Pengumuman

Bila tulisan yang Anda cari tidak ada di blog ini, silakan kunjungi hurahura.wordpress.com

Selasa, 24 Maret 2009

Taman Sari, Desain Portugis untuk Raja Jawa

Views


SUATU saat pada pertengahan abad XVIII saat pemerintahan Sri Sultan HB II, di Pantai Laut Selatan tepatnya di Desa Mantingan, sekitar 17 kilometer selatan Kota Yogyakarta, terdampar seorang laki-laki tinggi besar berkulit putih. Hal itu menimbulkan kegemparan, bahkan oleh penduduk orang kulit putih tersebut dikira jin atau makhluk penunggu hutan (bunian). Ia lalu ditangkap penduduk dan dihadapkan kepada Sultan Yogyakarta.Ternyata orang kulit putih tersebut adalah seorang arsitek Portugis yang kapalnya mengalami musibah di Laut Selatan sehingga terdampar. Singkat cerita, oleh Sri Sultan, arsitek tersebut lalu diminta membangun Taman Sari. Ia diberi pangkat Demang, dan diberi nama Demang Portugis sesuai nama negara asalnya. Masyarakat lebih mengenalnya sebagai Demang Tegis.



Kompas/ardhian novianto
GERBANG BARAT - Gerbang ini dulunya tempat raja lewat kalau menuju Taman Sari. Kebesaran raja digambarkan lewat dua patung ular naga di kiri dan kanannya. Bentuk keseluruhan sangat Portugis, mengingatkan kita pada bentuk gedung-gedung besar peninggalan Portugis. Sentuhan Jawa hanya ada pada patung ular naganya.



Taman Sari yang pembangunannya memakan waktu tujuh tahun (1758-1765 M) tersebut hanya dapat dipergunakan sampai masa pemerintahan Sri Sultan HB III. Taman yang indah ini hancur oleh letusan Gunung Merapi pada tahun 1812.

Konstruksi Taman Sari yang sama sekali tanpa tulangan baja, hanya tatanan batu bata dengan perekat saja, membuatnya tidak tahan terhadap guncangan gempa besar akibat letusan Gunung Merapi itu.

Setelah kerusakan tersebut, Taman Sari baru bisa dibersihkan 13 tahun kemudian. Sejak tahun 1830, taman tersebut mulai dihuni penduduk sekitar. Saat ini, lokasi Taman Sari telah dipadati rumah-rumah penduduk.

***

TAMAN merupakan salah satu ungkapan ibadah kepada Tuhan. Taman merupakan cerminan kosmos, sarat dengan aspek kehidupan manusia dikaitkan dengan kebesaran Tuhan. Di Taman Sari, ungkapan ibadah selain dicerminkan dengan berbagai simbol yang memiliki makna sangkan paraning dumadi (asal dari segala yang ada), ditunjukkan pula dengan dirancangnya fasilitas ibadah yang sangat spesifik yaitu masjid berbentuk lorong melingkar susun dua, satu lantai berada di bawah permukaan air, dan satu lantai lagi di atas permukaan air. Karenanya, Taman Sari yang mengandung simbol-simbol transformasi fisik tersebut disebut juga Taman Islam atau Taman Surga.

Namun demikian, bangunan ini juga merupakan manifestasi dari kemampuan kultur Jawa momot, menampung berbagai kebudayaan yang masuk serta memaknainya kembali. Lima tangga di tengah masjid melambangkan lima sholat dalam satu hari. Namun, susunannya yang empat tangga di bawah dan menyatu di tengah membentuk piramida, serta satu tangga menghubungkan puncak piramida dengan lantai mesjid bagian atas, bisa pula diartikan sebagai konsep spiritual Jawa sedulur papat siji pancer.

Hal demikian juga bisa ditemui dalam berbagai bangunan dalam Taman Sari, baik secara sendiri-sendiri maupun sebagai satu kesatuan. Misalnya saja, di Taman Sari terdapat masjid, tetapi di situ juga terdapat sumur gumuling yang merupakan tempat Sri Sultan bersemedi dalam tata cara Kejawen. Atau lebih jauh lagi, sumur gumuling tersebut diyakini juga sebagai tempat pertemuan Sri Sultan dengan Ratu Laut Selatan secara magis. Dengan demikian, bangunan ini juga memperlihatkan kemampuan kultur Jawa menyerap apa saja ke dalam dirinya dan menggabungkannya, yaitu antara kultur Islam dengan kultur Jawa yang diwarnai kultur Hindu dan Buddha yang telah lebih dulu hadir.

***

TAMAN Sari memiliki hampir segala fungsi kehidupan bahkan pemerintahan. Selain tempat rekreasi, Taman Sari juga berfungsi sebagai tempat tetirah di mana raja menenangkan pikiran, berdoa, dan bersemadi. Taman ini juga merupakan tempat pertahanan, bahkan tempat penyelenggaraan pemerintahan.

Oleh karena itu, hirarki masyarakat justru sangat menonjol pada pola penataan Taman Sari, terutama terlihat adanya garis-garis geometri dengan sumbu-sumbu yang sangat kuat. Juga jalan-jalan, atau jalur sirkulasi yang membentang dari utara ke selatan dan dari timur ke barat.



Kompas/ardhian novianto
GERBANG TIMUR - Gedong Gapura Agung ini membatasi Taman Sari dan Istana. Kini merupakan pintu masuk ke Taman Sari, sementara di zaman dulu, masuk ke Taman Sari harus melewati gerbang Barat. Desainnya berbau Jawa dan Portugis.



Dalam hal ini, konsep Taman Sari sangat bertolak belakang dengan konsep taman Cina, meskipun terlihat kesamaan dalam simbolisme pemilihan elemen ruang seperti pemilihan tanaman yang selalu mengandung arti simbolik. Konsep taman Cina memiliki perbedaan yang sangat mencolok dengan konsep bangunan atau kota. Perencanaan bangunan atau kota sangat menonjolkan hirarki ruang yang mencerminkan kekuasaan, sedangkan perencanaan tamannya selalu diarahkan untuk menciptakan lansekap natural seperti yang tercermin dalam lingkungan alam Cina.

Taman Sari memang dibangun sebagai tempat raja bersenang-senang menghibur hati bersama permasisuri, para istri maupun selir, serta anak-anak dan anggota keluarga lainnya. Akan tetapi, Taman Sari juga dibangun seusai perang Giyanti atas prakarsa Sri Sultan HB I yang juga seorang panglima perang. Maka, tidak kalah penting adalah fungsi Taman Sari sebagai tempat pertahanan, lengkap dengan lorong rahasianya.

Sebagai ksatria Sultan tidak boleh lengah sekalipun tengah bersenang-senang bahkan bisa langsung memberikan serangan balik yang mematikan. Hal itu sesuai dengan ungkapan berbahasa Jawa sajroning among suka, tan tinggal duga prayoga, saat bersuka ria tidak pernah lengah akan datangnya mara bahaya. Konsep itu terwujud dalam konstruksi Taman Sari, di mana jika sewaktu-waktu diserang musuh, air akan bisa segera dimasukkan dan menenggelamkan seluruh taman. Sementara itu, raja telah menyelamatkan diri melalui lorong rahasia.

***

BEGITU menawannya Taman Sari, sehingga Sri Sultan lebih sering berada di taman tersebut dari pada berada di keraton. Bahkan, biasanya Sri Sultan tinggal di Taman Sari antara dua sampai tiga bulan lamanya. Sementara tinggal di keraton hanya satu bulan, untuk kemudian kembali ke Taman Sari.

Oleh karenanya, Taman Sari pun seringkali berfungsi pula sebagai tempat pemerintahan, sehingga dikenal pula dengan sebutan Water Kasteel atau Istana Air. Jadi, hampir segala kegiatan ada dalam taman tersebut dari memasak, membuat senjata, tari-tarian, membatik, penyelenggaraan negara, hingga tempat raja bersenang-senang dengan para istri maupun selirnya.

Namun demikian, dalam perbincangan masyarakat yang lebih menonjol justru fungsi bersenang-senang dengan konotasi seks yang kental, serta tempat magis pertemuan Raja dengan Ratu Laut Selatan. Pertemuan magis itu pun masih dalam konotasi hubungan suami istri.

Cerita yang paling populer adalah, bagaimana raja dari atas bagian bangunan yang tinggi menyaksikan para selir mandi di kolam. Kemudian raja melemparkan sekuntum bunga yang akan diperebutkan para selir, yang mendapatkan bunga tersebut adalah yang berhak memadu kasih dengan raja.

Namun, menurut guide resmi Kantor Obyek Wisata Taman Sari Farid (52), Sri Sultan tidak mengenal tata cara melemparkan bunga semacam itu. "Sri Sultan cukup dengan menatap siapa yang dikehendakinya. Tata cara lempar bunga itu mungkin dilakukan oleh adipati ataupun punggawa kerajaan yang membuat tiruan taman sari di kediamannya," katanya. (Ardhian Novianto)

(Kompas, Minggu, 8 Juli 2001)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BUKU-BUKU JURNALISTIK


Kontak Saya

NAMA ANDA :
EMAIL ANDA :
PERIHAL :
PESAN :
MASUKKAN KODE BERIKUT :