Views
Jakarta, Kompas - Meski sudah dilindungi dengan surat ketetapan menteri, bangunan tua tetap rentan terhadap perusakan.
Anggota Tim Penasihat Pelestarian Lingkungan dan Bangunan Cagar Budaya DKI Jakarta, Djauhari Sumintardja, dalam diskusi ”Usaha Pelestarian Bangunan dan Kuburan Tua China” di Grand Indonesia, Jakarta, Kamis (29/1), menjelaskan perlu diambil tindakan tegas untuk melindungi bangunan bersejarah.
”Bangunan yang sudah mendapat penetapan dari menteri pun sudah dirusak. Kasus Gedung Candranaya menjadi bukti betapa lemah upaya perlindungan bangunan tua dan bersejarah. Gedung Candranaya bukan saja peninggalan Peranakan Tionghoa. Gedung itu juga menjadi markas Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia yang menjadi motor Angkatan 66,” kata Djauhari.
Gedung Candranaya—dulu Sin Ming Hui—yang dirusak dan kini diapit proyek apartemen di Jalan Gajah Mada 188, Jakarta Barat, sebelumnya sudah dilindungi Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Fuad Hasan. Gubernur DKI Jakarta pada masa Ali Sadikin juga sudah menegaskan untuk melindungi Gedung Candranaya dari segala gangguan.
Konservator Gedung Candranaya, Naniek Widayati, hari Jumat kemarin mengatakan, bangunan sayap yang dirobohkan akan dibangun kembali oleh pengembang proyek. ”Seluruh bagian bangunan disimpan dengan cermat. Sayap bangunan akan dibangun kembali meski tidak sepenuhnya seperti asli karena terhalang tiang kolom baja,” kata Naniek.
Pembangunan proyek apartemen dan hotel di lahan Candranaya sudah berubah dari rencana awal. Semula, proyek apartemen hanya akan dibangun di belakang Gedung Candranaya.
Sebelum acara diskusi pelestarian, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta menyampaikan, budaya Tionghoa Peranakan yang sudah membumi di Nusantara harus dilestarikan sebagai bagian kekayaan bangsa.
”Termasuk peninggalan di bidang arsitektur berupa rumah atau kuburan yang dapat menjadi catatan perkembangan sebuah wilayah. Seluruh aspek kehidupan dari suku Peranakan menjadi bagian tidak terpisahkan perjalanan bangsa Indonesia hari ini,” kata Meutia.
Penegasan status
Salah seorang pembicara, arsitek Wastu Pragantha Zhong, mendesak pemerintah segera mendata dan menegaskan status bangunan cagar budaya agar pemodal tidak dengan mudah merusak peninggalan sejarah.
”Dengan swadaya, warga sudah berhasil menyelamatkan situs kuburan Kapiten Souw Beng Kong yang merintis Kota Batavia modern. Sejumlah warga berswadaya membebaskan 200 meter lahan di kompleks kuburan yang aslinya memiliki luas 2 hektar itu,” kata Zhong.
Dengan penegasan status, pihak yang merusak dapat dihukum karena melanggar Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya.
Tanpa ketegasan status, dia mencontohkan kasus di Cirebon, rumah bersejarah peninggalan Mayor Tionghoa diruntuhkan untuk bangunan show room mobil. ”Waktu itu, bahkan wali kota pun tidak tahu adanya undang-undang perlindungan benda cagar budaya,” kata Zhong.
Djauhari mengakui, banyak kelemahan justru terjadi di pihak pemerintah. Di lain pihak, banyak tekanan kepentingan ekonomi oleh pemodal yang tidak mengindahkan konservasi.
Sejarawan Mona Lohanda menambahkan, arsitek dan pengaruh arsitektur Tionghoa di Batavia dan Jakarta modern sangat unik. Masjid Angke yang dibangun tahun 1621, gedung-gedung kolonial, hingga perumahan Kebayoran Baru (1949) merupakan peninggalan arsitek Tionghoa.
Menanggapi perusakan cagar budaya rumah tuan tanah di Karawaci, Kota Tangerang, peninggalan Kapiten Oei Djie San, Djauhari berharap segera diambil langkah penyelamatan bangunan.
Rumah landhuis Karawaci merupakan satu-satunya jenis bangunan kombinasi Indisch-Tionghoa yang tersisa di Republik Indonesia. Mona Lohanda mengatakan, landhuis Karawaci seharusnya dilindungi pemerintah setempat.
”Dilihat dari usia bangunan, sudah jelas sangat penting untuk melindungi bangunan itu. Tetapi, apakah pemerintah setempat juga mengetahui ada bangunan bersejarah di wilayah mereka,” ujar Mona. (Ong/Muk)
(Kompas, Sabtu, 31 Januari 2009)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar