Views
SETUMPUK batu-batuan berbentuk nisan penuh lumut dengan pahatan tak jelas hampir terhapus berserakan di sebidang tanah penuh ilalang liar yang tumbuh subur. Di tengah hujan rintik-rintik, puluhan nisan itu makin tampak kusam akibat lama tak tersentuh. Sekitar lima meter dari nisan-nisan yang berserakan itu, berdiri dua makam berkubah runcing setinggi lima meter bercat putih kusam yang juga diselimuti lumut tebal. Di sebelahnya terpancang papan bertuliskan "Kawasan Ini Dilindungi Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala".
SAAT Kompas diantar masuk ke dalam makam berkubah itu oleh Kepala Desa Sanrobone Abdul Safa’at Daeng Ewa, bau pengap akibat lembab langsung menusuk penciuman. Dua nisan bertulisan kaligrafi Arab gundul yang ditulis dengan pola hias sulur-suluran dan tumbuh-tumbuhan, berjajar rusak tak terpelihara. Makam berkubah itu tampak sebelumnya pernah dipelester dengan semen karena bagian atapnya pernah runtuh akibat dimakan usia.
Di kedua nisan itu terbaring raja-raja yang pada pertengahan tahun 1600-an pernah memerintah salah satu kerajaan tua di Sulawesi Selatan, Kerajaan Sanrobone di Desa Sanrobone, Kecamatan Sanrobone, Kabupaten Takalar, sekitar 200 kilometer dari Makassar. Setidaknya ada 44 nisan dan dua nisan tua di dalam dua makam berkubah itu milik raja ke-14 Karaengta Kalukuan dan Karaeng Timinanga Ri Masigeria bergelar Tuminanga Ri Agurana, ulama penyebar Islam di Sanrobone.
Sekilas makam berkubah Sanrobone tampak sama bentuknya dengan makam berkubah di kompleks pemakaman raja-raja Gowa di Sungguminasa, Kabupaten Gowa (sekitar 40 kilometer dari Makassar). Kesamaan ini konon menunjukkan Kerajaan Gowa, Tallo, dan Sanrobone termasuk kerajaan kembar.
Kompleks pemakaman tua milik raja dan keturunannya seluas 60 x 44 meter persegi itu juga memiliki Masjid Raya Baitul Muqqadis. Menurut Imam Desa Sanrobone Muhtar Ma’uzud Daeng Opa, masjid di tengah desa ini didirikan Syekh Muhyidin yang bergelar Tuantarilima sekaligus menandakan pertama kalinya agama Islam masuk ke Sanrobone, sekitar tahun 1603. Syekh Muhyidin diyakini sebagai orang pertama yang memperkenalkan Islam dan mendirikan shalat Jumat pertama kalinya di Sanrobone.
MEMASUKI kawasan bekas Kerajaan Sanrobone, asrama rumah-rumah panggung setinggi tiga meter terbuat kayu berdiri berpencar-pencar tak beraturan, masing-masing dengan halaman luas. Pohon rindang berjajar di sepanjang jalan masuk desa seakan-akan menjadi pembuka jalan desa. Sinar Matahari yang biasanya menyengat sama sekali tidak terasa saat berjalan menyusuri jalan desa. Hanya pendar sinarnya menyusup di antara dedaunan pohon. Sulit membayangkan pernah ada kerajaan yang menjadi pusat pengembangan agama Islam di sini.
Menuju ke Sanrobone bukan hal mudah. Perlu kesabaran bertanya ke sana ke mari. Dari jalan besar Makassar-Takalar, kendaraan masih harus masuk ke jalan desa sejauh 12 kilometer. Disambung dengan berjalan kaki sekitar setengah jam, barulah tampak sisa benteng Sanrobone selebar empat meter dan setinggi enam meter yang dulunya melingkari kerajaan.
Sisa-sisa benteng yang ada pun hanya sekilas tampak seperti tembok lebar berbatu bata merah biasa sepanjang 20 meter dan dua meriam panjang berkarat tak terpelihara. Selebihnya hanya tanah lapang luas. Lagi-lagi terpancang papan bertuliskan "Kawasan Ini Dilindungi Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala". Sisa tembok benteng yang mengelilingi kawasan kerajaan pun samar-samar tampak di jalan setapak pinggir-pinggir desa yang kini menjadi kawasan tambak.
Menurut Safa’at, Benteng Sanrobone konon runtuh akibat serangan penjajah Belanda. "Benteng Sanrobone dulu hancur bersamaan dengan Benteng Somba Opu. Benteng Sanrobone termasuk salah satu benteng pendukung di sekeliling Benteng Somba Opu milik Kerajaan Gowa. Sisanya masih ada sedikit. Jalan yang kita lewati sekarang, dulu tembok benteng," ujarnya sambil menunjuk tanah berbatu bata merah yang kami injak.
Ma’uzud menambahkan, ketika merobohkan benteng, Belanda melakukannya dengan mengebom lalu menyebarkan isu ada banyak uang ringgit tersimpan di dalam benteng. Alhasil, berbondong-bondonglah masyarakat membongkar benteng demi mencari ringgit. Itulah siasat Belanda menghancurkan benteng tanpa harus melakukan sendiri. Baru setelah benteng hancur dan tidak ada uang ringgit ditemukan, masyarakat menyesal.
Selain itu, kata Safa’at, kompleks benteng Kerajaan Sanrobone termasuk kediaman Raja Baso Karaeng Nyengka, semakin hancur karena terbakar saat DI/TII merajalela. Akibatnya, semua catatan sejarah tentang Sanrobone dan barang kerajaan ludes tak bersisa. Yang tersisa hanya tungku besar terbuat dari batu bata merah untuk membuat roti dan tiang pemancang yang digunakan sebagai penanda upacara pengangkatan Raja Sanrobone. Hanya itu.
MENELUSURI sejarah kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan ternyata bukan hal mudah. Selalu ada sepenggal cerita yang hilang seiring kisah yang diceritakan turun temurun, tanpa satu pun dokumen tertulis resmi. Perlu kesabaran mengurutkan cerita sepotong demi sepotong.
Safa’at menuturkan, Sanrobone yang dipimpin dua pemimpin yakni umara’ (pemimpin pemerintahan) dan amuruguru mukting (ulama) adalah salah satu kerajaan yang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Gowa, yang sekaligus menjadi salah satu benteng pertahanan yang mengelilingi benteng induk, Benteng Somba Opu. Sanrobone dulu terdiri dari tujuh bate (kecamatan) yang dipimpin tujuh gallarang dan karaeng. Kini, Sanrobone terdiri empat desa, yakni Desa Sanrobone, Lagaruda, Pa’dungi, dan Banyoanyara.
Sanrobone termasuk salah satu kerajaan kecil tua, seumur dengan Kerajaan Tallubocoe dan Kattangka. Dampan Cabilon menjadi pemimpin pertama Sanrobone sebelum agama Islam masuk. Setelah Islam masuk, gelarnya menjadi kare dan karaeng dengan memeluk agama campuran antara Islam dan animisme. Setidaknya 23 raja pernah memerintah Sanrobone. Setelah raja terakhir Mallombasa Daeng Mahilo mangkat sekitar tahun 1800-an, berakhirlah kejayaan Sanrobone sebagai kerajaan.
Awalnya Sanrobone dikenal sebagai pusat para tabib yang kerap dipanggil anggota keluarga kerajaan untuk mengobati berbagai penyakit. Dalam perkembangannya, Sanrobone menjadi kerajaan pertama di Gowa yang masuk Islam, lalu menjadi pusat perkembangan Islam di Gowa dan sekitarnya. Hingga kini masih banyak pejabat pemerintahan, khususnya dari Gowa, yang berguru mempelajari tarekat, hakekat, ma’rifat, dan syari’at Islam.
"Kalau ada orang yang merasa akhlaknya kurang bagus, maka akan datang ke Sanrobone untuk berguru. Bahkan, Syekh Yusuf sendirilah yang meresmikan Sanrobone sebagai tempat pengembangan Islam. Kalau mau belajar tarekat, jalan menuju kesempurnaan menghadap Tuhan, ya di sini tempatnya," ujar Imam Desa Sanrobone Muhtar Ma’uzud Daeng Opa.
Awal munculnya kerajaan ini pun memiliki cerita unik dengan berbagai versi. Boleh percaya atau tidak, kata Safa’at, pernah suatu ketika datang seekor burung garuda melayang-layang di dekat pohon besar rindang dan diyakini sebagai penjelmaan Malaikat Jibril. Sayap dan sekujur badan burung garuda itu dipenuhi tulisan berhuruf kaligrafi Arab gundul, isinya semua bercerita tentang hari akhirat. Sejak itu jadilah Sanrobone pusat pengembangan agama Islam.
Seperti sejarah mencatat, segala kebesaran kerajaan Sanrobone telah berakhir. Betapapun kuatnya benteng yang berlapis-lapis, benda fisik itu bisa roboh meninggalkan cerita sejarah yang berkisah turun-temurun. Nisan-nisan tua berlumut dan dikelilingi ilalang liar yang selalu tergenang air setinggi mata kaki jika hujan deras tiba, menjadi saksi bisu sejarah kehebatan Kerajaan Sanrobone masa lalu. Kini yang diperlukan hanyalah selaksa kepedulian untuk mengais-ngais sejarah yang terhapus. (LUKI AULIA)
(Kompas, Minggu, 23 Februari 2003)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar