Pengumuman

Bila tulisan yang Anda cari tidak ada di blog ini, silakan kunjungi hurahura.wordpress.com

Selasa, 24 Maret 2009

Candra Naya, Riwayatmu Kini

Views

Dirusaknya situs Trowulan menunjukkan betapa bangsa ini kurang menghargai warisan budaya dan sejarah masa lalunya.

Salah satu bangunan warisan budaya Tionghoa Indonesia di Jakarta yang tersia-siakan adalah Gedung Candra Naya. Syukurlah, mulai tahun lalu pemiliknya baru berupaya mengonservasi bangunan inti dan merekonstruksi bangunan samping serta pasebannya.

Arsitek Dr Ir Naniek Widayati Proyomarsono (52) rela merogok koceknya sendiri membayar tenaga satpam selama 11 tahun untuk menyelamatkan sisa-sisa kayu dari bangunan Candra Naya yang dibongkar.




”Kusen-kusen pintu, jendela, balok-balok, dan berbagai ornamen kayu dari bangunan paviliun di samping kiri-kanan bangunan inti yang dibongkar oleh sebuah bank tahun 1994 sempat saya selamatkan,” tuturnya.

Naniek masih sempat mendokumentasikan paviliun sebelum dibongkar untuk akses alat berat. Hasil dokumentasinya itu ia bukukan dalam Rumah Mayor China di Jakarta (2008).

Diperkirakan Candra Naya mulai dibangun pada tahun 1867 oleh ayah Khouw Kim An. Mayor Khouw Kim An lahir di Batavia, 5 Juni 1879. Khouw Kim An sempat mendirikan Bataviaasche Bank. Setelah Jepang mendarat di Jawa tahun 1942, ia ditawan dan meninggal di kamp konsentrasi Cimahi pada 13 Februari 1945.

Setelah Perang Dunia II berakhir, rumah Khouw Kim An disewa untuk kegiatan Perkumpulan Sin Ming Hui (Perhimpunan Sosial Candra Naya.) Di antaranya digunakan untuk Sekolah Muda Teruna.


Dijual oleh tukang loak

Musa Jonatan yang pernah bersekolah di SD Muda Teruna tahun 1969-1973 masih ingat betul keindahan bangunan dan ornamen Candra Naya. Di antaranya empat buah pintu setinggi 2,40 meter tebal 5 sentimeter yang kini dipamerkan di pameran Warisan Budaya Tionghoa Peranakan di Bentara Budaya Jakarta. Ketika diperoleh dua tahun lalu di tukang loak di Kebon Kacang, keempat pintu tinggi itu bercat coklat tua. Namun setelah dikerok catnya, muncul gambar-gambar flora dan fauna yang indah.

”Saya masih ingat karena dulu saya sering memegang-megang pintu-pintu itu yang merupakan pintu akses dari kelas saya ke kantin,” tutur Musa. Panel bawah pintu-pintu tinggi itu bermotif pedupaan (hiolo) yang melambangkan berkat dan keberuntungan.

Masih ada lagi dua pintu angin yang menurut Musa pernah dilihatnya di lantai dua bangunan berlantai dua di belakang bangunan inti. Panel bawah kedua pintu angin ini di kedua sisinya berukir cembung berbentuk pedupaan juga. Prada pada kedua pintu ini masih cukup banyak yang tersisa.

Pintu-pintu itu adalah sebagian saksi bisu betapa warisan budaya yang ada di bumi Indonesia kerap kurang dihargai.(Irwan Julianto)

(Kompas, Sabtu, 24 Januari 2009)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BUKU-BUKU JURNALISTIK


Kontak Saya

NAMA ANDA :
EMAIL ANDA :
PERIHAL :
PESAN :
MASUKKAN KODE BERIKUT :