kong, seorang perintis Kota Batavia modern tahun 1619.
Salah satu sayap bangunan rumah keluarga Souw dihancurkan akibat proyek pembangunan Pasar Perniagaan.
Tidak jauh dari lokasi tersebut, sederet rumah Tionghoa di Blandongan dekat Toko Tiga juga dalam keadaan telantar. Asen, seorang warga, mengatakan, rumah-rumah tersebut merupakan bangunan yang disita oknum penguasa pasca-G30S PKI dan kini tidak dirawat. ”Sebetulnya bangunan-bangunan itu bisa difungsikan sebagai perpustakaan atau Museum Sejarah Tionghoa di Jakarta,” kata Asen.
Sisa bangunan Tionghoa di kawasan Pecinan Glodok-Pancoran juga semakin menyusut drastis. Tidak terlihat upaya pelestarian terhadap benda cagar budaya yang tersisa.
Kondisi serupa terlihat di Bogor. Rumah berarsitektur Tionghoa di Jalan Suryakencana, Jalan Roda, dan Jalan Lawang Seketeng nyaris tidak tersisa.
Setiadi Sopandi, pengamat arsitektur, mengecam perusakan peninggalan sejarah tersebut. ”Bogor memiliki kekayaan bangunan bersejarah dengan gaya Belanda, Indisch, Sunda, dan Tionghoa. Sayang kalau tidak dilestarikan,” kata Setiadi.
Meski secara perekonomian banyak pengusaha besar lahir dari komunitas Tionghoa, jejak sejarah bangunan Tionghoa tidak dilestarikan.
Kini, bangunan modern atau rumah toko berbentuk kotak seperti kulkas berdiri di lokasi bangunan-bangunan bersejarah yang diruntuhkan. Sungguh ironis, sukses di bidang ekonomi tidak diikuti peningkatan selera dan kesadaran untuk melestarikan bangunan bersejarah.
(Kompas, Rabu, 28 Januari 2009)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar