Pengumuman

Bila tulisan yang Anda cari tidak ada di blog ini, silakan kunjungi hurahura.wordpress.com

Selasa, 14 April 2009

Sekitar 5.800 Cagar Budaya Tak Terawat


SLEMAN, KOMPAS — Dari sekitar 7.400 cagar budaya yang tercatat di Indonesia, baru sekitar 1.600 yang terpelihara dengan baik. Sisanya, 5.800 cagar budaya, kurang terawat dan pemerintah terkendala dana untuk perawatannya.

Selain itu, terdapat pula potensi benda-benda cagar budaya yang hilang akibat tidak terjaga dengan baik. ”Keadaan ini merupakan kerugian besar bagi bangsa karena sifat cagar budaya itu tidak bisa diperbarui (nonrenewable resources),” kata Direktur Jenderal Sejarah dan Purbakala Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Hari Untoro Dradjat di Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta, Kamis (12/3). Hari menghadiri acara pembekalan tentang konservasi dan pelestarian World Cultural Heritage Candi Borobudur dan Prambanan.

Hari mengatakan, dana pemeliharaan yang dianggarkan tahun 2009 hanya Rp 215 miliar. Jumlah itu dinilai jauh dari cukup untuk merawat seluruh cagar budaya yang ada. ”Setidaknya dibutuhkan dana empat kali lipat untuk pemeliharaan dan pelestarian seluruh cagar budaya itu,” tuturnya.

Karena terbatasnya anggaran tersebut, Hari mengatakan, pihaknya harus menerapkan skala prioritas bagi cagar budaya yang sanggup dirawat untuk tujuan pelestarian.

Secara terpisah, ahli arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, Djoko Dwiyanto, mengatakan, untuk menyiasati terbatasnya anggaran, langkah yang bisa dilakukan pemerintah adalah melibatkan masyarakat dalam pemeliharaan cagar budaya tersebut. ”Setidaknya, pemerintah harus bisa menumbuhkan kesadaran masyarakat yang hidup dekat cagar budaya untuk turut memelihara dan menjaganya,” ujarnya.


Pencurian arca diselidiki

Secara terpisah, berkaitan dengan hilangnya arca di Museum Balaputra Dewa Palembang, tujuh saksi diperiksa Direktorat Reserse Kriminal Kepolisian Daerah Sumatera Selatan. Semua yang diperiksa merupakan pengelola museum, yakni Kepala Museum Syafei Wahid, anggota staf museum, dan satpam.

Direktur Reskrim Polda Sumsel Komisaris Besar Artsianto Darmawan, Kamis, mengatakan, ketujuh orang tersebut masih sebatas dimintai keterangan sebagai saksi.

Secara terpisah, Kepala Bidang Humas Polda Sumsel Komisaris Besar Abdul Gofur menjelaskan, anggota polisi sudah melakukan penyelidikan dan olah tempat kejadian perkara (TKP). Polisi juga menyisir tempat-tempat penjualan barang antik di Palembang dan tempat-tempat yang diduga menjadi tempat persembunyian pelaku.

Dari Kota Solo, Jawa Tengah, dilaporkan, lampu gantung dan arca perunggu di Museum Radya Pustaka yang diduga palsu diperkirakan buatan perajin perunggu di Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur.

Pada November 2008, Pelaksana Tugas Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jatim Aris Soviyani dalam keterangannya kepada penyidik dari Kepolisian Kota Besar Surakarta menyebutkan tujuh benda perunggu yang disimpan di Museum Radya Pustaka buatan baru. Ketujuh benda itu adalah dua arca Avalokitesvara, dua arca Buddha, arca Cunddha, arca Dewi Tara, dan satu lampu gantung. (ENG/WAD/EKI)

(Kompas, Jumat, 13 Maret 2009)

Jejak Manusia Ciliwung Dulu dan Kini


Oleh: Dayan D Layuk Allo

Minggu siang, 18 Januari 2009, tiga perahu karet mendamparkan diri di tepian Ciliwung, tepat di muka pintu air Katulampa, Bogor. Mereka bagian Tim Ekspedisi Kompas Ciliwung 2009, yang tiba dari arah Puncak dan disambut para petugas pintu air.

Sebagian besar ”manusia Ciliwung”, yakni warga sekitar, berkumpul. Segelintir lainnya, manusia Ciliwung lainnya, adalah anggota tim ekspedisi dan pengawas pintu air. Apa pun motif ”manusia Ciliwung” adalah peduli keadaan Ciliwung. Sedangkan warga sekitar peduli keadaan dirinya yang memanfaatkan Ciliwung sebagai obyek penunjang hidup.

Ekspedisi Kompas Ciliwung 2009 pantas diapresiasi karena memberi banyak laporan tentang kondisi sungai itu.


Para prabu Ciliwung

”Ciliwung adalah jalanan utama … Pakuan dengan Sunda Kalapa,” tulis Pramoedya A Toer (epik Arus Balik, 2001). Pakuan adalah ibu kota, Sunda Kalapa adalah pelabuhan ekspor Kerajaan Hindu-Buddha Pajajaran hingga 1527 M.

Prabu Siliwangi sebagai manusia Ciliwung juga menjadi raja pada 1482-1521 M. Saat berkuasa, sang Sri Baduga Maharaja membangun benteng-keraton Pakuan dengan memanfaatkan potensi topografis bantaran Ciliwung (Danasasmita, Sejarah Bogor, 1983).

Tampaknya Prabu Siliwangi yang menamai Ciliwung. Ia adalah keponakan dan menantu Prabu Susuk Tunggal (1382-1482). Sang pendahulu ini, menurut budayawan Adenan Taufik, dijuluki Prabu Haliwungan karena sifat temperamentalnya.

Logis bila sang penerus mengabadikan julukan seniornya menjadi nama sungai yang arusnya bisa mendadak berubah dari tenang menjadi ganas. Peta CM Pleyte (1919), dalam buku A Heuken SJ (Sumber-sumber Asli Sejarah Jakarta, 1999), menunjukkan sungai itu bernama Tji Haliwoeng.

Seiring kejayaan Pajajaran, Ciliwung menjadi urat nadi kehidupan kerajaan itu. Manusia Ciliwung berikutnya, Prabu Surawisesa atau Ratu Sangiang, menyadari hal itu. Ia yang berkuasa 1521-1535 pernah ditugasi mengikat pakta pertahanan dengan Portugis guna melindungi kedaulatan atas Sunda Kalapa.

Sebagai hasil kunjungan ke Malaka, Pajajaran dan Portugis sepakat mengantisipasi ekspansi Cirebon dan Demak. Pakta tahun 1522 itu diabadikan oleh Portugis dalam bentuk tugu batu bertulis (padrao) di muara Ciliwung.

Pada 1527, usaha Surawisesa gagal. Portugis terlambat datang membangun benteng. Pramoedya berkisah: ”Fatahillah, yang sendiri memimpin pendaratan. Ia temukan tugu batu bertulis Portugis-Pajajaran … merobohkannya dan menceburkannya ke dalam kali Ciliwung tanpa suatu upacara.”

Setelah ditemukan tahun 1918, padrao Ciliwung kini disimpan di Museum Nasional.


Berkulit putih

Keberadaan penjajah Eropa di Ciliwung membuat sejarah disemaraki banyak manusia Ciliwung berkulit putih. Dua di antaranya adalah Gubernur Jenderal VOC Baron von Imhoff (berkuasa 1743-1750) dan Gubernur Jenderal Hindia Timur HW Daendels (kuasa Kekaisaran Perancis, 1808-1811).

Seperti sebagian besar tokoh di Hindia Belanda, keduanya anak peradaban sungai-sungai besar Eropa. Wawasan mereka mengalir jauh melintasi banyak negara, bersama arus sungai besar seperti Rhein dan Elba. Wawasan mereka dilengkapi sikap antisipatif karena terbiasa melihat fisik sungai yang sering berubah drastis, mengikuti musim.

Baron von Imhoff, keturunan Jerman, adalah tokoh pertama pembuat keputusan tertulis tentang kesatuan administratif atas wilayah tangkapan air Ciliwung (dan Cisadane)—yang disebut Afdeeling Buitenzorg. Kebijakan itu memelopori wawasan kesungaian yang didukung rasionalitas ilmiah.

Dalam Kaart van de Afdeeling Buitenzorg (1854) tampak wilayah ini amat luas. Meliputi puncak Gunung Pangrango dan Salak, Megamendung, Ciawi serta seluruh landaian hingga batas selatan Kota Batavia.

Seorang tokoh lain, HW Daendels, Gubernur Jenderal Hindia yang efektif. Meski dituding bertangan besi, ia berprestasi membangun banyak fasilitas kolonial di Jawa. Selain Jalan Raya Pos, Daendels sebelumnya sukses membenahi drainase Batavia.

Daendels tinggal di Paleis Buitenzorg, Bogor. Tahun 1809, ia menggagas istana baru di tepian Ciliwung, Batavia. Namun, ia tidak mengecap hasilnya karena Daendels Paleis atau Gedung Putih (Het Witte Huis) baru selesai 1828. Istana tersebut sekarang menjadi Gedung Induk Keuangan (The White House of Weltevreden; Pusat Dokumentasi Arsitektur, 2005).

Lewat perencanaan istana baru di Weltevreden itu, Daendels tegas menempatkan Ciliwung sebagai orientasi peletakan bangunan dan ruang terbuka dalam kawasan pusat kekuasaan. Bantaran Ciliwung menjadi taman depan dan belakang gedung-gedung penting.

Masih banyak manusia Ciliwung berkulit putih lain sepanjang 350 tahun sejarah kolonialisme di aliran Ciliwung. Mereka mungkin para perencana pintu air Katulampa, Depok, dan Manggarai.

Mungkin juga para penggagas situ-situ, waduk, serta kanal-kanal Ciliwung. Namun, harap ingat bahwa dalam tiap realisasi hampir selalu terlibat manusia Ciliwung dari kalangan pejabat bumiputra, semisal Bupati Bogor Aria Natanegara (1761-1787).


Era Indonesia Merdeka

Dalam era Indonesia Merdeka, manusia Ciliwung Bung Karno yang antikolonialisme memiliki cita-cita serupa Daendels. Mengimpikan kawasan prestisius di meander Ciliwung. Buah cita-cita itu, Jakarta memiliki Masjid Istiqlal yang dilingkungi dua kanal. Juga memiliki Monumen Pembebasan Irian Barat dan Monumen Nasional di tepi Ciliwung.

Bung Karno juga penerus para prabu Ciliwung. Kesenangannya tinggal di Istana Bogor berlangsung lama. Bahkan, sampai saat kehilangan kekuasaan, ia ada di tepian Ciliwung.

Jejak sejarah Ali Sadikin seyogianya mendapat perhatian khusus dalam laporan Ekspedisi Kompas Ciliwung 2009. Ali Sadikin mewariskan rencana induk pengairan pengendalian banjir (tahun 1973), serta gagasan pengelolaan daerah aliran Ciliwung dan Cisadane yang bertumpu pada masterplan jangka panjang.


Cintanya manusia Ciliwung

Jika Ciliwung adalah ”ibu” bagi manusia-manusia di tepiannya, alirannya adalah cinta yang terus menghidupi mereka.

Tepat 22 Januari, Ekspedisi Kompas Ciliwung mencapai Sunda Kalapa. Ia merekam banyak cinta yang menghidupi lingkungan sepanjang aliran Ciliwung. Seperti cintanya Mang Badri, yang tegar menanam sebanyak mungkin pohon di tengah keserakahan para pemilik resor wisata dan vila di Puncak, serta cintanya aparat, yang kedinginan di pintu-pintu air sekadar untuk memantau kondisi aliran Ciliwung.

Ekspedisi Kompas Ciliwung membuka mata pada kondisi rawannya masa depan Ciliwung. Kenyataan banyak ditemukan adanya degradasi lingkungan karena erosi, pencemaran, serta penyerobotan lahan di hulu dan bantaran sungai.

Diimbuhi dengan degradasi moral, intelek dan kepemimpinan dalam pengelolaan Wilayah Tangkapan Air Ciliwung (dan Cisadane).

Selamat untuk manusia-manusia Ciliwung anggota Tim Ekspedisi Kompas Ciliwung 2009. Terima kasih atas kesetiaan mewartakan kebenaran.

Bersama-sama kita berharap pemimpin masa kini mau belajar dari kebesaran para prabu Ciliwung, dari intelektualitas manusia Ciliwung berkulit putih, serta dari kepemimpinan manusia Ciliwung Bung Karno dan Bang Ali.

Dayan D Layuk Allo
Pemerhati Lingkungan Binaan dari
StARS (Studio Amici Raden Saleh) di Bogor

(Kompas, Senin, 2 Februari 2009)

Jumat, 10 April 2009

Sarkofagus Umur 2.500 Tahun Ditemukan


Sebuah sarkofagus, yaitu peti mati dari batu, kembali ditemukan di areal persawahan di Desa Keramas, Kabupaten Gianyar, Bali. Seperti penemuan pada 13 Januari lalu, benda purbakala itu diduga berusia sekitar 2.500 tahun.

Kepala Balai Arkeologi Denpasar Wayan Suantika, Senin (2/2) di Denpasar, menyatakan akan menugaskan tim khusus ke lokasi penemuan. Selain untuk meneliti benda yang ditemukan, tim juga akan melihat lebih jauh tentang lokasi penemuan sarkofagus di Keramas.

”Ada dua kali penemuan dalam sebulan. Kami akan melihat data penemuan sebelumnya untuk membuat hipotesis terkait sarkofagus itu,” kata Suantika.

Berdasarkan catatan Balai Arkeologi Denpasar, hingga kini ada 13 buah sarkofagus yang ditemukan di Kabupaten Gianyar. Adapun sarkofagus yang ditemukan di seluruh Bali mencapai ratusan buah. Diperkirakan, pada masa megalitikum nenek moyang orang Bali menyebar di seluruh pulau.

Kepala Badan Keamanan Desa Keramas I Made Sukerta menyatakan, di desanya banyak dijumpai tanda peninggalan masa lalu. Sejumlah warga meyakini temuan tersebut sebagai cikal bakal desa setempat.

Sarkofagus terakhir ditemukan di lahan pembuatan batu bata di Desa Keramas akhir pekan lalu. Sarkofagus itu ditemukan di kedalaman 1,5 meter. Saat ditemukan, benda itu masih terlihat utuh. Kegiatan penggalian pun dihentikan. Apalagi, di dekat lokasi pernah ditemukan sarkofagus.

Para buruh pembuat batu bata akhirnya melapor ke Kantor Polsek Blahbatuh. Polisi kemudian mengamankan lokasi dengan memasang garis polisi.


Tipe kecil

Berdasarkan identifikasi sementara, menurut Suantika, sarkofagus itu tergolong tipe kecil. Ukurannya jauh lebih kecil daripada penemuan sebelumnya. Panjang sarkofagus kali ini hanya sekitar 60 cm dengan diameter 49 cm. Adapun sarkofagus sebelumnya panjangnya 1,5 meter dengan diameter 80 cm.

Di sekitar lokasi penemuan juga ditemukan sejumlah tulang dan gigi yang belum diidentifikasi. Dilihat dari ukurannya, Suantika menduga, peti batu itu digunakan untuk mengubur mayat orang berukuran pendek atau anak-anak.

Adapun dari bentuknya, peti batu itu berasal dari zaman 500 tahun sebelum Masehi hingga 300 tahun Masehi seperti sarkofagus yang ditemukan sebelumnya. (BEN)

(Kompas, Selasa, 3 Februari 2009)

Puluhan Lempeng Emas di Candi Gedongsongo


SEMARANG, KOMPAS - Petugas Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah menemukan puluhan lempeng emas, manik-manik, dan lingga terbuat dari emas saat memugar candi di kompleks keempat Candi Gedongsongo, Kabupaten Semarang. Benda-benda tersebut diperkirakan seusia dengan Candi Gedongsongo yang dibangun pada abad ke-8.

Wagiyo (50), petugas teknis dari BP3 Jateng, saat ditemui di Candi Gedongsongo hari Jumat (27/2) mengatakan, penemuan benda itu terjadi pada 25 Februari saat mereka memindahkan batu-batu dari Candi Perwara. Di tembok candi itu mereka menemukan benda mengilat seperti emas berbentuk bunga juga liontin emas.

Selain itu, di bawah yoni mereka menemukan kotak pripih dari batu putih setinggi 12,5 sentimeter dengan lebar 24,5 cm. Di dalamnya ditemukan 49 lempengan emas yang sudah diuji di Laboratorium BP3 Jateng. Emas itu diketahui berkadar 12 karat.

Berat setiap lempeng emas 1,2 gram-4,1 gram. Ada tujuh lempeng perak 1,9 gram per lembar dan 31 manik-manik. Juga ditemukan lingga emas berkadar 22 karat seberat 25,4 gram dilengkapi yoni dari perak 2,9 gram.

Koordinator Candi Gedongsongo BP3 Jateng, Asmara Dewi, saat dihubungi di Klaten, menyatakan, pihkanya memperkirakan usia temuan sama dengan usia candi itu yang diduga dibangun pada abad ke-8.

Semua temuan itu akhirnya disimpan di Kantor BP3 Jateng di Klaten untuk diteliti. (GAL)

(Kompas, Sabtu, 28 Februari 2009)

36 Benteng di Pulau Jawa Terancam Rusak


SEMARANG, KOMPAS - Sebanyak 36 dari 38 benteng peninggalan masa kolonial yang tersebar di Pulau Jawa saat ini kondisinya terancam rusak akibat cuaca dan minimnya perawatan. Hanya Benteng Vredeburg di Yogyakarta dan Van der Wijck di Kebumen, Jawa Tengah, yang kondisinya tergolong baik.

Koordinator Surveyor Benteng Wilayah Jawa, Pusat Dokumentasi Arsitektur Martinus Setyo Cahyo mengatakan hal itu, Selasa (3/2), saat meneliti Benteng Willem II Ungaran di Kabupaten Semarang. Temuan itu berdasarkan penelitian di 38 benteng, baik yang berupa bungker perlindungan masa perang dunia, benteng kota, keraton, serta benteng kolonial.

”Informasi awal dari peneliti terdahulu ada sekitar 60 benteng di Pulau Jawa, tetapi yang masih ada bangunannya hanya 38 benteng. Itu pun sebagian besar dalam kondisi rusak,” ujarnya.

Padahal, lanjutnya, benteng- benteng itu penting untuk dilestarikan karena memengaruhi sejarah suatu daerah. Bahkan, sejumlah benteng kolonial akhirnya menjadi cikal bakal perkembangan sebuah kota.

Hans Bonke, peneliti dari Passchier Architects and Consultants, Belanda, mengatakan, di Indonesia ada sekitar 50 benteng yang dibangun oleh VOC pada abad ke-16 hingga ke-19. Namun, saat ini benteng yang masih ada kurang dari separuhnya dan kondisinya rusak.

”Benteng ini misalnya (Willem II Ungaran) dahulu sekelilingnya ada ruang terbuka untuk pemantauan. Sekarang dikelilingi oleh jalan dan bangunan-bangunan,” katanya.

Benteng Willem II Ungaran tersebut pintu utamanya telah diubah menjadi menghadap jalan raya Semarang-Solo, padahal sebelumnya menghadap sebaliknya. Sebagian atap sudah roboh dan temboknya retak, serta ditumbuhi tanaman liar.

”Saat ini masih tahap registrasi, tetapi nanti akan dilakukan studi apa yang bisa dilakukan,” kata Kepala Subdirektorat Registrasi dan Penetapan, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Koos Siti Rochmani. (GAL)

(Kompas, Rabu, 4 Februari 2009)

Kamis, 09 April 2009

Ditemukan 6.500 Keping Uang Kuno


Sedikitnya 6.500 keping uang kuno ditemukan di halaman rumah Suyono (38) di Desa Binade, Kecamatan Ngrayun, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur. Kawasan ini berada di kawasan perbukitan di Ponorogo bagian selatan, berdekatan dengan wilayah Kabupaten Pacitan. Kepingan uang kuno itu berbentuk lingkaran dengan diameter 2,7 sentimeter. Bagian tengahnya berlubang dengan diameter 0,5 cm. Di salah satu sisi koin terdapat empat huruf China. Huruf China di setiap koin berbeda- beda bentuknya. Namun, tidak semua koin masih baik bentuknya. Sebagian besar dari koin itu terlihat sudah rusak dan huruf China di salah satu sisi koin sudah tidak terlihat. ”Saat menggali tanah, saya menemukan uang itu terkumpul di satu tempat, diikat dengan tali ijuk,” kata Suyono. Arkeolog Dwi Cahyono dari Universitas Negeri Malang menduga kepingan uang kuno itu dipergunakan di atas abad ke-10 untuk berdagang dengan pedagang China. (APA)

(Kompas, Jumat, 20 Februari 2009)

"Jolali" Dokumentasi Situs Majapahit


Oleh: Ingki Rinaldi


Peninggalan Kerajaan Majapahit makin terancam. Sisa kerajaan besar di Nusantara itu kian rusak karena ulah masyarakat dan pemerintah. Di tengah pusaran itu, Akhmad Mukhsinun alias Paidi Jolali tak henti mendokumentasikan setiap jengkal situs kerajaan ini. Ia ingin ”menyelamatkan” warisan sejarah itu.

Ia tak lelah mendokumentasikan proses kerusakan situs Kerajaan Majapahit di wilayah Kabupaten Mojokerto dan Jombang, Jawa Timur. Empat tahun terakhir ini, Paidi—panggilannya—masuk keluar desa di sejumlah kecamatan untuk memfilmkan proses terjadinya kerusakan situs sejarah itu, terutama akibat tuntutan ekonomi masyarakat pembuat batu bata.

Dalam kurun itu, tak kurang 26 kaset video masing-masing berdurasi satu jam berisi keadaan situs Majapahit telah dibuatnya. Salah satu hasil rekaman Paidi berupa perusakan struktur batu bata kuno oleh warga di lokasi pembuatan batu bata pada pertengahan Januari 2009.

Nama Paidi nyaris luput dari sorotan kasus perusakan situs Majapahit akibat pembangunan Pusat Informasi Majapahit (PIM) oleh pemerintah meski dialah satu-satunya orang yang mendokumentasikan kerusakan situs Majapahit secara menyeluruh, tak hanya di kawasan PIM.

Dalam banyak karyanya empat tahun lalu, tampak sejumlah situs peninggalan Majapahit berupa struktur batu bata kuno atau gapura kuno yang relatif utuh. Namun, pada lokasi yang sama dengan pengambilan gambar tahun ini, terlihat jelas kerusakan situs itu.

Adalah Ketua Perkumpulan Peduli Majapahit Gotrah Wilwatikta Anam Anis yang pertama kali menugasi Paidi untuk mendokumentasikan batas-batas visual Kerajaan Majapahit, Februari 2005. Ia langsung merekam dua yoni di Kecamatan Sumobito dan Mojowarno, Kabupaten Jombang, serta dua yoni lain di Desa Klinterejo, Kecamatan Sooko, dan Desa Lebak Jabung, Kecamatan Jatirejo, Kabupaten Mojokerto.

Saat itu Gotrah membutuhkan bukti visual penegasan batas wilayah bekas Kerajaan Majapahit agar klaim sebagai daerah cagar budaya bisa dilakukan. Meski tugas telah selesai, Paidi justru makin tertarik mendokumentasikan kerusakan situs Majapahit.

”Saya hanya ingin ada dokumentasi bekas Kerajaan Majapahit, khawatir juga jika nanti hilang. Kalau ada dokumentasinya, kita bisa tunjukkan di sini pernah ada bekas bangunan kerajaan, bukan hanya katanya,” ujar Paidi yang memakai nama belakang ”Jolali” untuk mengingatkan orang agar ”jangan lupa” (bahasa Jawa: ojo lali) pada sejarah.


Jangan didekati

Kata Paidi, kerusakan situs tak melulu karena ulah masyarakat pembuat batu bata. Sebagian besar temuan oleh masyarakat pasti dilaporkan lebih dulu kepada Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jatim sekalipun mereka lalu kecewa karena laporan itu tak kunjung ditangani lebih lanjut.

Temuan berupa struktur batu bata kuno, pintu gerbang, candi kuno, sumur kuno, hingga batu-batu besar nyaris selalu dilaporkan kepada pemerintah. Lalu dilakukanlah pengukuran, pemotretan, pencatatan oleh pegawai pemerintah sambil mewanti-wanti warga agar wilayah temuan itu jangan didekati, digarap, apalagi digali.

Hanya pesan itu yang diterima warga. Temuan bersejarahnya ditinggalkan begitu saja. Tak ada tindakan konkret terhadap temuan, apalagi pada masyarakat sekitarnya. Kalaupun ada kompensasi bagi masyarakat, jumlahnya relatif kecil. Padahal, warga tetap butuh makan.

Akibatnya, upaya pembuatan batu bata, misalnya, terus mengancam situs ini karena tidak ada solusi yang diberikan pemerintah bagi mereka. Paidi menyebutkan, selama ini yang terjadi adalah upaya pembiaran perusakan situs oleh pemerintah karena nyaris tak ada usaha konservasi apa pun yang dilakukan terkait temuan situs sejarah oleh masyarakat.


Berkeliling sendirian

Bermodalkan satu unit kamera video digital merek Panasonic MD 10000, satu unit hard disk eksternal merek Maxtor berkapasitas 120 gigabyte, dan sepeda motor Suzuki RC 100, nyaris setiap hari Paidi berkeliling ke seluruh penjuru batas wilayah bekas Kerajaan Majapahit.

”Kamera itu baru saya dapatkan satu setengah bulan lalu dari Mas Ipung (Saifullah Barnawi, anggota Perkumpulan Peduli Majapahit Gotrah Wilwatikta). (Sepeda) motor juga baru saya miliki tahun 2007 saat menggarap proyek desa percontohan Hess (perusahaan gas dan minyak Amerada Hess) di Ujungpangkah, Gresik,” cerita Paidi yang sempat dimusuhi warga pembuat batu bata.

Tahun-tahun sebelumnya Paidi mesti berjibaku di lapangan dengan sejumlah kamera video pinjaman. Untuk proses editing, ia menumpang kepada sejumlah kenalannya. Dana operasional dia ambil dari pendapatannya sebagai seorang juru kamera untuk acara pernikahan atau pesanan tak tentu sebagai penggarap dokumentasi audio visual.

Selama bertahun-tahun itu pula Paidi berkali-kali mengajak sejumlah kawannya menelusuri jejak peninggalan Majapahit. Namun, tidak ada seorang pun kawan yang tahan bersama dia berlama-lama di lapangan.

”Ada teman yang suka mengajak pulang, ada yang suka nongkrong di warung. Mereka bilang, protolan boto, kok, diurusi (pecahan batu bata, kok, diurusi),” kata Paidi menirukan sejumlah rekan yang sempat dia ajak berkeliling dari desa ke desa untuk merekam situs bersejarah.

Oleh karena itulah Paidi lalu memutuskan tetap berkeliling dari desa ke desa meski ia harus menjalaninya sendirian.

Bicara tentang kemampuannya mengambil gambar dan mengedit dengan sejumlah software penyunting video visual, Paidi memperolehnya secara otodidak.

”Saya pertama kali ikut usaha sablon punya Umar Muzaki di Mojokerto pada 1995. Dia saya anggap sebagai guru,” kata Paidi.

Sejak itulah pria yang tak menamatkan pendidikan menengah atasnya ini kemudian merambah dunia audio visual dan olah digital. Berbagai aplikasi pengolah gambar diam dan bergerak, seperti Adobe Photoshop, CorelDraw, dan Adobe Premiere, lantas dia pelajari dan perlahan berhasil dikuasainya.

Soal pendidikan formal yang hanya sampai tingkat SMP, Paidi mengaku tak menyesal. ”Sekolah hanya mengajarkan kepada kita bagaimana cara berpikir rasional dan mengenal dunia luar,” kata Paidi yang lebih banyak belajar soal kehidupan saat bergabung dengan kelompok pecinta alam Driwala Mojokerto yang berdiri sejak 1983.

Kecintaannya pada pendakian gunung itu pula yang membuat sekolah Paidi kemudian berakhir dengan putus di tengah jalan.

Selain mendaki gunung, hari-hari Paidi terus dilalui dengan usaha mendokumentasikan sebanyak mungkin peninggalan Majapahit yang terserak di wilayah Mojokerto dan Jombang.

Bagi Paidi, menyelamatkan situs sejarah adalah hal penting yang harus dilakukan. Dia tak lagi peduli apakah pemerintah memberi prioritas atau tidak kepada situs sejarah tersebut.

(Kompas, Jumat, 20 Februari 2009)

Spiritualisme Candi Sukuh


Oleh: Rohadi Budi Widyatmoko


Sir Thomas Stamford Raffles dalam proyek penulisan The History of Java memerintahkan sebuah tim yang dipimpin Residen Johson di Surakarta untuk melakukan pencarian dan pendataan candi-candi yang ada di Jawa.

Candi menurut Raffles merupakan bukti dan tonggak perjalanan peradaban Jawa. Candi menyimpan misteri masa lalu dan jejak-jejak untuk bayangan masa depan.

Pencarian itu mencatat bahwa Candi Sukuh di Jawa Tengah kemungkinan didirikan pada akhir masa kekuasaan Majapahit. Pencatatan ini berasal dari penafsiran terhadap relief candi, gapuro bhuto anguntal jalmo (raksasa memangsa manusia). Dalam tafsir candra sengkala menurut kalender Jawa ditemukan angka 1359 berdasarkan tahun Saka atau 1437 dalam kalender Masehi.

WF Stutterheim (1930) dalam penelitiannya mengenai Candi Sukuh mencatat tiga argumen terkait kebersahajaan arsitektur dan relief dibandingkan dengan candi-candi lain. Pertama, pemahat candi mungkin bukan seorang ahli yang berasal dari pedesaan. Kedua, candi dibangun secara tergesa-gesa untuk dijadikan tempat pemujaan. Ketiga, candi dibangun saat kondisi ekonomi dan politik Majapahit menjelang keruntuhan sehingga tidak mungkin mendirikan candi yang sempurna dan monumental.

Keterangan hampir sama disampaikan R Soetarno (Aneka Candi Kuno di Indonesia, 1986: 114) bahwa Candi Sukuh mungkin merupakan hasil seni orang-orang terpencil dan bukan ahli. Relief-relief di Candi Sukuh tampak wagu dan sederhana, tetapi mengandung misteri yang belum bisa diungkapkan secara sempurna sampai saat ini.


Seksualitas Sukuh

Candi Sukuh memiliki keunikan. Patung-patung dan relief di Candi Sukuh menunjukkan hal-hal terkait dengan seksualitas. Para peneliti menganggap seksualitas mengandung misteri dalam ajaran hidup manusia Jawa, mencakup pemaknaan kehidupan lahir dan batin. Seksualitas mengajarkan pada manusia tentang asal-usul dan akhir kehidupan (sangkan paraning dumadi), pemujaan terhadap kekuasaan adikodrati, dan introspeksi diri. Seksualitas Candi Sukuh erat dengan simbolisme dan mistikisme.

Lingga dan yoni merupakan simbol maskulinitas dan feminitas. Seksualitas dalam simbol lingga dan yoni mencerminkan dunia ide dan realitas kehidupan manusia. Simbol-simbol seks di Candi Sukuh tersebut bukan merupakan bukti bahwa seksualitas itu puncak pemujaan hidup secara duniawi. Simbolisme dan mistisisme dalam seksualitas Jawa selalu mengarah pada spiritualitas atau filsafat.

Seksualitas di Candi Sukuh dapat ditelusuri dari ajaran dan mitos dalam pengaruh Hindu. Cliford Bishop (Seks dan Spiritualitas, 2006: 55-58) mengatakan, gagasan Hindu yang menghubungkan dewa dan seksualitas memiliki sejarah panjang mulai dari peradaban Indus yang mencapai puncaknya pada 2000 SM (Sebelum Masehi). Jejak-jejak itu tampak pada dewa berwajah tiga dan ithypallic yang dikenal sebagai proto-Shiwa.


Kidung Sudamala

Jejak-jejak seks dan spiritualitas di Candi Sukuh terungkap dalam simbolisme dan mistisisme kidung Sudamala yang ada di relief. Petikan kisah dalam kidung Sudamala ini menunjukkan bagaimana seks menentukan derajat dan harkat hidup manusia.

Kidung Sudamala oleh masyarakat Jawa dijadikan sebagai rujukan untuk tradisi ruwatan (menghapuskan kutukan atau kemalangan). Ruwatan itu diperuntukkan bagi bocah sukerta (anak kotor atau ternoda). Ruwatan dengan mengambil kidung Sudamala dalam pertunjukan wayang kulit, diartikan Sri Mulyono (Simbolisme dan Mistikisme dalam Wayang, 1979: 50) memiliki tujuan untuk ngluwari ujar (menepati janji), menghilangkan penyakit atau mala, dan menghindarkan segala mala yang akan menimpa.


Ruwat para pejabat

Spiritualitas di Candi Sukuh itu dapat menjadi salah satu jejak sejarah bangsa ini memahami kehidupan manusia. Candi Sukuh yang berada di lereng Gunung Lawu, Jawa Tengah, telah memberi bukti bahwa seks itu merasuk dalam kehidupan dengan semangat spiritualitas dan tidak diintervensi oleh kepentingan politis, apalagi semacam Undang-Undang Pornografi dan Pornoaksi.

Undang-undang semacam itu mungkin ingin jadi dasar untuk meruwat manusia-manusia yang dikriteriakan sebagai pelanggar dengan definisi-definisi seks berdasarkan tendensi dan kepentingan tertentu. Namun, tampaknya ruwatan itu mestinya lebih cocok dilakukan untuk orang-orang dalam parlemen atau para pejabat yang merusak moral masyarakat dengan perilakunya. Mereka perlu diruwat dengan upacara pengadilan dan hukuman dengan kidung tersendiri, ”kidung korupsi” atau ”kidung demokrasi”.

Menziarahi Candi Sukuh seperi menziarahi manusia dalam petualangan ruang dan waktu. Candi yang ingin menggapai langit tersebut membuat orang insaf bahwa masa lalu itu menyuarakan pesan-pesan kehidupan yang masih relevan untuk kehidupan saat ini dan esok hari.

Sebuah ziarah kecandian, mungkin akan membantu siapa saja yang terganggu dengan kerapuhan itu untuk mendapatkan jawabannya.

Rohadi Budi Widyatmoko
Mahasiswa Jurusan Sastra Daerah Universitas Negeri Sebelas Maret, Solo;
Aktivis di Komunitas Cething Ombo


(Kompas, Sabtu, 21 Februari 2009)

Warga Temukan Kerangka Manusia di Situs Trowulan


MOJOKERTO, MINGGU - Sejumlah warga di Desa Wates Umpak, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto menemukan sejumlah kerangka manusia di lokasi yang jadi bagian situs Trowulan itu. Penggalian tim peneliti dari Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilm u Politik Universitas Airlangga (FISIP Unair), Sabtu (7/2) juga kembali menemukan bagian rahang manusia.

Salah seorang warga desa itu, Didik Suhariadi menuturkan, satu kerangka manusia ditemukannya pada Kamis pekan lalu dengan posisi membujur ke arah utara. "Tetapi kerangka itu sudah sangat lunak, sehingga kemudian rusak dan menyatu dengan tanah," papar Didik yang kemudian mengubur lagi kerangka itu.

Kerangka manusia yang ditemukan Didik itu berada persis di bagian muka sebelah barat bangunan kuno berupa candi pemujaan yang ditemukan warga pada tanggal 28 Oktober lalu. Candi pemujaan yang ditemukan oleh Pairin (68) itu, sekarang sudah dimunculkan sebagian bentuknya oleh beberapa orang warga.

Sejumlah warga lain mengatakan, kerangka manusia dalam jumlah banyak bahkan terdapat menyebar di sejumlah lokasi di sekitar bangunan candi itu. Hanafi, salah seorang warga di desat itu menyebutkan kerangka manusia dalam jumlah banyak ditemukan juga oleh warga di sebelah timur candi pemujaan temuan Pairin.

"Saat ini, lokasi temuan kerangka manusia itu masih ditanami padi. Jika mau diangkat ya mesti tunggu musim panen," ujar Hanafi.

Ingki Rinaldi

(Kompas, Minggu, 8 Februari 2009)

Selasa, 07 April 2009

Georadar Lacak Situs Purba


Oleh Yuni Ikawati


Situs Kerajaan Majapahit di Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, mungkin akan terlindungi dari upaya okupasi peruntukan lain dan penjarahan bila ada upaya pemetaan kawasan itu dengan menggunakan georadar.

Saat ini, dunia arkeologi di Indonesia masih diguncang oleh perusakan situs peninggalan Kerajaan Majapahit di Trowulan. Situs ini menarik perhatian dengan dilaksanakannya pembangunan Pusat Informasi Trowulan (PIM) di atas lokasi bekas kerajaan tersebut.

Sesungguhnya perusakan situs ini sudah berlangsung lebih lama dan lebih parah daripada yang terjadi akibat pembangunan PIM. Bukan rahasia lagi bahwa tidak sedikit masyarakat lokal yang miskin menggali secara liar situs ini untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Dari kacamata sains dan teknologi, kerusakan sebagian dari situs Majapahit di Trowulan adalah akibat dari belum dikembangkannya ilmu geofisika pada bidang arkeologi. ”Pemetaan arkeologi bawah tanah yang merupakan perpaduan antara geofisika dan arkeologi nyaris tak tersentuh di Indonesia, antara lain karena dianggap kurang mempunyai nilai ekonomis,” ujar Anggoro Sri Widodo, geofisikawan lulusan S-2 ITB yang kini bergabung di CITIC Seram Energy. Di Indonesia, program studi di geofisika terfokus pada bidang minyak dan gas bumi, eksplorasi mineral, geotermal, gempa dan tsunami, serta cuaca.

Karena adanya kesamaan teori, konsep, metode interpretasi antara geofisika migas dan geofisika-arkeologi, tidak sulit memetakan situs Majapahit di Trowulan yang telah terpendam.

Yang membedakan untuk eksplorasi migas digunakan energi gelombang getaran seismik untuk mendapatkan citra bawah permukaan, sedangkan untuk kepentingan pemetaan arkeologi digunakan sumber gelombang radar (ground penetration radar/GPR).

Pemetaan GPR menggunakan pulsa radar frekuensi tinggi yang dipancarkan dengan antena dari permukaan ke dalam tanah. Gelombang ini kemudian diteruskan dan dipantulkan kembali oleh benda-benda yang terpendam di dalam tanah. Kemudian data pantulan gelombang ini akan direkam di dalam domain waktu dan citra yang dihasilkannya kemudian dikonversi ke domain kedalaman.

Citra bawah permukaan digambarkan dalam bentuk amplitude gelombang. Amplitude ini menggambarkan perubahan cepat rambat gelombang pada benda terpendam maupun sedimen tertutup. ”Batu candi atau benda peninggalan lainnya mempunyai cepat rambat gelombang yang lebih tinggi daripada sedimen penutupnya,” ujar Anggoro menguraikan.

Sementara itu, peneliti di Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Inventarisasi Sumber Daya Alam (TISDA) BPPT, Djoko Nugroho, mengungkapkan, aplikasi georadar telah dilakukan dalam pencarian bekas Kerajaan Sumbawa yang terpendam akibat letusan Gunung Tambora di pulau di Nusa Tenggara Barat. Pencarian melibatkan peneliti ITB ini berhasil menemukan lokasi situs kerajaan tersebut.

BPPT pun, katanya, juga pernah menggunakan georadar untuk pendeteksi keberadaan situs purba di kota Pagar Alam di Desa Rimba Candi, Sumatera Selatan, yang terkubur akibat letusan Gunung Dempo. Situs itu merupakan peninggalan peradaban megalitikum.


Aplikasi lain

Pengujian georadar di Indonesia pertama kali dilakukan oleh BPPT pada November 1996, kata Lena Sumargana, peneliti geofisika di P3 TISDA BPPT. Uji coba georadar ketika itu dilakukan untuk survei utilitas yang tertanam pada jalur Sarinah-Gambir.

Bekerja sama dengan Dinas Pemetaan DKI Jakarta pada tahun 1997, BPPT kemudian memetakan secara terpadu utilitas yang tertanam di bawah tanah, meliputi jaringan kabel telepon, listrik, pipa air, dan pipa gas. Sistem georadar menjangkau obyek di kedalaman 25 meter.

Peralatan georadar juga dimiliki Direktorat Teknologi Pengembangan Sumber Daya Mineral BPPT. Sistem georadar ini bekerja dua kali lebih cepat dibandingkan dengan yang dimiliki P3 TISDA BPPT. Ketika digunakan untuk mendeteksi penurunan permukaan tanah di Kantor Pusat BPPT di Jalan Thamrin, Jakarta, Juni 2008, hanya butuh tiga jam untuk memantau struktur lapisan bawah tanah pada 15 lintasan yang panjangnya masing-masing 20 meter.

Georadar juga digunakan untuk membantu pengungkapan kasus kriminal—pertama kali dilakukan, Januari 2001. Ketika itu dengan peralatan georadar dari Kanada, BPPT membantu polisi menemukan lokasi bungker persembunyian Hutomo Mandala Putra atau Tommy yang ditemukan di pojok Jalan Cendana dan Jalan Yusuf Adiwinata.

Di banyak negara maju, teknologi ini juga digunakan untuk menemukan tempat penguburan korban pembunuhan dan obat-obat terlarang. Juga digunakan untuk mendeteksi ranjau.


Pengoperasian georadar

Georadar beroperasi pada frekuensi 25 megahertz-1.200 megahertz. Untuk deteksi pipa besi atau beton sebagai sarana utilitas, misalnya, digunakan frekuensi 1.000 megahertz yang jangkauannya berkisar 0,5 meter-4,0 meter. Untuk obyek pada kedalaman 35 meter-60 meter digunakan frekuensi 25 megahertz.

Tampilan profil yang tampak di layar monitor berupa irisan suatu lapisan demi lapisan seperti kue lapis legit yang disayat vertikal. Bila di sepanjang garis penyisiran terdapat rongga atau obyek tertentu, akan tampak perbedaan nyata pada citra berbeda rona atau kontras.

Pada masa mendatang, georadar juga memungkinkan dioperasikan dari wahana yang melayang di atas permukaan tanah, seperti helikopter.

(Kompas, Rabu, 25 Februari 2009)

Mengenal Kota Candu dari Museum


Barang-barang sejarah Melayu tersimpan rapi di Museum Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah, Kota Tanjung Pinang, Provinsi Kepulauan Riau. Museum itu diresmikan Wali Kota Tanjung Pinang Suryatati Manan, akhir Januari lalu.

Koleksi museum itu terdiri dari naskah kuno Melayu, gambar masa lalu, peralatan perang sultan-sultan Kerajaan Riau-Lingga, keramik China, dan peralatan kerajaan Riau-Lingga. Barang-barang itu dibeli atau diperoleh dari masyarakat yang menyimpan secara individu.

Salah satu koleksi di museum itu adalah peralatan mengisap candu. Lima alat pengisap itu tersimpan rapi di dalam etalase kaca dalam museum. Modelnya pun beragam, ada pengisap dengan pipa yang tinggi atau memanjang.

Dalam keterangan koleksi barang disebutkan, di Kota Tanjung Pinang sebagai ibu kota Residen Riau dan pusat pengendalian monopoli perdagangan candu, dibangun kantor pengendali yang dipimpin oleh pengawas perdagangan candu.

Menurut sejarawan Melayu, Aswandi Syahri, perdagangan candu di Kota Tanjung Pinang memang dilegalkan dengan pengawasan Pemerintah Hindia Belanda pada akhir abad ke-19. Candu diperdagangkan untuk memenuhi kebutuhan orang-orang China di Tanjung Pinang waktu itu.

Akan tetapi, perdagangan candu di Kota Tanjung Pinang sebenarnya sudah lama terjadi. Itu dapat dilihat dari sejarah perang kerajaan Riau yang dipimpin Raja Haji Fisabilillah (1783-1785). Penyulut perang itu adalah masalah candu.

Aswandi menjelaskan, Februari 1782 di perairan Tanjung Pinang, datang kapal Inggris, yaitu Betsy. Kapal itu membawa barang-barang perdagangan, termasuk 1.154 peti berisi candu. Kapal itu kemudian dibajak oleh pembajak dengan kapal La Sainte Therese yang dinakhodai Mathurin Barbaron, nakhoda asal Perancis.

Kapal Inggris Betsy, lanjut Aswandi, kemudian dibawa oleh Mathurin ke Malaka yang dikuasai VOC. Raja Haji Fisabilillah yang mengetahui kejadian itu meminta pemerintah VOC di Malaka membagi hasil rampasan dari kapal yang dibajak oleh nakhoda asal Perancis itu.

Akan tetapi, pemerintah VOC di Malaka tidak ingin membagi hasil rampasan itu. Situasi memanas sehingga pasukan VOC dari Malaka menyerang Kota Tanjung Pinang yang waktu itu berada di bawah pemerintahan Raja Haji Fisabilillah.

Kapal besar VOC yang bersandar di perairan Tanjung Pinang ditembak oleh pasukan Raja Haji Fisabilillah pada 6 Januari 1784. Ini kemudian dijadikan sebagai tanggal kelahiran Kota Tanjung Pinang.

Dengan demikian, Kota Tanjung Pinang telah berusia 225 tahun. Museum di Kota Tanjung Pinang yang dibuat itu tentu dapat menjadi catatan sejarah bagi generasi mendatang. (FER)

(Kompas, Jumat, 27 Februari 2009)

"Penyelamatan" Naskah Kuno Melayu


Lembaran kertas yang dipotret sejarawan Melayu Aswandi Syahri (38) kusam dan lusuh. Bagian pinggir beberapa kertas termakan rayap atau robek.

Bagi orang yang tidak tahu atau tidak peduli dengan naskah atau arsip kuno Melayu, lembaran kertas seperti itu tak ada artinya. Bahkan, kertas-kertas itu mungkin dibuang atau menjadi bungkus kacang.

Akan tetapi, Aswandi mau memotret lembar demi lembar kertas naskah dan arsip kuno Melayu secara digital. ”Ini merupakan upaya menyelamatkan naskah-naskah dan arsip-arsip kuno Melayu yang masih ada di Kepulauan Riau,” kata Aswandi.

Pemotretan secara digital naskah dan arsip kuno Melayu, menurut Aswandi, merupakan proyek Perpustakaan Inggris (British Library), yaitu endangered archives melalui kerja sama dengan Perpustakaan Nasional Singapura (National Library Board Singapore), termasuk Perpustakaan Nasional Indonesia.

Pelaksanaan proyek pemotretan naskah kuno Melayu itu dilakukan Aswandi bekerja sama dengan sejarawan Melayu dari National University of Singapore, Jan van der Putten.

Pemotretan dilakukan Aswandi lebih kurang 11 bulan. Naskah dan arsip kuno Melayu biasanya terdapat di berbagai tempat, seperti di museum-museum lokal.

Akan tetapi, masih banyak naskah dan arsip kuno Melayu yang tercecer di masyarakat sebagai koleksi individu dan tidak pernah tercatat dalam katalog mana pun.

Selama 11 bulan memotret, ribuan foto digital dihasilkan. Naskah dan arsip kuno yang difoto umumnya berupa satu koleksi. Satu koleksi bisa terdiri dari beberapa item, seperti kitab, kumpulan arsip, atau kumpulan catatan resmi. Masing-masing kitab, kumpulan arsip, atau catatan resmi terdiri dari beberapa halaman.

Sampai saat ini, Aswandi memfoto secara digital sekitar 11 koleksi terdiri dari 350 item. Masing-masing item, seperti kitab, kumpulan arsip, atau catatan resmi, memiliki jumlah halaman yang bervariasi, dari satu halaman sampai 450 halaman.

”Semua halaman dalam satu item harus difoto, termasuk lembaran kosong,” kata Aswandi. Beberapa item yang difoto, misalnya, catatan Mahkamah Lingga yang berhuruf Arab Melayu. Catatan itu terdiri dari sekitar 350 halaman.

Catatan itu berisi perkara- perkara pidana dan perdata yang terjadi di Kerajaan Lingga Riau, khususnya pada pemerintahan Sultan Abdulrahman Muazzamsyah (1885-1911).

Naskah kuno mengenai Mahkamah Lingga itu sebenarnya sudah tidak ada bagian depan atau judulnya. Namun, dalam proses pemotretan itu, Aswandi memberi judul ”Catatan Mahkamah Lingga” karena isinya bercerita masalah perkara pidana dan perdata, termasuk vonis mahkamah.

Selain itu, masih banyak koleksi naskah atau arsip kuno Melayu yang difoto, misalnya hikayat Nabi Yusuf dan Raja Fir’aun. Koleksi ini pun sudah tidak lengkap. Judul naskah tidak diketahui. Kulit kitab hilang dan terdapat sejumlah bercak akibat terkena air atau minyak.

Ada juga koleksi naskah kuno Melayu yang memuat berbagai ramuan obat tradisional Melayu dan ilmu jampi. Setidaknya, 15 ramuan obat dalam koleksi naskah itu.

Menurut Aswandi, dalam naskah itu terdapat beberapa tulisan mengenai berbagai ramuan obat, seperti obat mata, obat batuk darah, obat penyakit ayan, dan bahan pengharum ruangan yang dikenal dengan Setanggi Mekah. Bahan obat berasal dari bahan-bahan alami, seperti dedaunan.

Ilmu jampi dan ilmu ramalan (astrologi) juga terungkap dalam catatan naskah kuno tersebut. Misalnya, jampi-jampi untuk mengusir pengaruh efek magis.

”Kalau ada biawak masuk rumah, itu berarti pertanda ada sesuatu yang tidak baik bagi penghuni rumah,” kata Aswandi. Oleh karena itu, ada jampi-jampi untuk mengusir pengaruh ”negatif” tersebut.

Ilmu-ilmu ramal juga ternyata menjadi bagian dari kehidupan ”magis” masyarakat Melayu. Dalam naskah pada koleksi ”ramuan obat” itu terdapat cara-cara meramal atau menghitung hari baik, termasuk mencari jodoh.

Naskah atau arsip kuno Melayu yang difoto memang bercerita banyak hal. Cerita-cerita dalam naskah atau arsip kuno Melayu yang difoto secara digital tentu sangat berguna bagi upaya melestarikan budaya Melayu.

Oleh karena itu, dalam pemotretan, menurut Aswandi, naskah tidak hanya difoto, melainkan juga diteliti. Penelitian antara lain menyangkut isi suatu naskah atau arsip kuno Melayu yang difoto, pemilik naskah, dan jenis kertas.

Naskah atau arsip kuno Melayu yang sudah difoto secara digital kemudian disimpan dalam CD dan komputer. Masing-masing koleksi naskah atau arsip yang difoto pun diberi judul koleksi, tanggal pengambilan foto, dan cerita atau keterangan singkat.

Dengan adanya foto naskah atau arsip kuno Melayu yang tersimpan secara digital itu, diharapkan naskah-naskah itu tetap dapat dibaca oleh anak cucu pada generasi-generasi mendatang.

Bagaimanapun, lembaran kertas naskah dan arsip kuno Melayu yang ada saat ini sulit dipertahankan di kemudian hari. Selain kondisi lembaran kertas bisa semakin rusak, naskah juga dapat hilang atau bahkan dijual kepada kolektor atau orang asing yang berminat.

Menurut Aswandi, pemotretan dan penelitian kembali naskah atau arsip kuno Melayu juga dapat menjadi pintu untuk mengungkap ”dunia” intelektual Melayu. Oleh karena itu, penelitian dalam proyek foto digital itu disebut juga ”Naskah Melayu Riau; Pintu Gerbang Intelektual Melayu”. (Ferry Santoso)

(Kompas, Jumat, 27 Februari 2009)

Senin, 06 April 2009

Pemberi Informasi Mendadak Dimutasi

Kerusakan Situs Majapahit Sudah Parah

Mojokerto, Kompas - Endro Waluyo, Kepala Subkelompok Registrasi di Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Timur, secara mendadak dipindahtugaskan ke Museum Trinil di Kabupaten Ngawi, Jawa Timur. Alasan pemindahan itu karena Endro dianggap telah membocorkan informasi tentang pembangunan Pusat Informasi Majapahit kepada dunia luar.

Endro Waluyo yang dihubungi melalui telepon pekan lalu mengatakan, ia pasrah dengan keputusan atasannya tersebut. ”SK pemindahan sudah saya terima dan saya siap melaksanakan tugas di tempat baru meski harus pindah 140 kilometer jauhnya dari rumah secara tiba-tiba,” ujar Endro.

Menurut Endro, surat keputusan (SK) tersebut disampaikan pada Selasa (31/12) dan sudah efektif berlaku Senin ini. Artinya, hari ini Endro telah mulai bertugas di Museum Trinil di Kabupaten Ngawi.

”Alasan pemindahan saya disampaikan di depan banyak orang saat apel pagi. Bahkan, banyak masalah pribadi dibeberkan di hadapan banyak orang, tetapi saya terima saja karena saya yakin yang saya lakukan tidak salah,” ujarnya.


Pembangunan

Pemindahan Endro ini berkaitan dengan merebaknya polemik di sekitar pembangunan Pusat Informasi Majapahit (PIM) di atas lahan situs purbakala Segaran III dan IV di Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Pembangunan PIM, yang merupakan tahap awal dari pembangunan Majapahit Park, itu dilakukan sejak 22 November 2008 dan telah merusak situs purbakala bekas ibu kota Kerajaan Majapahit di bawahnya.

Gejala kerusakan itu mulai tercium kalangan arkeolog sejak awal proses penggalian melalui informasi dari orang-orang di lingkungan PIM lama (dulunya Balai Penyelamatan Arca atau Museum Trowulan) dan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jatim.

Tanggal 5 Desember, sebuah tim evaluasi yang dibentuk Direktorat Purbakala Departemen Kebudayaan dan Pariwisata mengunjungi lokasi dan menemukan gejala perusakan situs. ”Saat itu juga tim merekomendasikan agar proses penggalian dihentikan sementara sambil menunggu penelitian arkeologi di situs penting ini,” kata ketua tim evaluasi, Prof Dr Mundardjito, yang juga arkeolog senior dari Universitas Indonesia.

Selain Mundardjito, tim evaluasi tersebut beranggotakan Ir Arya Abieta, mewakili Ikatan Arsitek Indonesia (IAI); Ir Osrifoel Oesman dari UI; Dr Daud Aris Tanudirdjo dari Universitas Gadjah Mada (UGM); dan Ketua Perkumpulan Peduli Majapahit Gotrah Wilwatikta Anam Anis SH.


Memberi informasi

Endro mengakui bahwa sejak kedatangan pertama tim evaluasi, dia telah mendampingi tim dan memberikan informasi serta data selengkapnya. ”Tim itu diperintahkan oleh Direktur Purbakala, yang artinya atasan saya juga. Jadi, apa yang saya lakukan tidak menyimpang dari tugas dan kewajiban saya,” ujar Endro.

Akan tetapi, rekomendasi tim tersebut diabaikan oleh pelaksana lapangan dan proses penggalian, bahkan pengecoran beton, mulai dilaksanakan. Informasi tersebut terus disampaikan Endro kepada Mundardjito, sampai akhirnya arkeolog senior dari UI tersebut mengunjungi kembali lokasi pembangunan pada tanggal 15 Desember. ”Saat itu kerusakannya sudah parah,” tutur Mundardjito.

Dari hasil kunjungan lapangan kedua ini, beserta bukti foto-foto kerusakan yang terjadi, Mundardjito memberi pemaparan kepada Dirjen Sejarah dan Purbakala beserta jajarannya di Jakarta tanggal 19 Desember. Hingga akhirnya diputuskan agar seluruh proses pembangunan dihentikan. Keputusan inilah yang rupanya membuat gerah para pelaksana pembangunan di lapangan.

Namun, setelah keputusan penghentian tanggal 19 Desember itu, salah satu anggota tim evaluasi, Anam Anis, yang tinggal di Mojokerto masih menyaksikan pembangunan terus dilanjutkan keesokan harinya. Bahkan, saat Kompas mengunjungi lokasi pembangunan, perkembangan pekerjaan konstruksi sudah jauh lebih maju dibandingkan pada saat Mundardjito mengunjungi lokasi itu tanggal 15 Desember.


Kesalahan

Dihubungi secara terpisah, Kepala BP3 Jatim I Made Kusumajaya mengatakan, alasan pemindahan Endro karena yang bersangkutan telah berbuat terlalu banyak kesalahan. ”(Memberikan informasi) itu hanya salah satu (kesalahan) saja. Mengapa ia tidak menggunakan jalur birokrasi sebagai bagian dari sebuah tim. Tidak etis dia sebagai PNS melakukan hal seperti itu,” kata Made.

Menurut Made, sebagai seorang arkeolog dalam tim pembangunan PIM, apa yang dilakukan Endro telah melampaui wewenangnya. (DHF/INK)

(Kompas, Senin, 5 Januari 2009)

Situs Majapahit Dirusak Pemerintah


Mojokerto, Kompas - Situs Majapahit di Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, sengaja dirusak pemerintah. Di bekas ibu kota Kerajaan Majapahit peninggalan abad ke-13 hingga ke-15 tersebut sedang dibangun Trowulan Information Center atau Pusat Informasi Majapahit seluas 2.190 meter persegi.

Peletakan batu pertama dilakukan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik, 3 November lalu. Meski dalam perjalanannya ditemukan sejumlah peninggalan bersejarah, seperti dinding sumur kuno, gerabah, dan pelataran rumah kuno, hal itu tak dihiraukan. Tanah terus digali dan benda bersejarah itu dijebol untuk pembangunan sekitar 50 tiang pancang beton Pusat Informasi Majapahit (PIM).

Berdasarkan pantauan pada Minggu (4/1), di beberapa titik, fondasi dari campuran batu kali dan semen telah berdiri di parit-parit galian di situs bersejarah itu. Fondasi tiang beton juga sudah berdiri di beberapa titik. Di sekitarnya, batu bata kuno berukuran besar dan berwarna kehitaman peninggalan zaman Majapahit dibiarkan berserakan.

Wakil Bupati Mojokerto Wahyudi Iswanto saat dikonfirmasi hari Minggu mengatakan, pembangunan PIM sepenuhnya proyek pemerintah pusat. Pemkab Mojokerto dalam hal ini sekadar mengikuti apa yang menjadi keinginan dan kebijakan pemerintah pusat.

Kepala Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Provinsi Jawa Timur I Made Kusumajaya mengakui bahwa metode pembuatan fondasi dengan cara menggali tanah memang semestinya tidak dilakukan karena akan merusak situs sejarah dalam jumlah banyak. Sekalipun begitu, ia memastikan sejumlah cor beton maupun batu kali yang sudah terpasang untuk fondasi tidak akan diangkat lagi.

Untuk pembangunan selanjutnya akan digunakan sekitar 50 tiang pancang beton berdiameter 50 sentimeter yang akan dipasang dengan cara dibor, bukan dengan hydraulic hammer (pemukul tiang pancang beton) untuk meminimalkan kerusakan situs bersejarah.

Merusak atau kerusakan situs sejarah yang ditimbulkan dari pembangunan PIM yang merupakan bagian dari Taman Majapahit (Majapahit Park), imbuh Made Kusumajaya, memang tak bisa dihindari. ”Semua itu untuk mencapai tujuan Majapahit Park sebagai sarana edukatif dan rekreatif,” kata Made Kusumajaya.


Cungkup Surya Majapahit

Majapahit Park adalah proyek untuk menyatukan situs-situs peninggalan ibu kota Majapahit di Trowulan dalam sebuah konsep taman terpadu. Tujuannya untuk menyelamatkan situs dan benda cagar budaya dari kerusakan serta untuk menarik wisatawan.

PIM sendiri nantinya akan berupa bangunan berbentuk bintang bersudut delapan yang disebut Cungkup Surya Majapahit, lambang Kerajaan Majapahit.

Rencananya, di bawah Cungkup Surya Majapahit itu akan dipamerkan sejumlah koleksi PIM yang belum banyak terekspos. Pengunjung juga bisa berjalan di atas ubin kaca dan melihat langsung struktur bangunan Majapahit yang berada di bawahnya.


Lebih dahsyat

Kepala Museum Trowulan Aris Soviyani mengatakan, kerusakan situs Trowulan akibat industri rakyat pembuatan batu bata justru jauh lebih hebat. ”Selama bertahun-tahun, tak ada solusi terhadap persoalan itu,” ujarnya.

Hasil penelitian Pusat Penelitian dan Pengembangan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata menunjukkan, sekitar 6,2 hektar lahan di situs Trowulan rusak setiap tahunnya untuk pembuatan batu bata rakyat.

Masyarakat menggali tanah untuk pembuatan batu bata karena tak ada penghasilan alternatif. Masyarakat juga berharap saat menggali tanah bisa menemukan benda-benda bersejarah yang kemudian bisa dijual.

Secara terpisah Made Kusumajaya mengatakan, selama berpuluh-puluh tahun, situs sejarah Majapahit seolah hanya menjadi milik komunitas arkeolog. Situs itu hanya digali dengan metode tertentu untuk kemudian ditutup lagi dengan alasan konservasi.

Ia menekankan, sebagai seorang arkeolog, dia tidak bisa terlalu egoistis dengan keinginan tunggal untuk tetap terus mempertahankan situs sejarah itu tidak diketahui orang banyak.


Tiru proyek Borobudur

Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef yang pernah memimpin proyek UNESCO memugar Candi Borobudur, yang ditemui Minggu, menyesalkan adanya pembangunan fisik yang merusak situs Trowulan. ”Trowulan merupakan salah satu bukti kita memiliki nenek moyang dengan peradaban tinggi tidak kalah dengan bangsa-bangsa di Eropa,” katanya.

Menurut Joesoef, seharusnya pola konservasi Borobudur yang menggandeng UNESCO dapat diterapkan untuk Trowulan. Proyek Borobodur tahun 1978-1983 yang didukung UNESCO mampu mengalahkan usulan proyek konservasi Mohenjo Daro di Pakistan dan konservasi Venesia, Italia, kala diajukan dengan serius oleh Pemerintah Indonesia.

Proyek Borobudur didukung penuh Pemerintah Belanda, Jepang, Perancis, Jerman, dan negara-negara Eropa lain.

Meskipun demikian, Joesoef menyayangkan perawatan Borobudur yang diganggu kepentingan bisnis dan individu.

Sesuai ketentuan UNESCO, kata Joesoef, kawasan sekitar Borobudur dibagi dalam tiga ring pelestarian. Kini dalam ring satu sudah ada bangunan milik seorang perempuan pengusaha. Sejumlah menara pemancar telepon seluler juga dibangun di kawasan sama.

”Jangan sampai status warisan dunia dicabut oleh UNESCO karena kita dinilai tidak bisa dipercaya. Kalau sudah begini, bagaimana mau merawat situs Trowulan dan mendapat kepercayaan internasional,” kata Joesoef yang awal dekade tahun 1970-an melobi UNESCO di Paris untuk menyelamatkan Borobudur.

Setelah sukses memugar Borobudur, kata Joesoef, Indonesia dipercaya untuk membantu pemugaran kompleks Candi Angkor Wat di Kamboja. Ketika itu para arkeolog Indonesia disegani di kalangan dunia internasional.

Situs Trowulan tersebut memiliki tarikh Masehi yang sama dengan Istana Louvre di Paris, yakni sekitar abad ke-12 Masehi hingga ke-14 Masehi. Kini di atas situs Trowulan dibangun megaproyek yang menutup areal ekskavasi arkeologi Majapahit yang menjadi bukti kebesaran nenek moyang bangsa Indonesia.(DHF/INK/ONG)

(Kompas, Senin, 5 Januari 2009)

Belasan Situs Purbakala Rusak

Alih Fungsi di Sepanjang Ciliwung Tidak Terkendali

Jakarta, Kompas - Belasan situs purbakala di sepanjang Sungai Ciliwung, mulai dari Depok hingga Jakarta, berada dalam kondisi rusak atau bahkan hancur sama sekali. Hal ini terjadi akibat proses alih fungsi lahan yang tak terkendali di sepanjang bantaran sungai tersebut.

Arkeolog senior dari Universitas Indonesia, Dr Hasan Jafar, Selasa (20/1), menjelaskan, di sepanjang tepian Ciliwung, mulai dari Depok hingga Jakarta, terdapat 19 situs prasejarah, yang semuanya sudah rusak akibat lahan-lahan terbuka di sana sudah berubah menjadi kawasan permukiman.

”Itu baru situs-situs di mana para arkeolog pernah melakukan ekskavasi atau penggalian. Padahal, seluruh Daerah Aliran Sungai Ciliwung sebenarnya sebuah situs arkeologi yang sangat luas,” paparnya.

Ia menambahkan, di situs-situs purbakala di sepanjang Ciliwung telah ditemukan ribuan artefak prasejarah hingga zaman kerajaan Sunda Hindu-Buddha.

”Temuan-temuan itu merupakan bukti bahwa pada masa sekitar 1500 hingga sekitar abad ke-15 Masehi, di sepanjang Ciliwung telah berkembang peradaban masyarakat yang kemudian menjadi nenek moyang bangsa Indonesia. Sayang, belum ada usaha penyelamatan situs-situs purbakala di sepanjang Sungai Ciliwung ini,” papar Hasan.

Hasan, yang memimpin berbagai penggalian arkeologi di sepanjang tepi Ciliwung sejak tahun 1970-an hingga awal 1980-an, mengaku telah menemukan ribuan artefak purbakala, seperti kapak batu, pecahan gerabah, patung perunggu, hingga topeng emas. Semua merupakan bukti pernah adanya peradaban kuno di tepian Sungai Ciliwung.

Pemantauan Kompas di situs-situs prasejarah di daerah Kelapa Dua, Kota Depok; Pejaten dan Kampung Kramat, Jakarta Selatan; serta di Condet Balekambang, Jakarta Timur; hampir seluruh bantaran Sungai Ciliwung di sana sudah menjadi kawasan hunian. Di tempat-tempat tersebut, pernah ditemukan jejak-jejak peradaban Indonesia masa lalu, nyaris tidak lagi tersisa ruang terbuka hijau.

Di Kelurahan Tugu, Kelapa Dua, lahan situs prasejarah yang pernah menjadi tempat Hasan melakukan penggalian arkeologi sudah tertutup aspal jalan dan rumah di kompleks real estat Griya Tugu Asri.

Sementara itu, di Condet Balekambang, situs arkeologi di tepian Ciliwung, yang sebelumnya berada di tengah pekarangan rumah dan kebun salak, sekarang sudah tidak jelas lagi lokasinya. Hal itu akibat pembangunan rumah dan bangunan lainnya.

Umar Alatas (40), warga Kelurahan Ciondet Balekambang, Kecamatan Kramatjati, Jakarta Timur, sejak ia tinggal di kawasan cagar budaya Betawi itu pada tahun 1985, jumlah kebun salak, yang merupakan produk perkebunan khas Condet, terus berkurang.

”Luas kebun salak di sini sekarang mungkin tinggal 20-an persen dibanding waktu itu. Kini kebun hampir tak ada lagi yang tersisa di kawasan itu,” ujarnya.

”Tahun 1980-an, pekarangan dan kebun terbuka masih banyak di bantaran Ciliwung. Sekarang, tebing sungai pun sudah diuruk untuk hunian warga. Rumah Betawi yang harus dilestarikan saja sudah hampir punah di Condet, apalagi peninggalan prasejarah,” papar Umar.


Situs tersisa

Satu-satunya situs prasejarah yang relatif masih baik ditemukan di daerah Pejaten, di dalam lingkungan perumahan Kalibata Indah, Kelurahan Rawajati, Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan.

Slamet (40), penjaga lahan yang belum terbangun di tepi Sungai Ciliwung itu, mengatakan, lahan tersebut merupakan milik keluarga seorang pengusaha nasional dan pejabat tinggi pemerintah.

”Saya menjaga tanah ini sejak tahun 1999. Memang ada warga yang bercerita dulu di lokasi ini pernah ada penggalian dan ditemukan benda bersejarah,” kata Slamet tentang lahan seluas sekitar 7.000 meter persegi yang kini berupa lapangan rumput dan kebun pisang.

Menurut Hasan Jafar, dalam ekskavasi arkeologi yang dilakukan di sana, pernah ditemukan benda-benda sisa bengkel prasejarah tempat pengecoran perunggu dan sisa-sisa tempat pembuatan barang-barang tembikar.

”Lokasi itu berseberangan dengan situs Kampung Kramat di Condet. Ditemukan perkakas logam dan pencetak logam tuangan sebagai bukti tingginya tingkat peradaban. Kalau memungkinkan, perlu dibuat konservasi di lokasi sebagai penanda adanya peninggalan sejarah dari nenek moyang,” ujar Hasan yang juga mengatakan, penyelamatan situs-situs purbakala di sepanjang aliran Sungai Ciliwung juga penting dilakukan. Langkah itu perlu dilakukan dalam rangka pembangunan identitas bangsa dan kebanggaan nasional.(ong/muk/nel/lkt/mzw/was/eln)

(Kompas, Rabu, 21 Januari 2009)

Naskah Kuno Direstorasi


Banda Aceh, Kompas - Ratusan naskah kuno yang ditulis kaum intelektual Aceh pada abad ke-16 dan ke-17 saat ini sudah direstorasi. Namun, jumlah itu sangat kecil dibandingkan dengan naskah-naskah kuno yang masih dalam kondisi rusak. Faktor ketidaktahuan dan minimnya dana restorasi menjadi kendala.

Hal itu dikatakan Direktur Eksekutif Pusat Kajian dan Pendidikan Masyarakat (PKPM) Aceh Mujiburrahman dan Kepala Perpustakaan Ali Hasjmy, Said Murtadha Ahmad Alatas, secara terpisah di Banda Aceh, Selasa (20/1).

Menurut data PKPM, dari 1.878 naskah kuno yang bisa dideteksi di NAD, baru 699 naskah kuno yang direstorasi. Dari 1.550 naskah kuno yang ada di Museum Aceh, hanya 475 naskah dalam kondisi baik.

Hal yang sama terjadi di Museum Ali Hasjmy Banda Aceh. Dari 322 naskah kuno di museum itu, hanya 180 naskah dalam kondisi baik.

Said Murtadha mengatakan, baru dua tahun terakhir pihaknya mendapat bantuan kerja sama dengan lembaga swadaya masyarakat dan universitas di luar negeri untuk merestorasi dan digitalisasi naskah kuno itu.

Mantan pensiunan Departemen Penerangan ini mengatakan, sebagian besar naskah kuno itu dikumpulkan Ali Hasjmy. Kondisi ruangan dan perawatan seadanya menjadi penyebab rusaknya naskah-naskah tersebut.

Mujiburrahman menuturkan, sebagian besar naskah tersebut berada di dayah (madrasah) tradisional di seluruh Aceh. Naskah kuno tersebut sering dijadikan benda keramat sehingga ada pemilik yang menolak naskah direstorasi. Di sisi lain, penyimpanan naskah-naskah itu dilakukan secara sederhana.

Padahal, ilmu pengetahuan dalam naskah kuno tersebut sangat tinggi. Mujiburrahman mencontohkan, naskah kuno di Dayah Tanoh Abe, Seulimum, Kabupaten Aceh Besar, sebagian besar mengenai ilmu astronomi. Adapun naskah yang dibuat Tengku Syiek Kuta Karang berisi ilmu kedokteran. (mhd)

(Kompas, Rabu, 21 Januari 2009)

Jual Beli Fosil Mencemaskan


BLORA, KAMIS — Aktivitas jual beli fosil dan benda kuno bersejarah seperti yang terjadi di Kabupaten Blora, Jawa Tengah, sudah sangat mencemaskan karena melibatkan suatu jaringan yang cukup luas. Aktivitas ini pun bisa mengancam kelestarian situs-situs bersejarah yang dilindungi.

Arkeolog Balai Arkeologi (Balar) Yogyakarta, Gunadi, Kamis (8/1), mengatakan, Pemerintah Kabupaten Blora harus bekerja sama dengan polisi untuk melindungi situs dan mengungkap jaringan jual beli fosil.

”Jika terlambat bertindak, barang-barang bersejarah di kawasan ini bisa habis,” kata Gunadi di sela-sela evakuasi fosil gading gajah purba (Stegodon elephas) yang ditemukan di Desa Medalem, Kabupaten Blora.

Di kawasan yang terletak di tepi Bengawan Solo itu sebelumnya ditemukan fosil-fosil binatang purba, seperti gading, tanduk, tempurung kura-kura, dan tengkorak buaya. Fosil tengkorak buaya purba dijual dengan harga Rp 300.000, sedangkan fosil gading gajah ditukar dengan empat ekor kambing.

Fosil gading gajah purba sepanjang 120 sentimeter temuan warga tersebut pada Kamis sore diangkat untuk dipindahkan ke Museum Mahameru Blora. Dibutuhkan waktu sekitar dua jam untuk mengangkat fosil gading gajah tersebut.

Kepala Balai Arkeologi Yogyakarta Siswanto mengatakan, fosil gading gajah itu diperkirakan berumur 1,5 juta tahun hingga 700.000 tahun. Penemuan di Blora itu bisa disejajarkan dengan fosil gading gajah purba yang banyak ditemukan di Situs Patiayam Kabupaten Kudus ataupun di Situs Sangiran Kabupaten Sragen, Jawa Tengah. (HEN/SUP)

(Kompas, Jumat, 9 Januari 2009)

Kerusakan Situs akan Direhabilitasi


JAKARTA, KOMPAS - Kerusakan situs Kerajaan Majapahit sebagai akibat pembangunan Pusat Informasi Majapahit di Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, akan direhabilitasi.

Selain itu, akan dibentuk tim kecil untuk mengkaji kemungkinan relokasi Pusat Informasi Majapahit (PIM) ke tempat lain yang tidak mengganggu keberadaan situs bersejarah.

”Tempat mana yang akan dipilih untuk relokasi, akan dilakukan penelitian secara mendalam,” kata Direktur Peninggalan Purbakala Direktorat Sejarah dan Purbakala Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Soeroso di Jakarta, Kamis (8/1), sesuai rapat membahas pembangunan PIM. Rapat diikuti sejumlah arkeolog, pusat penelitian perguruan tinggi dan sekitar 30 institusi yang memiliki kepedulian terhadap situs Kerajaan Majapahit di Trowulan.

Saat ini, di lokasi pembangunan PIM, sejumlah situs bersejarah sudah rusak untuk pembangunan tiang penyangga PIM. Batu bata kuno yang berukuran besar dan berwarna kehitaman, berserakan di sekitar galian untuk tiang pondasi PIM. Beberapa tumpukan bata ditutup plastik, sedangkan aktivitas penggalian sudah dihentikan.

”Kalau ada kesalahan dalam pembangunan PIM, kita mengakui. Dan itu tak perlu lagi dicarikan kambing hitamnya. Solusi terbaik yang lebih dibutuhkan,” kata Soeroso.

Arkeolog dari Universitas Gadjah Mada Daud Aris Tanudirjo mengatakan, peserta rapat menyepakati pembagunan proyek PIM di lokasi yang sekarang bermasalah karena telah merusak situs. ”Kemungkinan terbesarnya harus direlokasi, tetapi tetap mesti melalui kajian dan penelitian yang mendalam,” ujarnya.


Panggil pelaksana proyek

Secara terpisah, Di Mojokerto, Kepolisian Resor (Polres) Mojokerto sudah melayangkan surat panggilan dan akan memeriksa sejumlah pihak yang terlibat dalam pelaksanaan proyek PIM di Trowulan Mojokerto, Senin (12/1) depan.

”Kami baru melakukan pemeriksaan sehingga belum ada tersangka,” kata Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Mojokerto Ajun Komisaris Rofiq Ripto Himawan.

Namun, Rofiq menolak membeberkan siapa-siapa saja yang akan dipanggil Polres Mojokerto untuk dimintai keterangan, Senin nanti.

Ia menambahkan, hingga saat ini polisi cenderung mengarahkan pemeriksaan pada dugaan pelanggaran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya. Adapun soal pelanggaran terhadap Pasal 406 KUHP tentang perusakan dan penghancuran barang milik orang lain, kata Rofiq, pihaknya belum melihat kemungkinan itu.

Sementara itu, sejumlah budayawan dan seniman di Kabupaten Mojokerto menyesalkan pembangunan PIM yang dinilai merusak situs Trowulan. Koesen LD (66), pendiri Himpunan Budaya Mojokerto, mengatakan, inilah saat yang tepat bagi seluruh pihak untuk melakukan refleksi terhadap nasib situs Trowulan.

Secara terpisah, di Hanoi, Vietnam, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik memastikan akan membuat rancangan baru atau redesain pembangunan Pusat Informasi Majapahit yang terintegrasi dalam proyek "Majapahit Park".

”Tidak akan terburu-buru. Setidaknya, satu bulan ke depan akan dikaji bagaimana PIM dirancang ulang,” kata Jero Wacik. Kehadiran Jero Wacik di Hanoi terkait dengan pertemuan tahunan menteri-menteri pariwisata ASEAN dalam acara ASEAN Tourism Forum (ATF) 2009.

Ditanya apakah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah mengetahui adanya persoalan terkait pembangunan "Majapahit Park", Jero mengatakan," Presiden sudah mengetahui niat baik untuk membangun Pusat Informasi Majapahit . "Jadi, masalahnya diserahkan kepada kita untuk menyelesaikannya," kata Jero Wacik.


Monumen vandalisme

Budayawan Sardono W Kusumo melihat peninggalan zaman Majapahit sangat penting, karena warisan Majapahit begitu besar dan kompleks. "Impian tentang negara Indonesia itu menjadi nyata, kalau melihat Majapahit. Karena itu Majapahit secara visioner merupakan salah satu rujukan tentang Indonesia," kata Rektor Institut Kesenian Jakarta (IKJ) itu.

”Saya mengingatkan, jangan sampai proyek PIM yang dikerjakannya justru menjadi monumen vanadlisme yang disahkan pemerintah,” kata Ketua Forum Institut Seni Indonesia (ISI) itu.

Guru Besar Sejarah Universitas Padjadjaran Bandung, Nina Lubis mengatakan, tidak ada alasan bagi pemerintah untuk tidak menghentikan seluruh pembangunan PIM. Sudah banyak hal yang membuktikan pembangunan di atas situs pasti akan merusak artefak yang sudah ada.

Oleh karena itu dia mendesak, pembangunan PIM di pindahkan ke tempat lain. ”Kalau sekedar pusat informasi, tak perlu di atas kawasan situs,” ujarnya.

Permasalahan biaya besar yang terlanjur dikeluarkan hendaknya tidak menjadi alasan pemerintah guna meneruskan pembangunan. "Bila diteruskan, hal ini menandakan pemerintah terlalu memaksa pembangunan PIM. Jangan sampai niat baik justru menjadi perbuatan merusak," katanya. (NAL/HAR/INK/HRD/CHE)

(Kompas, Jumat, 9 Januari 2009)

Perusak Situs Harus Biayai Rehabilitasi


MOJOKERTO, MINGGU - Kerusakan situs Majapahit yang diduga terjadi akibat pembangunan Pusat Informasi Majaphit dan belum dilakukan upaya rehabilitasi hingga Minggu (18/1) memancing kegeraman pemerhati sejarah. Ketua Perkumpulan Peduli Majapahit Gotrah Wilwatikta, Anam Anis menyebutkan, secara logika biaya rehabilitasi atau perbaikan situs Majaphit yang rusak akibat kegiatan pembangunan itu mesti dibenakan pada pelaku perusakan.

Ia menyatakan menolak jika biaya rehabilitasi kembali dibebankan pada APBN. Pasalnya, hal itu, imbuh Anis, sama saja dengan upaya membiayai kesalahan orang lain.

"Dengan kerusakan ini kan berarti biaya yang sebelumnya dikucurkan untuk bermanfaat jadi tidak ada manfaatnya sama sekali, nah ini jangan sampai ditanggung lagi oleh APBN," kata Anam.

Karena itulah, pihak kepolisian dalam hal ini diminta bertindak cepat untuk menemukan tersanga perusakan situs sejarah itu. Termasuk jika dalam pengembangan penyidikan ditemukan keterlibatan pihak-pihak tertentu dengan kewenangan tinggi yang menjadi orang di balik perusakan situs tersebut.

Sementara itu, Kepala Seksi Kebudayan kantor Pariwisata, Budaya, Pemuda, dan Olahraga (Parbupora) Kabupaten Jombang, Nasrul Ilahi pada hari yang sama di Jombang menuturkan, untuk konsep penataan kawasan situs Majapahit secara keseluruhan, sebaiknya Jombang ikut dilibatkan. "Karena sekitar 60 persen wilayah Kerajaan Majapahit dulu ada di wilayah Kabupaten Jombang sekarang," ujar Nasrul.

(Kompas, Senin, 19 Januari 2009)

Puluhan Warga Gali Penyelamatan Situs Majapahit


Oleh Ingki Rinaldi

MOJOKERTO, SELASA--Puluhan warga Dusun Klinterejo, Desa Klinterejo, Kecamatan Sooko, Kabupaten Mojokerto, Selasa (20/1) melakukan penggalian dan pemindahan sejumlah peninggalan Majapahit yang selama ini berada di atas tanah mereka. Hal itu mereka lakukan karena tidak ada upaya penyelamatan dan pelestarian serius yang dilakukan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jatim sekalipun temuan-temuan sejarah itu telah dilaporkan sejak tiga tahun terakhir.

Sekitar 20 orang warga desa sejak pagi hari sudah menyiapkan sebuah mobil bak terbuka di lokasi yang berdekatan dengan Situs Klinterejo yang mengandung ban yak peninggalan Kerajaan Mapajahit seperti sandaran arca, yoni, lumpang batu, jaladwara, balok batu, dan umpak batu itu . Mereka mengangkati sejumlah umpak batu ke atas mobil bak terbuka untuk membawa umpak batu tersebut ke Situs Klinterejo yang dikenal pula sebagai petilasan Bhre Kahuripan atau Ratu Tribuana Tunggadewi.

Selain umpak-umpak batu tersebut, warga juga membuka sejumlah sumur kuno yang di lokasi itu terdapat sekitar sepuluh buah dengan diameter masing-masing 80 sentimeter. Selain itu, terdapat pula struktur batu bata yang kemungkinan bangunan tembok pada sisi barat tanah warga.

Kepala Dusun Klinterejo, M. Shofii (33) menyatakan bahwa apa yang dilakukan warga adalah bentuk kekecewaan dari abainya pemerintah terhadap peninggalan sej arah itu selama ini. Ia menyatakan, jika memang pemerintah, dalam hal ini BP3 Jatim, menginginkan agar struktur dan peninggalan kuno itu tetap lestari maka harus ada kompensasi yang layak bagi warga.

(Kompas, Selasa, 20 Januari 2009)

Warga Gali Sendiri Situs Majapahit


MOJOKERTO, RABU - Warga Dusun Klinterejo, Desa Klinterejo, Kecamatan Sooko, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, Selasa (20/1), melakukan penggalian sekaligus pemindahan peninggalan Majapahit yang ada di atas tanah mereka. Hal itu dilakukan karena tidak ada upaya penyelamatan serius yang dilakukan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jatim sekalipun temuan-temuan sejarah tersebut telah dilaporkan sejak tiga tahun lalu.

Sekitar 20 warga desa sejak Selasa pagi menyiapkan sebuah mobil bak terbuka di lokasi yang berdekatan dengan Situs Klinterejo. Situs itu mengandung banyak peninggalan Kerajaan Mapajahit seperti sandaran arca, yoni, lumpang batu, jaladwara, balok batu, dan umpak batu. Mereka mengangkat sejumlah umpak batu ke mobil dan memindahkan umpak batu itu ke Situs Klinterejo yang dikenal pula sebagai petilasan Bhre Kahuripan atau Ratu Tribhuana Tunggadewi.

Selain umpak-umpak batu tersebut, warga juga membuka sejumlah sumur kuno yang ada di lokasi itu. Ada sekitar 10 sumur dengan diameter masing-masing 80 sentimeter. Selain itu, terdapat pula struktur batu bata yang kemungkinan bangunan tembok pada sisi barat tanah warga.


Kekecewaan warga

Kepala Dusun Klinterejo M Shofii (33) mengatakan, apa yang dilakukan warga adalah bentuk kekecewaan terhadap pemerintah yang mengabaikan peninggalan bersejarah itu. Ia menyatakan, jika memang pemerintah, dalam hal ini BP3 Jatim, menginginkan agar struktur dan peninggalan purbakala itu tetap lestari, harus ada kompensasi yang layak bagi warga.

”Soalnya kami juga menyewa tanah ini. Namun, yang jelas kami lakukan ini untuk menyelamatkan benda-benda cagar budaya peninggalan zaman dulu,” kata Shofii soal kondisi lahan yang saat ini digunakan untuk pembuatan batu bata tersebut.

Zainal Abidin, Sekretaris Desa Klinterejo, membenarkan bahwa tanah yang sekarang diusahakan warga dan berdekatan dengan Situs Klinterejo itu adalah tanah kas desa (TKD). ”Luasnya 2,5 hektar dan warga menyewa dengan harga Rp 25 juta setiap tiga tahun. Ini sudah masuk tahun keempat,” katanya.

Menurut Zainal dan Shofii, sejak lahan tersebut dipakai untuk pembuatan batu bata, warga sudah melaporkan soal temuan-temuan kuno yang diduga peninggalan Kerajaan Majapahit itu. Namun, karena ketiadaan respons pemerintah, dari sekitar 40 umpak batu besar yang pada tiga tahun lalu ditemukan warga kini hanya tinggal tersisa tidak lebih dari 15 buah umpak batu.

Demikian pula dengan kondisi sumur purbakala yang sekalipun masih utuh tetapi bagian atasnya sudah terkepras. Kerusakan paling parah terjadi pada struktur batu bata yang hancur akibat penggalian tanah guna bahan baku pembuatan batu bata.

Tiga anggota staf Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jatim yang datang ke lokasi begitu mengetahui aksi warga itu memastikan temuan tersebut adalah peninggalan zaman Majapahit.

”Kemungkinan ini adalah pendapa mengingat ada temuan umpak dan bekas genteng yang hancur,” kata Ning Suryati, arkeolog yang sehari-hari bertugas di bagian pemugaran BP3 Jatim.

Pada tahun 2002, di lokasi tersebut pernah dilakukan ekskavasi dengan menggunakan metode spit berupa penggalian pada titik-titik tertentu berjumlah sepuluh kotak. Namun, upaya ekskavasi awal tersebut tidak dilanjutkan. (INK)

(Kompas, Rabu, 21 Januari 2009)

BUKU-BUKU JURNALISTIK


Kontak Saya

NAMA ANDA :
EMAIL ANDA :
PERIHAL :
PESAN :
MASUKKAN KODE BERIKUT :