Pengumuman

Bila tulisan yang Anda cari tidak ada di blog ini, silakan kunjungi hurahura.wordpress.com

Selasa, 24 Maret 2009

Memimpikan Takhta Kesultanan Banten

Views


SEKILAS, iklan satu halaman di sebuah majalah lokal itu tidaklah istimewa. Isinya hanya ucapan "Dirgahayu Republik Indonesia Ke-58" dari Keluarga Besar Kesultanan Banten. Akan tetapi, ada dua kata dalam iklan itu yang menyentak emosi masyarakat Banten, khususnya yang merasa masih memiliki pertalian batin dengan Kesultanan Banten.

DUA kata itu adalah "Sultan Banten". Mengingat gelar itu berada di bawah nama Drs H Tb Ismetullah Al Abbas sebagai wakil Keluarga Besar Kesultanan Banten. Orang yang membaca iklan itu bisa menafsirkannya sebagai maklumat atau penahbisan diri sebagai Sultan Banten. Semenjak itu, muncul polemik berkepanjangan di masyarakat.

Saat ditemui Kompas di kantornya di daerah Kaujon, Serang, Kamis (18/12) pekan lalu, Ismetullah (43) menyangkal dirinya sebagai pemasang iklan tersebut. Menurut dia, iklan kontroversial itu adalah buatan salah satu wartawan majalah itu yang dicetak tanpa order darinya.

Di kalangan masyarakat Banten, Ismetullah Al Abbas dikenal sebagai sosok yang selama ini banyak berkecimpung dalam pengelolaan Masjid Agung Banten dan makam Sultan-Sultan Banten di kawasan Banten Lama. Di situ ia menjadi Ketua Yayasan Sultan Hasanuddin Banten.

Ismet mengaku, dirinya sering diundang mewakili Keluarga Besar Kesultanan Banten dalam acara-acara budaya seperti Festival Keraton Nusantara. Belakangan ia terjun ke kancah politik dan menjadi Ketua Dewan Pimpinan Provinsi (DPP) Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan (PDK) Banten.

Merasa tidak nyaman dengan polemik yang berkembang akibat iklan "Sultan Banten" itu, Ismet berusaha mengklarifikasi persoalan tersebut kepada wartawan. "Di mana pun saya tidak pernah menyebut diri saya sultan, wallahi wa rasuli (demi Allah dan Rasul-Nya). Itu hanya gelar penghargaan dari masyarakat yang menandakan adanya kerinduan terhadap simbol budaya," ujarnya.

Masyarakat luas telanjur tahu, itu tidak terlepas dari adanya keinginan beberapa kalangan untuk menghidupkan lagi lembaga Kesultanan di Banten.

KEINGINAN untuk mengusung takhta Kesultanan Banten itu disosialisasikan dan dikemas dalam wacana rekonstruksi Kesultanan Banten. Sebuah ide yang bercita-cita membangun kembali lembaga kesultanan, yang pernah membentang di ranah Banten dalam kurun 268 tahun (1552-1820).

Lembaga kesultanan ini tentu lengkap dengan atribut dan figur sultan. Menurut Ismet, wacana tersebut digulirkan dalam konteks untuk memelihara peninggalan-peninggalan sejarah, kebudayaan, dan seluruh warisan yang ditinggalkan para sultan di Banten.

"Saya tidak bicara soal kekuasaan. Yang kita pentingkan di sini adalah perlunya satu simbol budaya di masyarakat Banten. Dan, (simbol budaya) itu adalah seorang sultan," tandasnya.

Untuk menggelindingkan gagasan tersebut, dibentuklah Tim Penggagas Rekonstruksi Kesultanan Banten sebagai embrio dari Tim Rekonstruksi Kesultanan Banten.

Tim ini diketuai Prof Dr HMA Tihami, warga kelahiran Banten yang juga Rektor Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Sultan Maulana Hasanuddin Serang. Melalui proposal bertajuk "Rekonstruksi Raya Kesultanan Banten" pada Juli 2002, tim ini telah mengagendakan sejumlah kegiatan.

Kegiatan itu mulai dari studi banding ke Kesultanan Kutai Kartanegara di Tenggarong, Kabupaten Kutai, Kalimantan Timur. Juga sarasehan dan lokakarya nasional, silaturahmi dan musyawarah besar para kerabat Kesultanan Banten, hingga penobatan Sultan Banten.

Rencana kegiatan itu tidak berjalan mulus seiring pro-kontra yang menyertai munculnya gagasan rekonstruksi Kesultanan Banten. Hingga kini, pertemuan keluarga ahli waris Kesultanan Banten yang dijadwalkan berlangsung 22-23 Mei 2003 belum juga tergelar.

Ismet mengaku telah menyebarkan 300 formulir undangan kepada para keturunan Sultan-Sultan Banten yang tersebar di Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Lampung. "Dari 300 undangan itu, yang sudah mengembalikan sekitar 100-an," ungkapnya.

RESPONS masyarakat maupun keluarga keturunan Sultan Banten terhadap gagasan menghidupkan kembali lembaga kesultanan ini beragam. Ada yang pro dan kontra, ada yang berusaha menyodorkan perspektif lain.

Pakar arkeologi Islam Hasan Muarif Ambary, misalnya, meragukan upaya menghidupkan kembali lembaga Kesultanan Banten itu bisa dilakukan. Selain itu, ada beberapa persoalan yang menghadang upaya rekonstruksi kesultanan itu.

Pertama, Kesultanan Banten sudah dihapuskan tahun 1813 oleh pemerintah kolonial Inggris. Pada tahun itu, Sultan Muhamad Syafiuddin dilucuti dan dipaksa turun takhta oleh Thomas Stamford Raffles. Tragedi ini menjadi klimaks dari penghancuran Surasowan oleh Gubernur Jenderal Belanda, Herman William Daendels tahun 1808.

Kedua, jauhnya rentang waktu penghapusan Kesultanan Banten dengan masa kini mempersulit upaya menghidupkan kembali lembaga kesultanan di Banten. Ini berbeda dengan lembaga kesultanan di Cirebon, Yogyakarta, dan juga di Kutai.

"Jangan disamakan, karena kesultanan di Cirebon, Yogyakarta, dan Kutai yang hidup terus sejak dulu, dan ada secara turun-temurun," kata Hasan. (MH SAMSUL HADI)

(Kompas, Senin, 22 Desember 2003)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BUKU-BUKU JURNALISTIK


Kontak Saya

NAMA ANDA :
EMAIL ANDA :
PERIHAL :
PESAN :
MASUKKAN KODE BERIKUT :