Views
Oleh: Indira Permanasari
Yudi Irawan, seorang staf di ruang manuskrip Perpustakaan Nasional, mengeluarkan dengan hati- hati bungkusan dari dalam kotak kertas memanjang. Perlahan kertas tipis pelapisnya disingkapkan dan tampaklah helaian lontar renta. Pinggir-pinggirnya menipis dan menghitam. Di permukaannya terukir huruf melingkar-lingkar seperti cacing.
Naskah itu tertulis dengan huruf buda berbahasa Jawa kuno. Sayang sekali sekarang ini, kata Kepala Bidang Layanan Khusus Perpustakaan Nasional Nindya Noegraha, hanya tersisa tiga orang yang melek terhadap aksara dalam naskah Arjuna Wiwaha itu. Entah sudah berapa tangan yang menyentuh helaian naskah berangka tahun 1592 Masehi itu sepanjang perjalanannya yang lebih dari 400 tahun.
Konon, Arjuna Wiwaha merupakan kakawin gubahan Mpu Kanwa. Adalah Arjuna yang bertapa di Indrakila untuk mendapatkan senjata demi mengalahkan Niwatakawaca. Dalam tapanya, tujuh bidadari datang menggoda Arjuna, tetapi dia tak tergoyahkan. Melihat keteguhannya, Arjuna dipanggil ke kahyangan untuk ikut berperang. Pergilah Arjuna dan Supraba ke Manimantaka. Supraba mendekati Niwatakawaca sehingga tahu rahasianya. Arjuna lalu menantang Niwatakawaca untuk bertempur. Sang musuh akhirnya terbunuh dalam pertempuran itu. Kemenangan Arjuna berbuah manis. Ia dipanggil ke kahyangan, menikah dengan bidadari yang diutus untuk menggodanya tadi, dan Arjuna dinobatkan sebagai raja. Sampai pada waktunya Arjuna harus kembali ke Bumi.
Kuntara Wiryamartana, peneliti naskah Arjuna Wiwaha, bertutur, cerita Arjuna Wiwaha mengandung nilai moral. Seseorang harus dapat menaklukkan diri sendiri agar dapat mengalahkan “si raksasa”, yakni angkara murka pembawa kehancuran.
Naskah itu merupakan koleksi tertua Perpustakaan Nasional Jakarta dan kini tersimpan bersama hampir 10.000 manuskrip lainnya di perpustakaan yang pada 17 Mei 2006 ini merayakan hari jadi ke-26.
Selain Arjuna Wiwaha, terdapat pula naskah dengan nilai sejarah tinggi, antara lain Negarakertagama (Mpu Tantular) yang bercerita tentang Kerajaan Majapahit, Babad Tanah Jawi, Ilaga Ligo, dan Pararaton.
Terdapat pula naskah berupa folklor atau hikayat, seperti Hikayat Hang Tuah dalam huruf Arab di atas kertas Eropa yang telah menguning. Usia buku itu hampir 200 tahun. Konon, pemiliknya mengeramatkannya.
Sebagian naskah-naskah kuno itu merupakan hasil dari ekspedisi orang Belanda yang dikumpulkan oleh Lembaga Kebudayaan Belanda atau sekarang Museum Nasional. Tahun 1989, koleksi naskah museum itu dipindahkan ke Perpustakaan Nasional dan pengumpulan naskah kuno terus berlangsung.
Menurut Kepala Perpustakaan Nasional Dady P Rachmananta, untuk naskah tertentu, lembaganya bersedia memberikan ganti rugi. Namun, terkadang, orang-orang dari daerah datang menawarkan naskah-naskah kuno. “Harganya jutaan, puluhan juta, ratusan juta. Bahkan kami pernah ditawari naskah kuno dengan ganti rugi pembangunan rumah ibadah,” kata Nindya menimpali.
Selain bahan, tak kalah penting ialah isi naskah yang turut menentukan nilainya. Banyak naskah menggambarkan sebuah peristiwa bersejarah, ajaran moral, pantangan, berupa karya sastra, hingga folklor.
Melalui goresan-goresan dalam naskah tercermin akar budaya bangsa yang terbangun dari kearifan lokal. Penggalan sejarah, nilai-nilai, dan kepribadian terekam dalam benda yang kian termakan usia tersebut.
Penambahan koleksi bukan perkara mudah, sekalipun banyak sekali naskah kuno yang tersebar di seluruh pelosok Nusantara dan dikuasai oleh para keluarga pemiliknya. Masih banyak masyarakat yang enggan menerima bantuan pemerintah untuk merawat naskah kuno.
Naskah dianggap keramat dan tidak boleh disentuh orang luar. Akibatnya, dibiarkan rusak secara alami. Ada masyarakat yang berpandangan jika naskah keramatnya lepas, timbul bencana.
Ada sebuah naskah Melayu milik sebuah keluarga di Kabupaten Kerinci. Seorang filolog Amerika, Uli Kozok, pernah melakukan uji karbon terhadap naskah tersebut dan diperkirakan usianya mencapai 700 tahun. Tidak sembarang orang dapat melihatnya. “Bahkan, untuk mengeluarkan dari ruangannya saja butuh ritual adat,” ujarnya.
Untuk beberapa kasus, para pemilik atau penjual lebih rela melepaskan naskah kepada penawar tertinggi. Pembeli luar negeri menyiapkan dollar atau ringgit untuk naskah Melayu. Malaysia berani membayar mahal dan beli di tempat untuk naskah-naskah Melayu itu. Sedangkan Perpustakaan Nasional harus mengikuti prosedur dan menunggu pembelian diprogramkan. “Sekalipun jumlah naskah lebih sedikit dari kami, Perpustakaan Nasional Malaysia memiliki Pusat Manuskrip Melayu,” kata Dady. Untuk bantuan perawatan, katanya, sebetulnya tidak mesti koleksi itu dipindahkan dan dibawa ke Jakarta, sebab dapat dirawat di tempat.
Terkadang naskah-naskah itu hanya disimpan di lemari pakaian, di kotak, bahkan di dalam gentong. Padahal, naskah yang biasanya terbuat dari bahan lontar, kertas, atau kulit kayu kering butuh perlakuan khusus mulai dari suhu, pembasmian jamur, sampai kelembabannya.
Pilihan lain ialah memberi kesempatan kepada Perpustakaan Nasional untuk mendokumentasikannya dalam bentuk mikrofilm, di samping proses alih aksara ke huruf Latin.
Nindya mengungkapkan, untuk alih aksara masih sangat kekurangan tenaga ahli, seperti ahli aksara Arab kuno, Jawa kuno, Lombok, Batak, Bali, dan Makassar. Hanya sekitar 5 persen naskah kuno di Perpustakaan Nasional yang telah dialihaksarakan. “Satu per satu para ahli yang menguasai aksara kuno itu tua dan meninggal. Di sinilah seharusnya peran perguruan tinggi, terutama negeri, mencetak tenaga ahli,” ujarnya.
Dengan atmosfer yang segalanya kini diukur dengan materi, berkutat dengan naskah kuno memang bukan pilihan karier menjanjikan. Pemerintah seharusnya mengambil peran, memberi rangsangan agar ada generasi penerus para ahli itu. Jangan sampai naskah-naskah, seperti Arjuna Wiwaha yang renta itu terbungkam, tak ada yang dapat menyuarakannya lagi.
(Kompas, 17 Mei 2006)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar