Pengumuman

Bila tulisan yang Anda cari tidak ada di blog ini, silakan kunjungi hurahura.wordpress.com

Kamis, 31 Desember 2009

Jender di Masyarakat Jawa Kuno

Oleh HER SUGANDA

Dalam perspektif sejarah, kesetaraan jender antara kaum perempuan dan kaum laki-laki sesungguhnya bukan hal baru. Perempuan Indonesia pada masa Mataram Kuno sampai masa Majapahit sudah memperoleh kedudukan dan peranan setara dengan laki-laki dalam berbagai aspek kehidupan.

Pada masa Jawa Kuno, begitu Titi Surti Nastiti dalam disertasinya, ”Kedudukan dan Peran Perempuan dalam Masyarakat Jawa Kuno Abad 8-15 Masehi” menyimpulkan, kaum perempuan dan laki-laki mempunyai kesempatan sama walaupun dari segi kuantitas tidak sebanyak kaum laki-laki. Menurut peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional itu, kesetaraan dicapai dalam meraih jabatan publik, kegiatan sosial, ekonomi, dunia kesenian, dan lainnya.

Di bidang pemerintahan, istri bisa mempunyai kekuasaan lebih tinggi daripada suaminya. Contohnya, Wikramawarddhana ketika mengeluarkan prasasti Patapan II (1385 M) dan prasasti Tirah atau Karang Bogem (1387 M) yang menggunakan lambang daerah Lasem, daerah kekuasaan Kusumawarddhani, istrinya. Pada saat itu, Wikramawarddhana belum menjadi raja. Penggunaan lambang tersebut mencerminkan kekuasaan Kusumawarddhani lebih besar daripada Wikramawarddhana.

Hal sama terjadi pada Bhre Wirabhumi yang mendapat gelar dari istrinya, Nagarawarddhani. Sebelum menjabat sebagai penguasa Lasem, Nagarawarddhani menjabat penguasa daerah Wirabhumi.

Nastiti melakukan kajian berdasarkan data tekstual dan artefaktual. Data tekstual berupa prasasti dari masa Mataram Kuno sampai masa Majapahit dalam bentuk teks sastra dan kumpulan teks, tertua seperti Ramayana dari masa Rakai Watukura Dyah Balitung sampai teks sastra/hukum dari masa Majapahit. Data artefaktual yang sezaman menggunakan arca, figurin, dan relief.

Kesetaraan kedudukan dan peranan sejak masa Mataram Kuno sampai masa Majapahit berakar pada budaya yang tidak membedakan hak waris di semua kalangan. Hanya ada aturan tertentu yang harus diikuti. Misalnya, untuk menduduki posisi putra/putri mahkota harus anak pertama dari permaisuri.

Contohnya, Sri Rajasawarddhani yang dalam prasasti Kancana/Bunur B menyebutkan, ia anak bungsu Hayam Wuruk. Dari kakawin Nagarakrtagama diketahui yang disebut sebagai Kusumawarddhani adalah putri mahkota. Putra pertama Hayam Wuruk seperti disebutkan teks Pararaton adalah Bhre Wirabhumi. Karena bukan putra dari permaisuri, ia tidak dapat menjadi putra mahkota.


Hak waris


Tidak adanya perbedaan hak waris tersebut memengaruhi konsep domestik dan publik sehingga laki-laki maupun perempuan dapat menjabat jabatan publik asalkan mengikuti ketentuan.

Dalam data prasasti, baik laki-laki maupun perempuan banyak menduduki jabatan pemerintahan sebagaimana dijumpai pada prasasti Juruhan (876 M) dan prasasti Waringin Pitu (1477 M).

Perempuan pada masa itu juga sudah melibatkan diri dalam kegiatan sosial sebagai pendamping suami maupun sebagai diri sendiri. Dalam prasasti Wulig (935 M), Rakai Mangibil, selir Mpu Sindok, meresmikan tiga bendungan. Sedangkan pada relief candi sering ditampilkan raja atau bangsawan ditemani perempuan.

Di bidang ekonomi, terutama kaum perempuan dari kalangan rakyat biasa, kiprah membantu perekonomian keluarga sudah berlangsung lama. Misalnya, menggarap sawah atau ladang dan berniaga sehingga menjadi saudagar (banigrami). Mereka tetap sebagai ibu rumah tangga. Di sela-sela kegiatannya, mereka juga membuat kerajinan untuk digunakan sendiri atau dijual.

Perempuan bukan sebagai alat hiburan semata, tetapi juga menjadi sumber penghasilan keluarga dan ada perempuan profesional dalam bidang seni pertunjukan.

Namun, walaupun kaum perempuan pada masa itu sudah menikmati kesetaraan hampir di semua aspek kehidupan, dalam hal tertentu, terutama di bidang keagamaan, perannya masih lebih rendah dari kaum laki-laki dalam bela dan sati tukon.

Perempuan tidak dapat menjabat sebagai pejabat tertinggi keagamaan atau menjadi kawi. Jika ditelusuri asal muasalnya, adat ini berasal dari kebudayaan India.

Nastiti mengakui, selama meneliti, ia sering kali mengalami kesulitan dalam membedakan jenis kelamin obyek yang diteliti. Apalagi untuk data artefaktual.

Menurut dia, jika pengamatan terhadap raut muka yang dilakukan tidak saksama, bisa menimbulkan kesalahan penafsiran jenis kelaminnya, mengingat raut muka orang tersebut berasal dari raut muka asing, seperti bangsa China dan India.

Untuk membedakan jenis kelamin, ibu dua anak buah perkawinannya dengan Djainuddin Djafar, PhD ini berpegang pada tiga hal. Pertama, jika namanya berakhiran vokal panjang. Kedua, berdasarkan kekerabatan seperti rai/ibu atau nini (nenek), dan, ketiga, berdasarkan kata anakwi dan wadwan. Kedua kata itu digunakan untuk menyebut nama pejabat perempuan atau istri seorang pejabat.

Her Suganda
Anggota Forum Wartawan dan Penulis Jawa Barat

(Kompas, Kamis, 5 November 2009)

Taj Mahal, Riwayatmu Kini


Oleh Pieter P Gero


Bangun tidur lebih dini dan butuh waktu perjalanan lebih dari tiga jam untuk sampai ke Agra bukan sebuah tandingan yang seimbang untuk sebuah peluang melihat langsung Taj Mahal. Bangunan dari pualam putih tembus cahaya yang sarat makna itu sejak tahun 1983 oleh UNESCO menjadi salah satu keajaiban dunia. Sebuah bangunan warisan dunia.

Agra hanya terletak sekitar 200 kilometer di tenggara Delhi, ibu kota India. Ada jalan tol ke sana. Tetapi bus pariwisata yang dikemudikan Vapiba Singh itu tidak bisa tancap gas karena lalu lintas yang ”sangat demokratis”. Jalan tol empat lajur dua arah itu dipenuhi sepeda motor, bajaj, traktor, dan beberapa kali muncul kawanan sapi dan keledai.

Taj Mahal, mausoleum yang dibangun penguasa Mogul, Shah Jahan, bagi istrinya, Mumtaz Mahal, di Agra, India, 12 Oktober. Taj Mahal dengan taman dan kolam yang indah seluas 300 meter persegi di depannya dikunjungi sekitar 4 juta orang setiap tahun. Taj mahal merupakan simbol cinta universal.

Belum lagi saat di Mathura, sekitar 50 kilometer lagi dari Agra, ada aksi protes membakar ban bekas di jalan. Lalu lintas macet total di kedua sisi. Vapida yang tampil dengan gaya rambut berkucir ala suku Mohawk (Indian) hanya bisa menunggu belasan menit sebelum polisi berhasil mengatasi keadaan pada 12 Oktober 2009 itu.

Alhasil, perjalanan dari Delhi selepas pukul 6.00 pagi itu baru bisa menapaki Agra setelah pukul 11.00. Panas matahari menyengat. Tetapi Taj Mahal tetap sebuah magnet dengan daya tarik luar biasa.

Apalagi saat melihat cahaya matahari menerobos pualam putih dari bangunan yang mulai dibangun tahun 1632 dan rampung seluruhnya 21 tahun kemudian itu. Putih bersinar, kontras dibandingkan dengan dua bangunan di samping kiri kanannya dan pelataran warna merah bata yang menjadi tatakannya. Jika bulan purnama, Taj Mahal dibuka karena sinar bulan menerobos, membuat sosok bangunan itu putih di tengah malam.

Tak salah jika UNESCO menyebutkan Taj Mahal sebagai ”permata seni Muslim India dan salah satu masterpiece warisan dunia yang mengagumkan”. Taj Mahal kini lebih dijaga penampilannya, terutama agar tetap tampil bersih. Putih berkilau.

”Kita turun di sini dan selanjutnya menggunakan bus listrik,” ujar Gyanesh, pria bertubuh subur yang bertindak sebagai pemandu wisata. Juga ada kereta kuda. Sudah dua tahun ini otoritas setempat melarang kendaraan dengan mesin beremisi gas buang mendekati Taj Mahal. ”Kecuali mobil pejabat pemerintah atau tamu asing,” ujar Gyanesh. Ratusan pabrik di dekat bangunan itu pun ditutup dan dipindahkan.


20.000 pekerja

Sebelumnya, kubah Taj Mahal kusam, sedikit kuning, akibat polusi udara karena kendaraan yang lalu lalang. Polusi juga datang dari penyulingan minyak di Mathura. Kini kendaraan bermotor konvensional harus jauh lebih dari 2 kilometer. Pokoknya, ditetapkan bahwa wilayah seluas 10.400 kilometer persegi di seputar Taj Mahal harus bebas kendaraan bermotor.

”Ini bukan masjid, tetapi mausoleum yang dibangun imperium Mogul, Shah Jahan, untuk makam sekaligus mengenang istri tersayangnya, Mumtaz Mahal,” ujar Gyanesh di depan gerbang utara sebelum masuk ke taman dan kolam seluas 300 meter persegi yang terbentang indah di depan Taj Mahal.

Gerbang besar setinggi puluhan meter ini dihiasi kaligrafi yang diambil dari ayat-ayat Al Quran. Di sekitar gerbang utama ini puluhan kamar yang menyatu seperti pagar menghubungkan gerbang barat dan timur. ”Kamar-kamar ini tadinya dipergunakan sebagai tempat tinggal para pekerja Taj Mahal,” tutur Gyanesh lagi.

Taj Mahal mulai dibangun tahun 1632, setahun setelah Mumtaz Mahal meninggal dunia sesudah melahirkan anak ke-14. Sekitar 20.000 artis, pemahat, dan pekerja dari seluruh India serta Asia dikerahkan untuk membuat Taj Mahal. Lebih dari 1.000 gajah terlibat untuk menarik pualam tembus cahaya dari Rajasthan (India Barat), Tibet, dan Afganistan. Jasper (batu warna-warni) dari Punjab, kristal serta permata jade dari China, Sri Lanka, dan Arab. Ada 28 jenis batu permata dan sejenisnya yang dipakai di Taj Mahal.

Mumtaz, istri ketiga Shah Jahan, sangat disayang karena memberikan keturunan. Selain cantik, Mumtaz juga sering mengikuti suaminya berperang menunggang kuda atau gajah. Namun, kesetiaannya ini membuat posisi janin bayi ke-14 sungsang. Bayinya selamat, tetapi nyawanya tidak tertolong. Usianya sekitar 38 tahun. ”Mumtaz punya tiga pesan. Dua pesan klasik seperti jaga anak- anak dan jangan menikah lagi. Pesan ketiga, ’Bangun makam yang indah bagi saya di tepi sungai’,” ujar Gyanesh yang asli Agra.

Shah Jahan pun membangun Taj Mahal tepat di tepi Sungai Yamuna. Sungai yang juga membela Delhi ini berhulu di Kashmir dan menyatu dengan Sungai Gangga. Sekalipun saat itu perlu dana untuk perang, Jahan yang sayang kepada Mumtaz mengeluarkan biaya 32 juta rupee (saat itu) atau sekitar Rp 720 juta untuk Taj Mahal.

Karena menjadi simbol cinta yang universal, Taj Mahal pun ramai dikunjungi. Siang itu ada ribuan orang yang ke sana. ”Orang asing membayar 750 rupee (sekitar Rp 150.000). Orang lokal 25 rupee (sekitar Rp 5.000),” ujar Gyanesh. Semua sepatu dicopot saat masuk pelataran. Orang asing diberikan pelindung khusus sepatu.


Makam

Tangga menuju makam diberikan pelindung besi biar tidak tergerus. Maklum, dua hingga empat juta pengunjung setiap tahun ke sana. Lebih dari 200.000 pengunjung adalah turis asing. Siang itu ada beberapa artis Bollywood yang juga bergabung. Taj Mahal memaksa banyak kepala negara seperti Presiden Rusia Vladimir dan istrinya, Lyudmila Putin, ke sana tahun 2000.

Di dalam mausoleum itu bisa terlihat makam Mumtaz tepat di tengah kubah dan makam Shah Jahan di sisi kanannya. ”Tetapi itu makam tiruan biar bisa dilihat pengunjung,” ujar Gyanesh. Ke makam asli harus menuruni tangga 2-3 meter. Demi alasan praktis, makam asli itu tak bisa dilihat.

Jika memandang dinding dalam seputar makam, terlihat betapa hebat dan indahnya seni interior menggunakan berbagai batu permata yang ada. Batu permata, merah, hijau, hitam, ditanam dalam marbel putih. Sebuah teknik yang sangat khusus. Pemandu turis di dalam makam menggunakan senter untuk memperlihatkan bagaimana cahaya bisa menerobos batu-batu indah itu. Lebih indah jika cahaya kekuatan besar menerobos.

Pelataran di belakang makam luasnya hingga ke tepi Sungai Yamuna, membuat banyak pengunjung seusai melihat makam Mumtaz Mahal bisa berleha-leha di sana sebelum pulang lewat gerbang utama. Di sebelah timur Taj Mahal terlihat Benteng Merah, pusat kerajaan Mogul waktu itu.

Taj Mahal terlalu kuat, sangat indah, penuh makna untuk tidak sampai dinikmati siapa pun. Tak heran Taj Mahal menjadi salah satu dari Tujuh Keajaiban Dunia. Dan, ada 100 juta suara yang mendukung Taj Mahal masuk Tujuh Keajaiban Dunia versi terbaru. Tak sia-sia perjalanan meski hari itu harus tiba lagi di Delhi menjelang tengah malam.

(Kompas, Kamis, 5 November 2009)


Telur Dinosaurus Berusia 65 Juta Tahun Ditemukan


Chennai, Jumat - Para ahli geologi India mengumumkan telah menemukan sebuah kluster berisi fosil telur-telur dinosaurus. Fosil telur yang diperkirakan sudah berusia sekitar 65 juta tahun itu ditemukan di sebuah kampung di Tamil Nadu, India selatan.

Tidak hanya telur, para ahli geologi itu juga menemukan potongan-potongan tubuh dinosaurus. ”Kami menemukan ada berlapis-lapis bulatan telur dan juga bagian-bagian tubuh dinosaurus. Setiap kelompok (kluster) berisi sekitar delapan telur,” kata M Ramkumar, ahli geologi dari Universitas Periyar, yang memimpin tim survei kepada surat kabar The Hindu, Kamis (1/10).

Dia menjelaskan, telur-telur itu rata-rata berdiameter 13-20 sentimeter (5-8 inci), terletak di dalam sarang yang terbuat dari pasir selebar sekitar 1,2 meter (4 kaki). Penemuan yang mencengangkan itu terjadi dalam sebuah survei atau studi yang didanai Pemerintah India dan institusi ilmiah dari Jerman.

Kelompok telur-telur itu berada di bawah abu hasil letusan gunung berapi di dataran Deccan, yang menurut geolog bisa membuat dinosaurus punah. Situs sarang dinosaurus ini ditemukan tepatnya di sepanjang tepi dan dasar Sungai Cauvery. Tidak hanya kluster-kluster fosil telur dinosaurus, tetapi juga kotor- an dan sisa-sisa tulang dinosaurus.

Tempat di mana fosil telur dinosaurus ditemukan itu, diduga, merupakan tempat permanen yang selalu didatangi dinosaurus untuk berkembang biak. ”Kemunculan telur-telur yang tidak menetas dalam jumlah besar pada berbagai tingkat stratigrafik menunjukkan bahwa dinosaurus selalu kembali ke situs yang sama untuk bersarang,” kata Anbarasu, anggota tim survei yang lain.

Para peneliti telah meminta pejabat setempat untuk mengamankan situs tersebut karena sejak penemuan serupa di utara India, muncul aksi penjarahan fosil. (REUTERS/CAL)

(Kompas, Sabtu, 3 Oktober 2009)


305 Keramik Kuno Hancur akibat Gempa

Ratusan Naskah Kuno Musnah Tergilas Saat Pencarian Korban

Padang, Kompas - Sebanyak 305 buah keramik kuno koleksi Museum Adityawarman, Padang, Sumatera Barat, hancur akibat gempa bumi 30 September lalu di Sumbar. Kemusnahan juga terjadi pada ratusan naskah kuno adat Minangkabau yang tersimpan di Perpustakaan Daerah Sumbar.

Kepala Museum Adityawarman, Padang, Usria Dhavida, Jumat (16/10), mengungkapkan, keramik-keramik kuno yang hancur sebagian besar merupakan peninggalan Dinasti Song (960-1279), Ming (1369-1644), dan Ching (1644-1911). Ada pula keramik buatan Eropa zaman kolonial Belanda dan keramik asal Jepang yang dibuat saat masa pendudukan Jepang.

”Kerusakan pada koleksi-koleksi ini sungguh kerugian besar, bukan hanya bagi museum, melainkan juga bagi masyarakat. Nilai sejarah keramik-keramik itu tak ternilai secara materi karena begitu hancur tak mungkin tergantikan,” ujar Usria.

Saat gempa berkekuatan 7,9 skala Richter mengguncang Sumbar, 305 keramik tersebut sebagian besar tersimpan di fitrin atau rak di dalam gudang penyimpanan. Akibat guncangan gempa, rak-rak tersebut tumbang ke lantai dan mengempaskan ratusan keramik kuno tersebut hingga pecah berantakan.

Sebagian puing-puing tersebut masih terlihat di lantai gudang pada Jumat kemarin. Sebagian lainnya telah dimasukkan ke dalam sejumlah kardus oleh petugas museum.

Hancurnya 305 keramik tersebut berarti 50 persen lebih koleksi keramik yang tersimpan di Museum Adityawarman telah musnah. Sebagian besar keramik yang masih tersimpan adalah gerabah dan tembikar kuno khas Minangkabau yang dibuat awal abad ke-19 dan ke-20.

Tim dari Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) telah meninjau kerusakan benda-benda bersejarah di museum tersebut. Tim itu menjanjikan akan mendatangkan tim ahli untuk merestorasi keramik-keramik kuno yang hancur.

Bencana gempa juga telah memusnahkan hampir semua koleksi Perpustakaan Daerah Sumbar di Padang. Dari 565.000 koleksi buku dan bermacam jenis terbitan, kurang dari 10 persen yang terselamatkan, sisanya telah hancur bersama runtuhnya gedung perpustakaan tersebut.

Yang paling menyedihkan, dari ratusan ribu koleksi yang musnah itu, ratusan di antaranya adalah naskah kuno adat budaya Minangkabau. Naskah-naskah tersebut merupakan terbitan asli dan tak ada duanya saat ini. Di antara naskah-naskah kuno yang hilang tersebut adalah naskah tentang tuntunan upacara dan norma adat Minang, buku deposit Minangkabau, serta Al Quran tulisan tangan yang dibuat sekitar 300 tahun silam.

Rusaknya koleksi-koleksi perpustakaan tersebut, selain tertimbun material bangunan, juga akibat aktivitas evakuasi empat jenazah yang diduga tertimbun di reruntuhan bangunan perpustakaan. Aktivitas pencarian jenazah telah menggilas ribuan koleksi berharga di perpustakaan itu. (HAN/MHD)

(Kompas, Sabtu, 17 Oktober 2009)

Minggu, 27 Desember 2009

Ekskavasi Trowulan Terancam Hujan

Aliran Air dan Tenda Sementara Dibuat

Mojokerto, Kompas - Ekskavasi tahap kedua pembangunan Pusat Informasi Majapahit di Situs Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, terancam hujan. Struktur bangunan peninggalan zaman Majapahit yang sudah dikupas dikhawatirkan rusak jika tergenang air.



Sejumlah lulusan baru Jurusan Arkeologi Universitas Indonesia dan Universitas Gadjah Mada tengah meninjau lokasi ekskavasi di lokasi pembangunan Pusat Informasi Majapahit (PIM) di Situs Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, Senin (12/10). Mereka di bawah bimbingan salah seorang anggota tim evaluasi pembangunan PIM, Osrifoel Oesman. Mereka akan dilibatkan dalam ekskavasi tahap kedua yang direncanakan berakhir pada 26 Oktober 2009. (KOMPAS/INGKI RINALDI)

Direktur Peninggalan Purbakala Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Junus Satrio Atmodjo, Rabu (14/10), mengkhawatirkan, aliran air hujan diperkirakan bakal memicu kecepatan rontoknya dinding-dinding lubang kotak yang telah digali. Selain itu, kepekatan air yang tinggi diduga bakal membuat struktur rapuh yang sudah dikupas ambrol.

Ia menambahkan, kekhawatiran lain adalah faktor rembesan air tanah dari bawah yang bisa mengancam temuan batu bata kuno. Menurut Junus, batu bata kuno yang sudah dikuak dikhawatirkan bakal lebih mudah diserang jamur dan ditumbuhi tanaman, retak, atau pecah.

Untuk mengantisipasi itu, Junus mengatakan, saat ini pihaknya sedang merencanakan pengatapan sementara terhadap kawasan yang sudah diekskavasi. Adapun luas ekskavasi tahap kedua sekitar 546 meter persegi.


Membuat aliran air

Ketua Tim Evaluasi Pusat Informasi Majapahit (PIM) Prof Mundardjito mengatakan, musim hujan yang akan segera datang tidak perlu dikhawatirkan. ”Kami punya ahli yang sudah mengetahui ke mana aliran air hujan nanti akan mengarah,” ujar Mundardjito.

Arah aliran air yang bakal diatur itu diharapkan tidak terlalu berpengaruh terhadap percepatan laju perusakan situs.

Selain itu, lanjut Mundardjito, tim saat ini sedang mempersiapkan sebuah bangunan tenda sementara untuk melindungi kawasan situs yang sudah diekskavasi.

Salah seorang anggota Tim Evaluasi PIM, Osrifoel Oesman, menegaskan, ekskavasi yang dilakukan tidak akan mengikuti alur pembangunan PIM pada 2008 lalu, yang merusak sebagian situs.

Berdasarkan catatan Kompas, proyek PIM yang dirancang oleh arsitek Baskoro Tedjo itu memakan lahan seluas 2.190 meter persegi. Namun, berdasarkan pengukuran terakhir Tim Evaluasi PIM, total luas lahan pembangunan PIM berupa bangunan berbentuk bintang bersudut delapan, yang disebut Surya Majapahit, seluas 3.100 meter persegi. (INK)

(Kompas, Kamis, 15 Oktober 2009)

Fondasi Kerajaan Ditemukan

Diduga Kuat Peninggalan Kerajaan Kanjuruhan

Malang, Kompas - Struktur fondasi bangunan terbuat dari bata kuno dan serpihan gerabah secara tidak sengaja ditemukan di sebuah lokasi pengembangan perumahan di Kota Malang. Temuan tersebut diduga merupakan peninggalan masa Kerajaan Kanjuruhan.

Serpihan gerabah dan bata kuno ditemukan saat pengembang perumahan Planet Regency mulai membuka lahan di Jalan Tata Suryo Dinoyo. Lokasinya sekitar 30 meter dari tepi Sungai Brantas.

Bata-bata kuno berukuran 22 cm x 12 cm x 9 cm masih tersusun berbentuk semacam fondasi. Pada bagian bawahnya terdapat bebatuan yang tersusun rapi layaknya konstruksi penguat fondasi bangunan.

”Dari susunan bata yang masih intake ini, kemungkinan adalah fondasi bangunan elite era Kerajaan Kanjuruhan. Sebab, pada zaman itu rumah orang biasa tidak memakai lantai,” ujar arkeolog Universitas Negeri Malang, Dwi Cahyono, saat meninjau lokasi, Kamis (15/10).

Prasasti Kanjuruhan atau Prasasti Dinoyo I yang ditemukan di daerah Karangbesuki, Kota Malang (sekitar Candi Badut), menyebutkan bahwa pada abad ke-8 Masehi di tepi Sungai Metro berdiri Kerajaan Kanjuruhan. Namun, kemudian pada abad ke-9, seusai ekspansi Mataram Kuno (dari Jawa Tengah) ke Jawa Timur, diduga pusat Kanjuruhan ini pun bergeser ke utara ke arah Dinoyo dan Tlogomas mendekati Sungai Brantas. Kanjuruhan saat itu sudah berubah menjadi kerajaan bawahan Mataram.

”Sejarah itu menjelaskan peran penting Dinoyo dan Tlogomas. Ditambah lagi pada tahun 1980-an di sekitar STAIN Dinoyo ditemukan prasasti Dinoyo II. Ditemukan juga umpak-umpak besar yang kini masih ada di Universitas Gajayana. Di sebelah kanan SPBU Dinoyo juga ditemukan arung (saluran drainase),” tutur Dwi.


Turunkan tim


Dengan temuan tersebut, Dwi berharap pemerintah daerah responsif untuk meneliti struktur bersejarah tersebut. ”Nanti dari penelitian itu, kalau memang dianggap penting, bisa dikembangkan apakah pembangunan di lahan tersebut perlu dihentikan atau tidak. Yang penting pertama kali harus diteliti dahulu bagaimana arti penting temuan di lokasi ini,” ujarnya.

Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Malang Rr Diana Ina Wahyu Hidayati mengatakan, pihaknya akan menurunkan tim ke lokasi temuan. ”Hanya saja, untuk mengalokasikan sejumlah anggaran untuk ekskavasi atau lainnya, kemungkinan baru bisa dilakukan tahun depan. Hal itu karena saat ini saja kami tengah menyusun anggaran kegiatan untuk tahun 2010,” ujarnya.

Anggaran Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Malang yang akan diusulkan untuk tahun 2010, menurut Diana, hanya sekitar Rp 100 juta. Dana tersebut akan dibagi untuk sejumlah kegiatan, antara lain, adalah pelabelan bangunan bersejarah dan pendataan situs-situs di Kota Malang. (DIA)

(Kompas, Jumat, 16 Oktober 2009)

Ditemukan Pecahan Keramik Abad XII

Ekspedisi Sriwijaya Teliti Situs Air Sugihan

KAYU AGUNG, KOMPAS.com — Pecahan keramik lokal dan keramik China yang diperkirakan dari abad XII ditemukan warga Desa Kertamukti, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. Temuan langsung ditunjukkan kepada tim ekspedisi Sriwijaya yang sedang mengunjungi Situs Air Sugihan.

Di Situs Air Sugihan, Desa Kertamukti, Kabupaten Ogan Komering Ilir, pernah ditemukan tiang-tiang dari kayu nibung (sejenis kelapa) yang dulu merupakan tiang rumah panggung. Tiang kayu itu diperkirakan berasal dari masa pra-Sriwijaya atau sebelum abad VII Masehi sampai ke masa yang lebih modern pada abad XIII. Di Situs Air Sugihan juga ditemukan manik-manik, batu asahan, kendi, dan kepingan benda-benda dari emas. Temuan ini menguatkan dugaan bahwa kawasan tersebut merupakan tempat aktivitas masyarakat pada saat itu.

Peneliti Balai Arkeologi Palembang, Tri Marhaeni, akhir pekan lalu, mengatakan, tempat penemuan pecahan keramik oleh warga tersebut terletak di Situs Kertamukti III. Di Desa Kertamukti terdapat 10 situs purbakala, sedangkan di Kecamatan Air Sugihan terdapat 15 situs purbakala.

Menurut Tri, pecahan keramik yang baru ditemukan warga merupakan keramik buatan lokal dan keramik buatan China dari Dinasti Sung abad XII Masehi. Keramik buatan lokal tampak dari warnanya yang kehitaman, sedangkan keramik China buatannya lebih halus dan mengilap.

Tri menambahkan, Situs Air Sugihan terletak di pinggir sungai lama yang sekarang telah kering. Sungai tersebut merupakan anak dari Sungai Sugihan.

Daromi, warga yang menemukan pecahan keramik, mengatakan, pecahan keramik ditemukannya di lokasi situs tiang kayu nibung di belakang rumahnya. Saat itu Daromi bermaksud membersihkan situs tiang kayu nibung karena akan dikunjungi tim ekspedisi Sriwijaya. ”Pada 2 Oktober saya juga menemukan pecahan keramik di tempat yang sama,” ujarnya. Di Desa Kertamukti sejak tahun 1990-an sering ditemukan benda purbakala. (WAD)

(Kompas, Senin, 12 Oktober 2009)

Kamis, 17 Desember 2009

BENTENG VASTENBURG: Depbudpar Tolak Pembangunan Hotel


Solo, Kompas - Departemen Kebudayaan dan Pariwisata menolak rencana pembangunan hotel dan mal di situs Benteng Vastenburg di Kota Solo, Jawa Tengah, karena dianggap akan merusak bangunan cagar budaya, situs, dan lingkungannya. Masyarakat mendesak pemerintah agar mengembalikan benteng tersebut kepada negara.

Ketua Presidium Komunitas Peduli Cagar Budaya Nusantara (KPCBN) Agus Anwari menyatakan, Selasa (29/9) di Solo, pihaknya menerima surat dari Direktur Peninggalan Sejarah, Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala, Depbudpar, Junus Satrio Atmodjo pada Senin berisi jawaban atas surat KPCBN kepada Menteri Kebudayaan dan Pariwisata tertanggal 7 September 2009.

KPCBN mendesak Menbudpar serta Menteri Pertahanan agar tidak memberikan rekomendasi kepada investor PT Benteng Gapura Tama yang akan membangun hotel dan pusat perbelanjaan modern di areal benteng peninggalan Belanda yang dibangun pada tahun 1757 itu.

Dalam surat itu, Depbudpar menyatakan penghargaan dan dukungan terhadap aspirasi KPCBN untuk melestarikan Benteng Vastenburg.

”Benteng dan lingkungannya tetap dapat dikelola oleh pihak swasta. Namun, tanpa melakukan pengurangan, penambahan, perubahan, pemindahan, pembongkaran, dan pendirian bangunan baru di dalam dan di sekitarnya,” demikian isi surat Depbudpar.

Agus menambahkan, menyusul surat dari Depbudpar, KPCBN meminta Wali Kota Solo tidak menerbitkan izin mendirikan bangunan berbentuk apa pun di kawasan Benteng Vastenburg kepada pihak investor.

Wali Kota juga diminta mengeluarkan surat keputusan yang melarang siapa pun melakukan pengurangan, penambahan, perubahan, pemindahan, pembongkaran, dan pendirian bangunan baru di dalam dan sekitar benteng.

”Kami mendesak Pemerintah Kota Solo agar mengeluarkan situs Benteng Vastenburg sebagai area komersial di dalam rencana tata ruang dan tata kota. Kami juga meminta pemerintah mengembalikan kepemilikan Benteng Vastenburg kepada negara,” kata Agus. (ASA)

(Kompas, Rabu, 30 September 2009)

BENDA CAGAR BUDAYA: Masjid-masjid Tua di Aceh


Pertama kali mendapat pengaruh Islam, Aceh memiliki banyak peninggalan bersejarah, terutama masjid-masjid berusia ratusan tahun. Baik pada masa Kerajaan Samudera Pasai—kerajaan Islam pertama di Nusantara—maupun pada masa penjajahan, masjid-masjid tidak hanya sebagai tempat ibadah, melainkan juga sebagai tempat kegiatan sosial, termasuk pendidikan. Bahkan, masjid juga sebagai pusat kebudayaan Islam.

Sebagian besar masjid itu sekarang kurang terawat. Kurang mendapat perhatian. Untuk itu, Direktorat Sejarah dan Purbakala Departemen Kebudayaan dan Pariwisata berusaha mewujudkan kesadaran sejarah masyarakat yang akhirnya mampu memperkokoh integrasi bangsa dengan cara memublikasikan fungsi dan peranan masjid-masjid bersejarah tersebut,” kata Direktur Nilai Sejarah Direktorat Sejarah dan Purbakala Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Sabri beberapa waktu lalu di Jakarta.

Sabri mengatakan, untuk memperkenalkan kembali masjid-masjid bersejarah di provinsi berjuluk ”Serambi Mekkah” itu, Depbudpar telah mengundang sejumlah wartawan mengunjungi masjid-masjid tua di Kota Banda Aceh, Kabupaten Aceh Besar, Kabupaten Pidie, Kabupaten Aceh Barat, dan Kota Sabang.


Kurang terawat

Keberadaan masjid pascabencana tsunami, 26 Desember 2004, seperti sebuah keajaiban yang diperlihatkan Sang Pencipta. Bayangkan, bangunan di sekitar roboh dan hanyut dihantam tsunami, tetapi masjid berdiri kokoh dan hanya sedikit mengalami kerusakan.

Warga yang berlindung di masjid selamat dari tsunami. Masjid Raya Baiturrahman dan Masjid Baiturrahim, di pusat Kota Banda Aceh, misalnya, sampai sekarang sudah menjadi tujuan wisata. Setiap hari masjid itu ramai dikunjungi wisatawan Nusantara dan mancanegara.

Kompas mencermati, tidak hanya di Kota Banda Aceh. Di kota/kabupaten lain di Provinsi Aceh juga memiliki kekayaan khazanah bangsa berupa masjid tua. Selain menarik digali dan dikaji sejarah dan arsitekturnya, masjid kuno di Aceh juga bisa dikembangkan sebagai obyek wisata spiritual.

”Provinsi Aceh memiliki banyak masjid bernilai sejarah, berusia ratusan tahun. Perlu digali kesejarahannya dan dikaji arsitekturnya untuk pengetahuan masyarakat. Juga menarik untuk dijadikan obyek wisata spiritual,” kata Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam Irwandi Yusuf.

Bupati Aceh Besar Bukhari Daud secara terpisah di Indrapuri mengatakan, masjid tua di Aceh Besar, yakni Benteng Masjid Indrapuri, yang dibangun abad ke-10 Masehi, juga menginspirasi arsitektur Masjid Muslimin Pancasila di sejumlah daerah di Nusantara. Bahkan, masjid tertua dan terkenal di Demak pun mencontoh arsitektur Benteng Masjid Indrapuri.

Di Desa Manjing, Kecamatan Pantai Cermin, Kabupaten Aceh Barat, didapati masjid tua yang dimakan rayap, yakni Majid Tuha Manjing. ”Masjid ini sangat layak dijadikan benda cagar budaya dan direkonstruksi,” kata Dahlia, Kepala Seksi Pelestarian dan Pemanfaatan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Aceh.

Di Sabang, Masjid Jamik Baiturrahman, masjid tempat jemaah calon haji Indonesia dikarantina sebelum diberangkatkan dengan kapal ke Mekkah pada masa-masa sebelum 1924, karena kurang sosialisasi tentang benda cagar budaya sudah berubah bentuk.

”Masjid ini sangat bersejarah bagi umat Islam di Indonesia. Ketika orang Indonesia naik haji ke Mekkah, yang dulu satu-satunya dengan perjalanan laut, jemaah calon haji dari sejumlah daerah di Indonesia dikarantina di Masjid Jamik Baiturrahman sebelum diberangkatkan dari Pelabuhan Sabang. Di seputar masjid terdapat penginapan,” kata Jamin Seda, anggota staf Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Sabang.

Direktur Nilai Sejarah Direktorat Sejarah dan Purbakala Departemen Kebudayaan dan Pariwisata sangat menyayangkan kondisi Masjid Jamik Baiturrahman sudah berubah bentuk.

”Ini akibat kurang tersosialisasinya Undang-Undang tentang Benda Cagar Budaya di Provinsi Aceh. Mestinya, kalau ingin membangun masjid, jangan mengubah dan menghancurkan masjid tua yang sudah bisa dikategorikan benda cagar budaya. Namun, bangun masjid baru berdampingan dengan masjid tua,” kata Sabri.

Jika di Sabang masjid tua sudah berubah bentuk, di Kabupaten Pidie, masjid tua Tengku Chik di Pasi yang dibangun abad ke-17 di Gampong Guci Rumpong, Kecamatan Peukan Baro, tetap terpelihara baik. Di sisi kanan dibangun masjid baru yang lebih luas.

Walaupun terpelihara baik, sangat disayangkan juga karena terjadi perubahan mencolok, seperti pengecatan seluruh unsur-unsur bangunan, yaitu dinding, tiang, dan pola hias pada balok-balok pengikat.

Di depan masjid di sisi utara terdapat dua buah guci Siam dengan warna glasir coklat tua, yang diletakkan dalam sebuah cangkup, merupakan hadiah dari Kerajaan China. Air yang diambil dari guci, menurut warga setempat, diyakini bisa mengobati segala penyakit. Masjid tua ini banyak dikunjungi warga Aceh dan juga wisatawan luar negeri, terutama Malaysia.

Hal yang sama juga terjadi di Masjid Gunong Kelang di Gampong Gunong Kleng, Kecamatan Kaway XVI, Kabupaten Aceh Barat.

Masjid tua yang dibangun pada abad ke-20 ini (belum terdata tahun pembangunannya) juga dicat seluruh bangunannya.(YURNALDI)

(Kompas, Senin, 5 Oktober 2009)

Menara Sejarah Maritim Miring

Mendesak, Konservasi untuk Museum Bahari

JAKARTA, KOMPAS - Kondisi sejumlah bangunan kuno di kompleks Museum Bahari, Jakarta Utara, memprihatinkan. Bahkan, salah satu bangunan, yakni Menara Syahbandar yang dibangun tahun 1839, mengalami kemiringan 2,5 derajat.

Kepala Seksi Koleksi dan Perawatan Museum Bahari Muhammad Isa Anshari, Selasa (6/10) di Jakarta, mengatakan, kemiringan menara itu sudah diketahui sejak tahun 2002. Waktu itu, pengelola museum bekerja sama dengan CV Lenggo Geni untuk meneliti struktur menara.

”Penelitian itu menunjukkan Menara Syahbandar miring 2,5 derajat ke arah selatan atau menghadap ke Jalan Pasar Ikan. Kemiringan itu terjadi akibat permukaan tanah di bawah menara turun,” kata Isa.

Isa memperkirakan kemiringan itu bakal bertambah dari tahun ke tahun. Untuk mengetahui hal itu dan cara penanganannya, pengelola museum telah mengajukan proposal penelitian lanjutan kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Penelitian itu membutuhkan dana Rp 200 juta. Saat ini dana tersebut telah diajukan ke APBD Perubahan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

”Kami berharap dana itu dapat dicairkan sehingga penelitian dapat segera dilakukan. Kami juga meminta agar setelah diteliti pemerintah mau menganggarkan dana untuk merenovasi menara,” kata Isa.

Kepala Bagian Tata Keuangan Museum Bahari Abdillah mengatakan, pengelola museum tidak mampu merenovasi menara itu sendiri. Selama ini perawatan dan pengelolaan museum masih bergantung pada APBD Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

”Pada tahun 2008 dan 2009, pemerintah memberikan dana Rp 1 miliar. Dana itu antara lain dipergunakan untuk merawat museum dan koleksinya serta membayar pegawai museum,” ujar Abdillah.

Menara Syahbandar dibangun oleh Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), perusahaan dagang Belanda, pada 1839. Bangunan yang terletak di dekat Teluk Jakarta itu berfungsi untuk mengawasi keluar-masuk kapal, terutama kapal-kapal niaga.

Saat ini Museum Bahari dan Menara Syahbandar menjadi salah satu tempat tujuan wisata sejarah maritim. Kedua bangunan kuno itu masuk sebagai benda cagar budaya karena berusia lebih dari 50 tahun.


Konservasi museum

Bangunan kuno lain yang perlu dikonservasi adalah Museum Bahari yang di beberapa bagian terlihat ada gejala kerusakan dan pelapukan. Menurut penjaga sekaligus pemandu Museum Bahari, Sukma Wijaya (45), pengait dan gerendel kusen jendela banyak yang terlepas. Tiang dan rangka penyangga museum juga sudah keropos.

Selain itu, lantai dan tembok museum juga lembab. Kondisi itulah yang mengakibatkan benda-benda koleksi yang terbuat dari kayu mudah berjamur.

”Sejumlah pengunjung kerap kali memberikan masukan agar pengelola museum membenahi kerusakan-kerusakan itu sebelum kondisinya semakin parah,” kata Sukma.

Sama halnya dengan Menara Syahbandar, Museum Bahari juga dibangun VOC. Pembangunan itu dilakukan secara bertahap pada 1652-1774.

Waktu itu VOC menggunakan bangunan itu sebagai gudang rempah-rempah. Pada zaman Jepang, gedung itu beralih fungsi menjadi gudang peralatan militer. Pada zaman kemerdekaan, bangunan tersebut dimanfaatkan untuk gudang logistik PLN.

Oleh sebab itu, Direktur Akademi Maritim Pembangunan Jakarta Imam Sadjiono meminta pemerintah melakukan konservasi Menara Syahbandar dan Museum Bahari secara bertahap. Hal ini mendesak dilakukan untuk melestarikan cagar budaya tersebut sebagai salah satu saksi sejarah sejarah maritim Indonesia.

”Menara dan museum itu bukan hanya sekadar tempat wisata, tetapi juga merupakan wahana pembelajaran dan penelitian bagi generasi muda dan mendatang,” kata Sadjiono. (HEN)

(Kompas, Rabu, 7 Oktober 2009)

CAGAR BUDAYA: Menara Sejarah Maritim Dikonservasi Tahun 2011


JAKARTA - Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta menilai Menara Syahbandar yang berada di kompleks Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta Utara, mendesak untuk dikonservasi. Namun, pemerintah baru akan memperbaiki bangunan berusia 170 tahun itu pada 2011.

Kepala Seksi Pengkajian dan Pengembangan Produk Budaya Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta Abd Rachem mengatakan hal itu di Jakarta, Rabu (7/10). Konservasi itu terkait dengan kondisi menara sejarah maritim yang memprihatinkan.

Berdasarkan hasil penelitian CV Lenggo Geni dan pengelola Museum Bahari-Menara Syahbandar tahun 2002, Menara Syahbandar miring 2,5 derajat. Penyebabnya adalah penurunan permukaan tanah.

Rachem mengemukakan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI telah mengajukan dana pengkajian konstruksi Rp 200 juta di APBD Perubahan 2009. Namun, DPRD DKI Jakarta belum menyetujuinya.

Dinas pariwisata dan kebudayaan akan mengalokasikan dana pengkajian konstruksi sekaligus perencanaan konservasi pada APBD 2010. Harapannya, pada 2011, renovasi Menara Syahbandar sudah dapat dimulai.

”Kami berharap dalam uji konstruksi nanti, tim penguji perlu mencari penyebab penurunan permukaan tanah. Bisa jadi penurunan permukaan itu terjadi secara alamiah, tetapi tidak menutup kemungkinan karena dampak tekanan truk-truk besar yang melewati jalan raya depan menara,” papar Rachem.

Menurut Rachem, Menara Syahbandar merupakan landmark atau penanda Kota Tua, Jakarta, yang dibangun Belanda pada 1839. Untuk itu, pemerintah berkomitmen untuk melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkan bangunan kuno itu sebagai benda cagar budaya, tempat wisata, dan wahana edukasi.

Terkait dengan renovasi dan konservasi Museum Bahari, Rachem menambahkan, pemerintah sudah menganggarkan dan melakukannya. Namun, dana itu baru digunakan untuk memperbaiki sebagian gedung.

Secara terpisah, Kepala Seksi Koleksi dan Perawatan Museum Bahari Muhammad Isa Anshari mengemukakan, pemerintah telah merenovasi Gedung C Museum Bahari dengan alokasi dana sebesar Rp 4 miliar. Dua gedung lain, A dan B, belum direnovasi.

Namun, renovasi itu belum optimal dan memuaskan. Misalnya, tiang penyangga dan kuda-kuda bangunan yang keropos hanya dicat. ”Padahal, kayu-kayu usia ratusan tahun itu membutuhkan perawatan khusus agar tidak keropos,” kata Isa. (HEN)

(Kompas, Kamis, 8 Oktober 2009)

EKSPEDISI SRIWIJAYA: Situs Sriwijaya di Kota Kapur Ditelantarkan

Pangkal Pinang, Kompas – Situs purbakala di Desa Kota Kapur, Kecamatan Mendo Barat, Kabupaten Bangka, Bangka Belitung, saat ini dalam kondisi telantar. Selain kurang terawat, di sekitar situs juga banyak tumbuh semak dan rumput liar.

Demikian hasil pemantauan Kompas yang ikut dalam tim ekspedisi Sriwijaya yang melakukan pengamatan dan pendataan terhadap kondisi terakhir situs-situs di Kota Kapur, Rabu (7/10). Tim ekspedisi Sriwijaya telah dua hari berada di Kota Kapur untuk melakukan penelitian arkeologi, sosial budaya, dan lingkungan serta mengadakan penyelaman di situs purbakala bawah laut.

Anggota tim ekspedisi Sriwijaya bersama Kompas melakukan pengamatan di lokasi ditemukannya struktur candi Hindu di Desa Kota Kapur dari masa pra-Sriwijaya dan lokasi ditemukannya kepingan kapal kuno. Situs berada di tengah perkebunan karet milik warga dan ditumbuhi semak belukar. Seluruh struktur candi terkubur di dalam tanah, hanya sebagian kecil yang tampak setelah menyibak semak belukar.

Di Desa Kota Kapur terdapat tiga lokasi penemuan struktur candi Hindu, dua lokasi tempat ditemukannya kepingan kapal dari abad VI-VII Masehi, dan masih banyak lokasi penemuan benda purbakala lainnya, termasuk tempat penemuan prasasti Kota Kapur, yang semuanya dalam kondisi kurang terpelihara.

Menurut peneliti Balai Arkeologi Palembang, Tri Marhaeni, pada tahun 2007 pernah dilakukan penggalian struktur candi tersebut saat dilakukan peninjauan oleh Bupati Bangka. Saat itu sudah ada rencana untuk mengembangkan dan memperbaiki kondisi situs, tetapi sampai sekarang belum ada kelanjutannya.

Sabil (27), warga setempat, mengatakan, para pemilik tanah enggan kalau juru pemelihara situs membersihkan lokasi situs dari semak belukar. Pemilik tanah takut tanaman di sekitar situs terganggu karena di sekitar situs terdapat banyak pohon karet dan durian milik warga.

”Pemilik tanah sebenarnya mau kalau tanahnya dibeli pemerintah untuk melestarikan situs. Banyak pengunjung ke sini kecewa karena mereka hanya melihat semak belukar,” kata Sabil.


Pembebasan lahan


Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bangka Abdulah Aidid mengutarakan, pemerintah kabupaten menemui hambatan dalam pemeliharaan situs karena masalah pembebasan lahan.

”Kalau situs Kota Kapur mau dibebaskan lahannya, biayanya sangat besar karena lahan milik warga yang harus dibebaskan sedikitnya seluas 100 hektar. Padahal pemerintah kabupaten punya prioritas program lain, seperti pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan rakyat,” kata Abdulah.

Abdulah menuturkan, kemampuan Pemerintah Kabupaten Bangka dalam menyelamatkan situs saat ini baru memberikan honor kepada para juru pelihara situs sebanyak 14 orang di 14 situs yang ada di Kabupaten Bangka, termasuk satu juru pelihara di situs Kota Kapur. Juru pelihara mendapat honor sebesar Rp 300.000 per bulan.(WAD)

(Kompas, Kamis, 8 Oktober 2009)

BUKU-BUKU JURNALISTIK


Kontak Saya

NAMA ANDA :
EMAIL ANDA :
PERIHAL :
PESAN :
MASUKKAN KODE BERIKUT :