Pengumuman

Bila tulisan yang Anda cari tidak ada di blog ini, silakan kunjungi hurahura.wordpress.com

Selasa, 24 Maret 2009

Kemaharajaan Majapahit, Nasibmu Kini

Views


KONON sebuah bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya. Namun, ketika badai krisis moneter beberapa waktu lalu mengamuk, ketika urusan politik dan perut yang melilit menjadi urusan nomor satu, puing-puing peninggalan bersejarah yang menjadi bagian saksi perjalanan sebuah bangsa terpaksa harus menunggu mendapat perhatian.

TAK terkecuali bagi sejumlah puing-puing peninggalan bekas kota Kemaharajaan Majapahit di Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur.

Di kawasan Candi Kedaton, wilayah Dukuh Kedaton, Desa Sentonorejo, Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur, ribuan batu bata itu terserak di sebidang tanah. Sebagian tertumpuk membentuk struktur fondasi yang belum nyata benar wujudnya. Bentuk galian tersebut menyerupai parit sedalam lebih dari satu meter dan berkelok-kelok.

Di bagian tengah ada sebuah sumur kuno yang terbuat dari susunan bata. Bentuknya bujur sangkar dengan ukuran 85 x 85 cm yang tertutup batu gilang. Kedalamannya belum diketahui karena hingga sekarang, belum ada orang yang berani membuka mulut sumur ini.

Konon, sumur tersebut mengeluarkan semacam gas racun (upas) sehingga kawasan itu dikenal dengan Sumur Upas atau Candi Sumur Upas. Tak seberapa jauh, terdapat bangunan menyerupai kaki candi yang telah selesai dipugar yang dikenal dengan Candi Kedaton.

Yang melindungi tumpukan batu-batu berusia lebih 700 tahun itu hanya atap dari seng yang ditopang cagak-cagak bambu reyot. Sebuah papan bertuliskan "Dilarang Masuk" tergantung di pinggir pagar bambu yang membatasi kawasan batu berserakan tersebut. Tidak ada kegiatan proyek di tempat itu.

"Dulu, mulai tahun 1995, pernah ada ekskavasi di sini, tetapi terhenti waktu ramai-ramainya krisis moneter lalu. Katanya, belum ada dana untuk melanjutkan," ujar Darsono (27), juru kunci yang telah tujuh tahun menunggui tempat tersebut dan turut pula dalam proyek ekskavasi kawasan Candi Kedaton.

Darsono mengatakan, tempat tersebut oleh sebagian masyarakat dipercayai sebagai tempat berkumpulnya leluhur para Kerajaan Majapahit dan menjadi bagian dari keraton atau pusat Majapahit yang masih menjadi misteri hingga kini.

"Dibandingkan dengan situs lain di Trowulan, kawasan Candi Kedaton dianggap memiliki ’getaran’ lebih sehingga banyak orang yang bertirakat di tempat ini," katanya.

Kondisi serupa ditemui di kawasan situs Candi Gentong yang terletak di wilayah Dukuh Jambu Mente, Desa Bejijong, Kecamatan Trowulan. Candi yang dipercaya warga sekitar sebagai tempat pemandian jenazah itu terhenti ekskavasinya sejak tahun 2000.

Bentuk bangunan candi juga terdiri atas parit seperti di kawasan Candi Kedaton. Bedanya, parit di candi ini tidak berkelok-kelok.

SEBAGAI kerajaan yang pernah berjaya, kemaharajaan Majapahit meninggalkan puing-puing bangunan dan berbagai artefak luar biasa di sekitar 10 x 10 kilometer di Trowulan, Mojokerto.

Balai Penyelamatan Arca Trowulan setidaknya memiliki koleksi 80.000 benda peninggalan sejarah dan purbakala. Sebagian besar berasal dari situs Trowulan.

Demikian juga halnya dengan sisa-sisa bangunan. Meski bukan berupa bangunan kolosal, Majapahit meninggalkan bangunan masa klasik yang tak kalah indah. Sebut saja Candi Brahu, Candi Tikus, Candi Bajang Ratu, dan candi bentar Wringin Lawang.

Hampir semuanya berciri ramping dan menjulang.

Selain itu, ada pula bangunan yang menandai kemajuan teknologi saat itu. Candi Tikus, misalnya, diduga sebagai pengatur debit air di kawasan itu.

Beberapa peninggalan lainnya adalah sejumlah makam kuno seperti Makam Tralaya dan kolam besar yang dikenal dengan nama Kolam Segaran.

Konon, di kolam tersebut keluarga kerajaan menghibur tamu-tamu kerajaan dengan perlengkapan makan istana dari emas yang dibuang ke dalam kolam seusai jamuan. Cerita tersebut sekaligus menggambarkan betapa kayanya Majapahit saat itu.

Hampir semua bangunan tersebut terbuat dari bata merah. Dapat dibayangkan ketika masih dalam kondisi utuh tentunya memberikan kemegahan tersendiri dengan warna merahnya yang menyala.

Kesan mencemaskan terhadap situs bekas kota Majapahit tak dimungkiri Kepala Dinas Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Timur Umiyati Nurudin Shuqib. "Ada alasan teknis yang tidak dimengerti masyarakat awam. Hasil ekskavasi tersebut, misalnya, analisisnya belum sempurna atau belum selesai sehingga belum bisa diambil kesimpulan luas bangunan dan kegunaan sebenarnya bangunan itu. Karena itu, kondisi situs dibiarkan saja ruang terbuka," ujarnya.

Untuk melindungi situs tersebut, pemerintah berupaya dengan memasang cungkup atau atap. Dengan demikian, pengunjung atau peneliti merasa lebih nyaman berada di tempat itu.

Hanya saja sebagian cungkup yang ada sekarang kondisinya, diakui Umiyati, memprihatinkan. Tiangnya terbuat dari bambu reyot. Oleh karena itu, ada kesan, peninggalan sejarah di Trowulan telantar.

"Cungkup di kawasan Candi Kedaton atau Sumur Upas itu, misalnya, pernah tertimpa angin pada Oktober 1999 sehingga roboh dan hancur berantakan. Sudah diberdirikan, tapi masih reyot. Sekarang ini, tidak ada yang berani duduk di sini, kecuali yang tirakatan di Sumur Upas," kata Umiyati.

Sementara itu, proses ekskavasi di kawasan candi tersebut juga sejauh ini dihentikan karena peninggalan di kawasan itu sifatnya multikomponen. Dalam penggalian, selain temuan berupa gerabah, didapati pula tujuh kerangka manusia. Diduga, di samping bangunan masa Majapahit, pernah pula berdiri bangunan masa klasik lainnya dan strukturnya bertumpuk di sana.

Demikian pula halnya dengan kondisi di Candi Gentong II yang berada di balik rimbunan pohon tebu.

Pimpinan Proyek Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Timur sekaligus Ketua Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) Jawa Timur, Prapto Saptono, mengatakan, kawasan Candi Gentong II tersebut masih dalam proses penelitian, hanya saja penelitian terhenti karena keterbatasan dana sekitar tiga tahun lalu.

"Sebenarnya, kawasan itu masih bisa dikembangkan dengan dana ekskavasi atau penelitian cukup selama 2-3 tahun karena temuannya tidak sepadat di Candi Gentong I," ujar Prapto. Adapun di Candi Gentong pertama, ekskavasi di sepanjang batas-batas candi tersebut sudah mencukupi.

Lain lagi ceritanya dengan Candi Menakjinggo. Candi ini memiliki perbedaan dengan bangunan Majapahit lain yang sebagian besar terbuat dari material batu bata. Diduga, Candi Menakjinggo terdiri atas campuran material batu bata dan batu andesit.

Seiring dengan waktu, batu bata candi lapuk dan rusak, sedangkan batu andesit dapat bertahan lebih baik. Dengan kondisinya sekarang, sangat sulit untuk memugar kembali Candi Menakjinggo.

"Sebagian sudah ada yang diselamatkan ke Balai Penyelamatan Arca. Namun, agar pengunjung yang datang ke lapangan tidak kecewa, masih ada sebagian batu yang masih dibiarkan di lokasi penemuan. Kondisi ini dikhawatirkan rawan pencurian. Bahkan, pernah ada yang mau membelinya, seperti pisang goreng saja," ujarnya.

Bahkan, Prapto mengatakan, ancaman kehancuran juga menghantui sebagian bangunan yang sudah selesai dipugar, seperti Candi Tikus dan Candi Brahu. Batu bata tambahan yang digunakan ketika pemugaran mulai hancur dan kalah kuat dengan batu kunonya sendiri sehingga dikhawatirkan bangunan tersebut akan rusak perlahan-lahan.

TERHENTINYA pemugaran dan terbatasnya upaya perawatan terhadap situs di Trowulan, dikatakan Umiyati, tidak terlepas dari minimnya dana untuk penelitian, pemugaran, dan perawatan. Terlebih lagi dengan dilandanya krisis moneter beberapa tahun silam. Reformasi lima tahun belakangan belum banyak berimbas kepada situs-situs peninggalan bersejarah ketika soal politik dan ekonomi menuntut penanganan lebih.

Untuk tahun ini, misalnya, dana yang telah setujui hanya untuk pembuatan cungkup di Sumur Upas. Sebagai gambaran, dari jumlah dana yang diajukan, tidak lebih dari sepuluh persennya yang dikabulkan.

Sempat pula ada proyek khusus Majapahit, di samping proyek pemugaran purbakala Jawa Timur lainnya. Dibuatkan rencana induk pada tahun 1986 dengan landasan konsep Pelestarian dan Pengembangan Situs Arkeologi Bekas Kota Kerajaan Majapahit.

Kawasan Trowulan dibagi menjadi tujuh sel dengan setiap sel terdapat sejumlah bangunan sesuai dengan kedekatan letaknya.

Ia mengatakan, dari rencana induk tahun 1986 itu, beberapa kawasan sudah memiliki visi pengembangan lingkungan situs ke arah sebagai daya tarik obyek wisata.

Masing-masing sel akan dihubungkan dengan jalur sel khusus. Dengan demikian, begitu masuk ke sel utama, pengunjung akan lebih mudah mengunjungi sel-sel lainnya.

Hal ini mengingat luasnya sebaran situs bekas kota Kerajaan Majapahit di Trowulan. Jarak terdekat antarsitus sekitar satu kilometer, sedangkan yang terjauh mencapai 10 kilometer.

Akan tetapi, pengembangan lingkungan kawasan situs itu masih jauh dari harapan. Umiyati mengungkapkan, pelaksanaan rencana induk itu tidak sampai sepuluh persen yang berhasil diwujudkan.

Investor juga telah diundang turut andil. Terhitung sudah ada tiga investor yang tertarik sejak tahun 1999, namun belum ada kabar lanjutannya. Mungkin, kata Umiyati, kemunculan Majapahit dianggap belum tampak sepenuhnya.

"Sekarang, kita tidak bisa berkutik karena dananya kecil. Untuk proyek Jawa Timur, prioritas adalah pembuatan cungkup bagi kawasan Candi Kedaton dan pemugaran sejumlah candi di lokasi lain, kalau ini sudah terlaksana. Semoga tidak ada yang bilang kondisi situs peninggalan sejarah ini mencemaskan," ujar Umiyati.

PUING-puing peninggalan kawasan bekas kota Kerajaan Majapahit bukan sekadar batu yang membisu, tetapi merupakan pintu untuk menengok kejayaan dan pelajaran hidup dari kegemilangan masa lalu. Sekitar 700 tahun silam sejak Majapahit berdiri.

Titik tolak munculnya Kerajaan Majapahit diperhitungkan antara lain setelah Raden Wijaya (Kertarajasa Jayawardhana) naik takhta pada 1294 Masehi.

Masa kejayaan kerajaan itu dicapai pada masa pemerintahan Hayam Wuruk (Sri Rajasanagara) bersama Patih Hamangkubhumi Gadjah Mada. Pada masa keemasan itu, Gadjah Mada melontarkan Sumpah Palapa-nya yang berhasil menyatukan seluruh wilayah Nusantara dalam satu panji-panji Majapahit.

Setelah itu, pengaruh kekuasaan dan kerja sama Majapahit meluas sampai ke luar Nusantara, misalnya dengan negara-negara kecil di Malaya, Siam, Singapura, Campa (Thailand Selatan), Kamboja, India, dan Cina.

Kapan runtuhnya Majapahit? Tidak ada sumber tertulis yang dapat memberikan jawaban tepat tentang keruntuhan Majapahit. Babad Tanah Jawi menyebutkan Kerajaan Majapahit runtuh karena serangan Kerajaan Islam Demak pada 1478 Masehi.

Sementara itu, prasasti-prasasti dan berita-berita asing memberi rambu-rambu runtuhnya Kerajaan Majapahit terjadi pada awal abad XVI Masehi.

Serat Kanda dan serat Darmogandul hanya memberitakan samar-samar tentang penaklukan Majapahit oleh Demak. Pada tahun 1478 Masehi, Bhre Kertabhumi gugur di Keraton Majapahit karena serangan dari Dyah Ranawijaya, anak Bhre Pandan Salas. Tahun itulah yang dijadikan pertanda hilangnya Majapahit, sirna ilang kertaning bumi.

Setidaknya ada beberapa "pusaka" penting yang diwariskan Kerajaan Majapahit. Sebut saja semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Bhinneka tunggal ika tan hana dharmma mangrva diungkapkan oleh cendekiawan keagamaan Majapahit, Mpu Tantular, dalam salah satu kakawin ciptaannya yang berjudul Purudasanta atau lebih dikenal dengan nama Sutasoma.

Ungkapan itu merupakan rumusan dari suatu konsep keagamaan baru. Masalah keagamaan yang rupanya tetap dirasakan aktual pada saat itu adalah hubungan antara agama Hindu Saiwa dan agama Buddha Mahayana. Sejak masa kerajaan kuno di Jawa Tengah sebenarnya kedua agama itu telah hidup berdampingan. Namun, masih tampak jelas bahwa keduanya terpisah satu sama lain.

Bhinneka tunggal ika merupakan rumusan tegas penyamaan antara suatu konsep kebenaran agama Buddha dan konsep kebenaran agama Saiwa.

Pemerintah Kabupaten Mojokerto jelas melihat peninggalan Majapahit sebagai sebuah aset yang luar biasa dan dapat dikembangkan untuk menggembungkan pendapatan asli daerah (PAD) dari sektor pariwisata.

Pengembangan kawasan situs Majapahit rupanya juga sudah mulai dipikirkan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Pada awal tahun 2003, Badan Perencana Pembangunan Provinsi Jawa Timur bekerja sama dengan Universitas Gadjah Mada telah mengeluarkan Laporan Akhir Perencanaan dan Pengembangan Kawasan Majapahit sebagai Pusat Budaya dan Pariwisata di Jawa Timur. (Indira Permanasari)

(Kompas, Jumat, 23 Mei 2003)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BUKU-BUKU JURNALISTIK


Kontak Saya

NAMA ANDA :
EMAIL ANDA :
PERIHAL :
PESAN :
MASUKKAN KODE BERIKUT :