Views
BENGAWAN Solo bukan hanya terkenal karena diabadikan dalam lagu Bengawan Solo ciptaan Gesang. Bengawan Solo sejak dulu memang terkenal karena menjadi pusat kehidupan manusia yang bergulat dengan peradabannya. Maka, tidak heran jika sekitar Bengawan Solo menjadi pusat peradaban.
PUSAT peradaban masa silam selalu hadir di sekitar sungai. Saat mulai meninggalkan pola kehidupan nomaden, manusia mendapati tanah di lembah sungai sangat subur sehingga mudah ditanami dan memungkinkan manusia mengembangkan pertanian dalam skala besar.
Kehidupan agraris yang mapan akhirnya mendorong manusia memiliki kemampuan untuk lebih mengembangkan kebudayaan mereka. Sistem religi dan filsafat, sistem pemerintahan, serta kesenian, yang jauh lebih kompleks dibandingkan dengan masa sebelumnya, mampu diciptakan manusia yang telah mendiami lembah sungai dalam waktu lama.
Oleh karena itu, tak mengherankan bila seluruh pusat kebudayaan besar masa silam hadir di lembah sungai. Mulai dari kebudayaan Mesir di lembah Sungai Nil sekitar 4000 sebelum Masehi (SM), Mesopotamia di lembah Sungai Efrat dan Tigris (4000 SM), hingga kebudayaan Indus di lembah sungai Indus (2500 SM). Tidak terlalu berlebihan jika sungai besar disebut sebagai induk peradaban ras manusia.
Demikian pula Bengawan-dalam bahasa Jawa berarti sungai besar-Solo yang membentuk aliran air hingga sejauh 600 kilometer. Di sekitar aliran sungai ini, yakni di Desa Trinil, sekitar 11 kilometer dari Kota Ngawi, Jawa Timur (Jatim), seorang berkebangsaan Belanda, Eugene Dubois, menemukan fosil tulang "manusia monyet" (Pithecanthropus erectus) pada tahun 1891.
Penemuan itu menjadi bukti betapa sungai terpanjang di Pulau Jawa tersebut menjadi tumpuan hidup nenek moyang ras manusia sejak ratusan ribu tahun silam.
HULU Bengawan Solo berada jauh di pegunungan kapur di sebelah selatan Jawa Tengah (Jateng), sedangkan hilirnya berada di pantai Surabaya, Jatim. Kabupaten/kota di Jateng yang dilalui Sungai Bengawan Solo antara lain Kabupaten Wonogiri, Sukoharjo, Klaten, Kota Solo, Karanganyar, Sragen, dan Blora. Sementara di Jatim, Bengawan Solo antara lain melalui Kabupaten Ngawi, Kota Babat (Kabupaten Lamongan), dan Gresik.
Bengawan Solo menjadi tempat kelahiran salah satu pusat kebudayaan Jawa, setelah desa kecil di sekitarnya yang bernama Solo dipilih menjadi lokasi Keraton Surakarta pada tahun 1745. Sebelumnya, lokasi keraton berada di Kartasura, sekitar sembilan kilometer sebelah barat Keraton Surakarta saat ini.
Pemindahan ini dilakukan oleh Susuhunan Paku Buwana II karena Keraton Kartasura hancur akibat serangan pasukan pemberontak pada tahun 1742. Sejak itu Desa Solo terus berkembang menjadi kota yang ramai dan menjadi salah satu pusat kebudayaan Jawa yang utama.
Bengawan Solo memiliki satuan wilayah sungai (SWS) seluas 20.125 kilometer persegi, yang tersebar di 20 kabupaten/ kota. Sembilan wilayah di antaranya di Jateng dan 11 lainnya di Jatim. Pada tahun 1998 sekitar 15,2 juta jiwa atau 12,8 persen penduduk Pulau Jawa tinggal di SWS Bengawan Solo.
Akan tetapi, seiring dengan berjalannya waktu, pamor Sungai Bengawan Solo kian meredup. Masyarakat modern yang kerap tidak peduli terhadap lingkungan membuat nasib sungai tersebut sangat merana. Ini ditunjukkan dengan tingginya tingkat pencemaran di sungai yang namanya dijadikan judul lagu oleh komponis Gesang itu.
Bengawan Solo tadinya hanya diperuntukkan bagi pengairan, tambak, dan sumber air minum. Namun, sekarang sungai itu menjadi tempat pembuangan limbah puluhan pabrik atau industri, baik di bagian hulu di Jateng maupun di bagian hilir di Jatim. Kualitas air Bengawan Solo pun merosot jauh dibandingkan dengan masa lalu.
Meskipun demikian, upaya untuk memaknai kembali Sungai Bengawan Solo sebagai induk peradaban bukannya tidak ada. Gembong Supriyanto adalah salah seorang yang berusaha melakukan pemaknaan itu.
Usaha yang dilakukannya sejak tahun 1995 diawali dengan menggagas kegiatan larung saji di Bengawan Solo. Namun, usaha ini mendapat tentangan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) Solo. "Kegiatan larung saji bisa berkembang menjadi syirik," ujar Gembong.
Oleh karena itu, dicarilah bentuk kegiatan lain yang bisa mengingatkan warga Solo akan peranan Bengawan Solo sebagai induk peradaban. Upaya ini bukan sekadar menghadirkan romantisme. Lebih jauh lagi, upaya itu adalah perjuangan untuk menyadarkan masyarakat modern agar menghargai sungai, menghargai induk peradaban besar ras mereka.
Akhirnya ditemukan kisah kepahlawanan (epos) Joko Tingkir. Dalam salah satu episode perjalanan hidupnya, Joko Tingkir pada paruh pertama abad ke-16 menyusuri Sungai Bengawan Solo dari daerah Majasta di Kabupaten Sukoharjo menuju Desa Gerompol di lereng Bukit Prawata, di sebelah timur ibu kota Kerajaan Demak pada masa itu.
Saat menyusuri Bengawan Solo, Joko Tingkir konon bertarung dengan raja buaya beserta "bala tentara"-nya di tempat yang berjarak tidak jauh dari Kota Solo sekarang. Joko Tingkir akhirnya bisa mengalahkan semua binatang itu.
Bahkan, buaya-buaya tersebut- dalam legenda Joko Tingkir yang diceritakan turun- temurun disebutkan sebanyak 40 ekor-mengabdi kepada Joko Tingkir dan membantunya dengan mendorong getek (rakit) yang ditumpangi pria bernama kecil Mas Karebet itu.
Joko Tingkir sempat beristirahat di Desa Butuh (Sragen). Di tempat ini ia bertemu dengan Ki Ageng Butuh. Setelah mendapat berbagai nasihat, Joko Tingkir melanjutkan perjalanan ke utara lewat sungai.
Perjalanan Joko Tingkir ini bernilai penting karena menjadi titik tolak perubahan besar di dalam hidup pribadinya. Dari semula hanya menjadi orang buangan, Joko Tingkir beralih menjadi menantu Raja Demak, Sultan Trenggana, dan diangkat sebagai Adipati Pajang (situsnya berada di sekitar Solo dan Sukoharjo). Posisi sebagai Adipati Pajang itu memungkinkan Joko Tingkir untuk berikutnya menjadi Sultan Pajang yang bergelar Sultan Hadiwijaya. Sejarah nasional Indonesia mencatat Kerajaan Pajang merupakan "kelanjutan" Kerajaan Demak setelah kematian Sultan Trenggana.
Dalam skala yang lebih makro, perjalanan Joko Tingkir menyusuri Bengawan Solo juga bernilai penting karena menjadi bagian dalam proses perubahan besar tatanan politik Jawa. Munculnya Kerajaan Pajang, yang merupakan embrio Kerajaan Mataram, menggeser pusat kekuasaan Jawa, yang semula berada di pesisir utara-pantai utara (pantura)-Demak menjadi berada di wilayah pedalaman Jawa.
Terinspirasi dari riwayat Joko Tingkir, dibuatlah acara bernama Larung Getek Joko Tingkir dengan rute dari Pesanggrahan Langenharjo di Sukoharjo, sekitar sembilan kilometer sebelah utara Majasta, hingga ke Desa Butuh yang berjarak sekitar 30 kilometer.
Dalam acara larung yang pertama pada tahun 1996, tokoh Joko Tingkir diperankan almarhum Dono "Warkop", sedangkan pada tahun 1997, tokoh itu diperankan Basuki "Srimulat". Mamiek Prakosa memerankan Joko Tingkir pada acara Larung Getek Joko Tingkir tahun 1998. Larung Getek Joko Tingkir ditiadakan pada tahun 1999 karena buruknya kondisi politik dan keamanan akibat tumbangnya rezim Orde Baru. Pada tahun 2000 dan 2001, pemeran Joko Tingkir dalam acara larung itu adalah bintang sinetron Doni Kusumo dan Willy Dozan.
Nama acara Larung Getek Joko Tingkir diubah menjadi Larung Agung Joko Tingkir pada tahun 2002. Pemeran Joko Tingkir saat itu adalah Paundrakarna Sukma Putra, putra Mangkunegoro IX, pemimpin Puro Mangkunegaran. Pada tahun 2003 kegiatan larung juga diselenggarakan, tetapi terbatas di Taman Wisata Satwa Taru Jurug dan tidak menempuh rute Langenharjo-Butuh.
Pada tahun 2004 Larung Agung Joko Tingkir dilakukan tepat tanggal 1 Januari dan tidak pada saat syawalan sebagaimana biasanya. Alasannya, selain untuk memeriahkan perayaan Tahun Baru, juga untuk memanfaatkan elevasi muka air sungai yang cukup tinggi pada setiap awal tahun sehingga jalannya prosesi bisa lancar.
Ketika itu iring-iringan perahu berangkat dari Langenharjo sekitar pukul 11.00, yang ditandai dengan penyerahan pusaka berupa satang getek dari pejabat Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jateng kepada pemeran Joko Tingkir, Gusti Pangeran Haryo (GPH) Benowo, putra Susuhunan Paku Buwono XII, pemimpin Keraton Surakarta Hadiningrat. Dalam acara ini, "Joko Tingkir" menggunakan rakit yang dilengkapi dengan sejumlah patung buaya.
Puluhan ribu warga di sepanjang tepi Bengawan Solo yang menjadi rute larung agung berduyun-duyun menonton iring-iringan itu. Kegembiraan terpancar di wajah penonton yang terdiri dari berbagai usia. Mereka bertepuk tangan dan melambaikan tangan serta tersenyum ceria saat iring-iringan yang terdiri dari sekitar 13 perahu itu melintas di depan mereka.
Sebagian perahu pengiring getek Joko Tingkir dilengkapi dengan atap yang ditulisi nama wilayah yang tergabung dalam eks Karesidenan Surakarta atau Subosukawonosraten (Surakarta, Boyolali, Sukoharjo, Karanganyar, Wonogiri, Sragen, dan Klaten).
Prajurit Keraton Surakarta Hadiningrat dan Puro Mangkunegaran serta finalis Putra-Putri Solo tahun 2003 yang naik di atas perahu pengiring membuat acara larung semarak. Acara kian semarak dengan terdengarnya suara gending Jawa yang dimainkan kelompok karawitan di atas perahu.
Iring-iringan perahu berhenti dua kali, yakni di Taman Jurug dan di Desa Waru, Kecamatan Kebak Kramat, Kabupaten Karanganyar. Saat tiba di Desa Waru, rombongan disambut Bupati Karanganyar Rina Iriani Sri Ratnaningsih. Larung berakhir di Desa Butuh, Kecamatan Plupuh, Sragen, sekitar pukul 15.10.
Kepala Subdinas Pemasaran Wisata Dinas Pariwisata, Seni, dan Budaya Solo Febria Roekmie Evy mengatakan, keberhasilan kegiatan larung agung dalam jangka panjang ditentukan oleh kesanggupan penyelenggara untuk menggelar acara itu secara kontinu dengan tanggal yang sama setiap tahun.
"Kegiatan wisata yang berlangsung secara kontinu dan diselenggarakan pada tanggal yang sama setiap tahun adalah syarat keberhasilan pemasaran wisata. Tanpa promosi besar-besaran, pengunjung akan datang dengan sendirinya karena mereka tahu kapan acara tersebut diselenggarakan," ujar Febria.
Larung agung bisa sukses, kata Febria, berkat kerja sama intensif antarpemerintah kota/kabupaten yang wilayahnya menjadi rute larung agung. "Koordinasi semacam itu bukan soal mudah di era otonomi daerah," ujar Febria.
Joko Tingkir ternyata bukan hanya milik Sungai Bengawan Solo pada masa lalu. Pria penakluk buaya itu juga milik Sungai Bengawan Solo pada masa kini. Sepenggal riwayatnya mampu menghidupkan kembali Bengawan Solo dan memberikan arti bagi masyarakat di sekitar sungai tersebut. (A TOMY TRINUGROHO)
(Kompas, Jumat, 12 Maret 2004)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar