Views
ADA temuan mutakhir berupa delapan lempeng tembaga Prasasti Sapi Kerep (berangka tahun 1275 Masehi) di sebuah sawah milik seorang petani di Desa Sapi Kerep, Kecamatan Sukapura, Probolinggo, Jawa Timur (Jatim), pada Februari-Maret 2001.
PADA Mei tahun yang sama, dari lapak penjual barang loak di Kediri, Jatim, ditemukan pula tiga lempeng kelanjutan Prasasti Mula Malurung (berangka tahun 1255 Masehi). Sebelumnya pada tahun 1975 di daerah yang sama juga ditemukan 10 lempeng prasasti serupa.
Kebanaran sejarah ternyata bersifat hipotetik. Sejarah dapat diperbarui atau direvisi, selama kajian terhadap penemuan-penemuan arkelogis yang menunjang masih terjadi.
Ternyata kajian terhadap temuan Prasasti Mula Malurung dan Sapi Kerep ini terbukti merevisi sejarah Kerajaan Singasari yang kini berkembang.
Revisi yang sangat menonjol, misalnya, dari kisah menyedihkan berupa intrik berdarah untuk perebutan kekuasaan pemerintahan yang tak berkesudahan di Singasari.
Melalui kajian Prasasti Mula Malurung, ternyata ditemukan kisah baru yang mampu mempertajam lagi intrik berdarah tersebut.
Melalui Prasasti Mula Malurung, disebutkan ada tokoh Turuk Bali, sebagai kerabat atau saudara sepupu perempuan Raja Kertanegara (1268-1292 Masehi). Turuk Bali ini kemudian menjadi istri Raja Jayakatwang yang memerintah wilayah kekuasaan Gelang-gelang.
Wilayah Gelang-gelang ini berada di wilayah Kediri. Jayakatwang yang memimpinnya, kemudian bisa diartikan sebagai ipar Kertanegara. Namun pada tahun 1292 Masehi, Jayakatwang ini menyerang Kertanegara dan berhasil mengalahkannya.
Mengawini sepupu Kertanegara, Turuk Bali ini, ternyata bisa dikatakan sebagai strategi Jayakatwang untuk merebut Singasari dari tangan Kertanegara. Jayakatwang menyerang Kertanegara karena dia memiliki dendam turunan. Jayakatwang adalah keturunan dari Kerajaan Kediri yang sebelumnya ditaklukkan Ken Arok, raja Singasari yang pertama.
Adanya penyebutan tokoh baru Turuk Bali yang dikawini Jayakatwang ini pada Prasasti Mula Malurung, kemudian merevisi khazanah pemahaman sejarah yang terjadi di Singasari. Terutama sejarah tragis adanya perebutan kekuasaan berdarah di Singasari.
Intrik yang dipakai cenderung selalu melibatkan salah satu kerabat istana, yaitu setelah Jayakatwang mengawini Turuk Bali dan menjadi bukan orang luar lagi bagi Kerajaan Singasari.
Kisah baru yang menarik dari hasil kajian Prasasti Mula Malurung yang kini disimpan di Museum Nasional Jakarta ini dituturkan Prof Dr Moehammad Habib Mustopo di Malang. Habib menjadi Ketua Ikatan Ahli Epigrafi Indonesia (IAEI) Komisariat Daerah Jatim dan guru besar sejarah di Fakultas Sastra, Universitas Negeri Malang (UM).
"Begitu hebatnya intrik perebutan kekuasaan berdarah di Singasari. Intrik selalu datang dari dalam kerabat lingkungan istana sendiri dan kisah masa lalu ini bisa ditarik manfaatnya untuk masa sekarang," kata Habib.
Intrik perebutan kekuasan berdarah di Singasari bisa dirinci, berawal dari Raja Singasari pertama Ken Arok, yang dibunuh seorang pengalasan atau prajurit atas insiatif Anusapati. Anusapati menjadi anak sah Ken Arok dengan Ken Dedes.
Namun, Anusapati merasa yakin sebagai anak biologis antara Ken Dedes dengan Akuwu Tumapel Tunggul Ametung yang sebelumnya dibunuh Ken Arok. Sebab, ketika Ken Arok mengawini Ken Dedes, Ken Dedes sebelumnya sudah mengandung anak Tunggul Ametung.
Anusapati kemudian dibunuh Tohjaya, anak Ken Arok dengan Ken Umang. Tohjaya kemudian berhasil dibunuh pula oleh Wisnuwardhana, anak dari Anusapati.
Wisnuwardhana ini kemudian memimpin Singasari mulai tahun 1227 hingga 1268 dengan aman. Singasari lalu dipimpin anak Wisnuwardhana bernama Kertanegara (1268-1292).
Ternyata terulang kembali intrik perebutan kekuasaan berdarah oleh Jayakatwang yang telah menjadi orang dalam istana Kertanegara.
Selama ini Jayakatwang dikenalkan sebagai tokoh di luar keluarga istana Singasari. Prasasti Mula Malurung menyibak tabir yang berbeda, seperti diutarakan Habib, Jayakatwang itu adalah ipar dari Raja Kertanegara yang supertangguh. Buktinya ia mampu mengirim prajurit dalam Ekspedisi Pamalayu (1275) ke Melayu (Sumatera).
Tujuannya menggalang persekutuan raja-raja di Pulau Jawa dan Sumatera untuk mengantisipasi serangan ekspansif Khubilai Khan dari Cina.
KEKUASAAN yang diperoleh dengan pertumpahan darah tidak akan mudah untuk dipertahankan. Dendam untuk memperoleh kekuasaan kembali oleh pihak terkalahkan tak mudah dipadamkan. Ini makna masa lalu yang dapat ditarik untuk masa sekarang.
"Belajar sejarah masa lalu, bukan tidak ada gunanya. Maknanya bisa ditarik untuk masa sekarang," kata Habib.
Kemudian dari Prasasti Sapi Kerep yang kini berada di Museum Mpu Tantular Surabaya, menurut Habib, ada revisi lagi tentang sejarah Singasari. Di dalam prasasti ini disebutkan adanya pembangunan Sri Rameswarapura di masa Raja Kertanegara, yang dianggap bangunan itu untuk penghormatan Wisnuwardhana. Ini merevisi sejarah yang selama ini disebutkan, bangunan pendharmaan Wisnuwardhana hanya ada dua, yaitu Candi Jago di Malang dan Candi Weleri di Blitar, Jatim.
Prasasti Sapi Kerep kembali merevisi adanya bangunan pendharmaan Wisnuwardhana sudah bukan dua lagi, melainkan ada tiga. Sebab, sudah harus ditambahkan lagi bangunan Sri Rameswarapura.
Habib mengatakan, besar kemungkinan Sri Rameswarapura masih berada di dekat penemuan Prasasti Sapi Kerep di Sukapura yang masuk kawasan Gunung Bromo-Tengger ini. Ada kesesuaian istilah pura yang melekat antara kata Sri Rameswarapura dan Sukapura.
Dari Prasasti Sapi Kerep masih disebutkan lagi adanya pembagian tanah oleh Raja Kertanegara kepada para pejabat tinggi yang pernah berjasa bagi Kerajaan Singasari. Pembagian luas tanah itu disesuaikan dengan tingkat jabatan masing-masing.
Nama-nama pejabat pada waktu itu unik pula, yaitu dengan menggunakan istilah-istilah untuk sebutan hewan, seperti kerbau, lembu, gajah, atau harimau. Prasasti Sapi Kerep menyebutkan pula, masyarakat di sekitar Sri Rameswarapura diwajibkan untuk memelihara bangunan tersebut.
"Ada bagian yang justru sangat penting dari Prasasti Sapi Kerep yang saat ini belum ditemukan yaitu bagian sambandha, bagian yang menunjukkan alasan untuk apa prasasti itu dikeluarkan Raja Kertanegara dan untuk apa didirikannya Sri Rameswarapura," kata Habib.
Lanjut Habib, dari delapan lempeng Prasasti Sapi Kerep yang sudah ditemukan beserta kotaknya yang masih utuh itu seharusnya memiliki kelengkapan jumlah mencapai 16 lempeng. Ada delapan lempeng lagi yang kini belum diketemukan.
Istilah menarik lainnya, dari istilah Sukapura yang bisa diartikan sebagai tempat untuk bersuka. Di kawasan tersebut pernah pula diketemukan situs yang berkaitan dengan Patih Gajah Mada yang sangat terkenal itu pada masa Kerajaan Majapahit. Gajah Mada pernah dianugerahi sebidang tanah di Sukapura pada usia purna tugas oleh Hayam Wuruk.
"Paling tidak di kawasan Sukapura yang sekarang (masuk kawasan Bromo-Tengger) menjadi tempat yang sangat penting pada masa Singasari dan Majapahit. Ada Sukapura, Sri Rameswarapura, dan Madakaripura," kata Habib.
Pembacaan sementara prasasti Sapi Kerep di lokasi penemuan, dilakukan Habib bersama Dr Machi Suhadi, seorang epigraf dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Jakarta.
Menurut Habib, kisah sejarah Kerajaan Singasari yang ada di wilyah Malang, selama ini masih didasarkan pada Kitab Negarakertagama yang ditulis pada tahun 1365 Masehi dan Kitab Pararaton yang ditulis pada akhir Abad XIX.
Prasasti Mula Malurung telah merevisi (melengkapi) intrik berdarah perebutan kekuasaan Singasari. Selain itu menyebutkan pula beberapa nama tokoh baru di lingkup keluarga istana Singasari.
Prasasti Sapi Kerep menyebutkan kawasan penting di Sukapura. "Adanya kajian dari temuan primer berupa prasasti ini akan mengalahkan cerita sejarah Singasari dari Negarakertagama dan Pararaton. Apalagi di dalam Kitab Negarakertagama yang dibuat pada masa Raja Majapahit Hayam Wuruk itu tidak disebutkan adanya Raja Tohjaya sebagai Raja Singasari," kata Habib.
Di dalam Prasasti Mula Malurung tokoh Raja Tohjaya itu disebutkan. Ini berarti Prasasti Mula Malurung berhasil merehabilitasi nama Tohjaya sebagai salah satu raja Singasari yang juga berasal dari kalangan keluarga istana pula.
Tokoh-tokoh baru yang disebut di dalam Prasasti Mula Malurung, menurut Habib, yaitu Nararya Waninghyun dan Nararya Guningbhaya. Dua tokoh ini sebagai anak Ken Arok pula, selain Anusapati, Tohjaya, dan Mahisa Wong Ateleng. (NAW)
(Kompas, Senin, 31 Maret 2003)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar